25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Satu Hal

Jalanan sunyi dan gelap. Kelebat angin malam keras menghantam tubuh seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun. Paras pucatnya jelas terlihat. Udara malam kian dingin, tetapi ia masih berjalan menyusuri trotoar tanpa tujuan. Ibu, gumamnya.

Cerpen:    Intan Hs

Malam kian larut. Langkahnya bak hanyut dalam perasaan luka yang deras. Ia tak berani pulang. Rasa sakit masih membekas dan menggerayangi jiwanya. Ia masih menyusuri trotoar, sesekali teringat kenangan tentang kakek dan matanya yang tajam.

Hujan baru mulai, saat timbul niat. Ia berniat pulang kepada ibu, ke rumah ibu. Dengan langkah gegas, ia menembus gerimis. Tubuhnya seketika basah, tak lama gigil menahan dingin. Wajahnya basah, entah karena gerimis ataukah air mata. Berkali-kali ia menggigit bibirnya, dalam rasa getir yang menggigil. Rasa getir yang mendekapnya sepanjang jalan. Bagaimanapun ia harus pulang kepada ibu, bukan kakek.

Langkahnya berhenti di depan rumah. Ia menahan debaran jantung yang berpacu membayangkan kemarahan di wajah ibu. Tapi kemarahan ibu lebih baik dari kesakitan. Biarlah…biar, pikirnya.
*

Pintu terbuka. Dua orang berdiri dalam amarah ditingkahi gelisah. Wajah keduanya berkeringat dan rambut yang acak-acakan. Didepannya bapak sedang berdiri, ia bukan bapak kandungnya, ia menjadi bapaknya hanya karena menikah dengan ibu. Bapak kandungnya meninggal dua tahun yang lalu, tiba-tiba saja, tanpa sebab apa-apa. Ibu berdiri di sebelah kanan bapak dengan beberapa kancing baju yang belum tertutup sempurna, ibu tetap cantik, masih putih dan ramping. Lima tahun lalu hingga malam ini, kecantikan ibu belum berubah, Ia dapat menangkap dua wajah yang tegang dan marah.
“Mau apa kau Nurul, malam-malam begini ke rumah Ibu?” Suara ibu bergetar menahan marah
Ia hanya terdiam. Menunduk semakin dalam.
“Hei jawab! Jangan diam saja.”

“Aku ingin tinggal dengan Ibu,” jawabnya memberanikan diri.
“Apa kau bilang?” Ibu terperangah. Suaranya serak.

Ia melihat wajah ibu, bertambah tegang dan merah. Wajah yang sama seperti saat bapak masih hidup dan kerap menampar pipi ibu.
“Pergi. Tinggal dengan Kakekmu. Ibu tak sudi melihatmu.”

“Tapi Bu, aku mau tinggal dengan Ibu, tak mau tinggal dengan Kakek lagi.”
“Tidak boleh, Ibu tak sudi melihatmu. Melihatmu seperti melihat Bapakmu yang sudah mati dimakan cacing. Pergi kau!”
Bapak mendesah sambil menatap wajah ibu.

“Biarkan dia disini.” Suara Bapak pelan, mencoba menengahi.
Entah mengapa ibu seperti menurut saja ucapan bapak. Perlahan-lahan wajah ibu berubah, tidak lagi terlihat tegang dan marah.
“Dia juga anakmu. Kau pernah mengandungnya.”

Ibu mengangguk lemah. Hening beberapa saat. Tak lama bapak memandang tajam ke arah ibu. Mata Bapak persis mata kakek, tajam. Bapak menggenggam tangan ibu. Keduanya membalikkan badan dan melangkah menuju suatu kamar.

Ia lega amarah ibu mereda. Ada bahagia dalam relung jiwanya, terlepas begitu saja dari kakek dan matanya yang tajam. Bila saja setelah bapak meninggal, ibu tak pernah menyuruhnya tinggal bersama kakek, mungkinkah kesakitan ini tak pernah menghimpitnya. Tak lama ia mendengar derit. Bunyi deritan ranjang. Ia tahu dengan pasti bunyi itu seperti yang sering dialaminya sendiri. Derit ranjang terdengar bersama jeritan ibu, berbaur dengan lenguh nafas yang berat. Ia masih berdiri di tempat, sebelum keduanya pergi meninggalkannya begitu saja. Ia sangat mengerti derit ranjang, tetapi jeritan ibu tak dipahaminya, mungkinkah terjadi sesuatu dengan ibu dan ibu membutuhkan pertolongan. Mengapa ibu menjerit, suaranya perlahan seperti berbisik.
Ia ingin tahu, dan melangkah perlahan menuju suatu kamar. Pintu kamar belum tertutup sempurna, dan ia masih bisa melihat kedalamnya. Bapak bergerak liar di atas tubuh telanjang ibu. Ibu sesekali menggelinjang dan menjerit. Ia tak tahan melihat gerakan liar bapak, seperti kakek. Persis.
Wajahnya basah mengingat kenangan. Tubuhnya dirundung cemas dan takut. Ia mencoba mengusir segala resah dan gelisah, tapi hanya ada tangis. Tangis yang tak akan habis.

Di luar hujan sudah selesai, tetapi udara masih dingin. Terdengar lagi olehnya derit ranjang, berirama tak karuan, semakin lama iramanya semakin cepat. Lagi ia teringat derit ranjang di rumah kakek, juga gerak liar dan lenguh nafas berat. Tubuhnya basah, rambutnya juga basah karena gerimis tadi, tetapi wajahnya basah karena air mata.
*

Hari beranjak pagi. Udara masih lembab sehabis hujan tadi malam. Bapak duduk menyeruput kopi di beranda rumah, sementara ibu terlihat sibuk di dapur. Ia hanya duduk diam, memperhatikan ibu.

“Kau harus kembali ke rumah Kakek!”

Ia menggeleng, lalu memandang ibu.
“Jangan memandangku seperti itu. Bola matamu seperti Bapakmu yang sudah mampus di kuburan.” Ibu mengumpat.
“Tidak. Aku tak mau Bu, biarkan aku bersama Ibu. Aku janji tak akan menyusahkan Ibu.”
“Tidak boleh. Ibu tidak mau. Kau harus pergi atau Ibu yang pergi dari sini!”
“Tapi…Bu,”

Ia tersentak. Perkataannya belum selesai, ibu sudah pergi meninggalkannya. Ia tak dapat lagi berbicara, padahal begitu banyak yang ingin diucapkannya pada ibu. Lima tahun semenjak kepergian bapak, begitu banyak kisah juga luka yang ingin dibaginya kepada ibu. Wajahnya mendadak dingin mengingat ucapan ibu. Sekelilingnya hening. Tiba-tiba ia merasa kegelapan, dan kekosongan menindih tubuhnya. Betapa ia ingin ibu terlibat pembicaraan tentang luka dan sakit selama tinggal dengan kakek. Susah payah ia lepas dari cengkraman kakek, tetapi ibu ingin ia kembali tinggal bersama kakek. Ia merasa tubuhnya berat, begitu berat. Ia tak tahu harus berbuat apa.

Hari masih pagi, saat bapak dan ibu bertengkar. Ia tahu, dirinya yang menjadi sebab pertengkaran keduanya pagi ini. Ibu ingin Nurul diusir keluar rumah, tetapi bapak tidak mengijinkannya. Hari-hari berikutnya, pertengkaran masih sering terjadi di rumah, belakangan ia tak lagi mengerti pangkal pertengkaran keduanya. Bapak sering mengumpat setiap kali ibu ketakutan dan menjerit tak karuan. Seringkali ia melihat bapak menggampar pipi ibu untuk menyadarkan ibu yang menjerit ketakutan tanpa sebab. Kelakuan ibu kian hari kian aneh, karena sering mengunci diri di dalam kamar. Hampir tiap hari ibu hanya berbaring di atas ranjang, tak melakukan apapun kecuali menangis. Ia melihat mata ibu mulai kering dengan wajah yang semakin mencekung. Ibu terlihat tua.
*

Malam belum terlalu larut, saat ia menghampiri kamar ibu yang tak terkunci. Ibu terlihat pulas dalam tidurnya. Saat ini ibu sudah jarang menangis, mungkin karena tak bisa lagi menangis. Mendadak tubuhnya disergap dari belakang. Ketakutan membuatnya berteriak. Sontak ibu terbangun karena teriakan itu. Ia melihat dengan seksama, ternyata bapak yang menyergapnya. Dengan sigap, bapak menyumpal mulutnya dengan selembar kain. ibu terheran-heran melihat sikap suaminya.

“Apa yang akan kau lakukan padanya? “
“Kau jangan ikut campur. Ini urusanku.”

Wajah ibu tegang. Bapak mengikat kedua tangan dan kaki Nurul pada sisi ranjang. Ibu benar-benar tak tahu apa yang ada dalam pikiran suaminya. Setelah selesai mengikat Nurul, ibu tak menyangka suaminya juga mengikat kedua tangan dan kakinya, bersebelahan dengan Nurul.

“Mau apa kau?”

Bapak tak menjawab, hanya mengencangkan ikatan tali dan menyumpalkan sehelai kain ke mulut istrinya.
Malam ini adalah malam penghabisan. Malam untuk menghabiskan dan menumpahkan kelelahan karena ibu dan anak. Keduanya telah memeras otak dan pikirannya selama ini. Bapak merasa sudah seperti orang gila, kesadarannya hilang dan hasratnya tak tertahan melihat Nurul yang terus tumbuh dan berkembang menjadi seorang remaja. Nurul dengan kemudaan yang menggairahkan, tetapi istrinya sudah terlihat seperti mayat hidup. Ia takut, sangat takut.

Sesaat suasana hening, dan bapak hanya tegak berdiri di sisi ranjang. Ia bisa melihat mata bapak, mata itu tajam seperti mata milik kakek. Tak berapa lama, Bapak menerkam tubuhnya. Terkaman itu begitu kuat mencengkram tubuhnya. Ia tak bisa berontak atau berteriak lagi. Ia dipeluk, diciumi begitu lama. Ia bisa melihat mata bapak, bahkan ia menyadari bahwa mata bapak lebih tajam daripada mata  milik kakek. Mengerikan. Semakin lama gerakan bapak semakin liar, membuat derit ranjang berceracau tak karuan. Berkali-kali ia meringis, menahan sakit yang teramat perih. Ah…tidak kakek, tidak bapak, keduanya sama-sama bermata tajam.

Ibu tak bisa berbuat apa-apa, karena ia terlalu lemah, sangat lemah, bertambah pula dengan kedua kaki dan tangan yang terikat. Ibu bahkan tidak menangis untuk penderitaan anaknya. Ia hanya bisa menangis, menahan segala sakit dan perih. Wajahnya basah dan ia menyesali satu hal, bila ia tetap di rumah kakek, tidak pergi ke rumah ibu malam itu, mungkin ibu dan bapak masih tetap menjadi keluarga yang bahagia. Ibu mungkin masih terlihat cantik dan sehat, dan mata tajam bapak tak akan pernah dilihatnya malam ini. Ia ingin mengutarakan hal ini kepada ibu, mengutarakan penyesalan tentang satu hal yang saat ini menerjang jiwanya sedemikian dahsyat, tetapi mulutnya tersumpal, tak dapat melontarkan kata-kata sepatah pun. Perlahan ibu menolehkan kepalanya, mata mereka bertemu. Ia melihat mata ibu bercahaya sebentar namun pudar pada akhirnya. Kini, mata ibu terlihat kosong.

Medan, 512. Aluminium.

Jalanan sunyi dan gelap. Kelebat angin malam keras menghantam tubuh seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun. Paras pucatnya jelas terlihat. Udara malam kian dingin, tetapi ia masih berjalan menyusuri trotoar tanpa tujuan. Ibu, gumamnya.

Cerpen:    Intan Hs

Malam kian larut. Langkahnya bak hanyut dalam perasaan luka yang deras. Ia tak berani pulang. Rasa sakit masih membekas dan menggerayangi jiwanya. Ia masih menyusuri trotoar, sesekali teringat kenangan tentang kakek dan matanya yang tajam.

Hujan baru mulai, saat timbul niat. Ia berniat pulang kepada ibu, ke rumah ibu. Dengan langkah gegas, ia menembus gerimis. Tubuhnya seketika basah, tak lama gigil menahan dingin. Wajahnya basah, entah karena gerimis ataukah air mata. Berkali-kali ia menggigit bibirnya, dalam rasa getir yang menggigil. Rasa getir yang mendekapnya sepanjang jalan. Bagaimanapun ia harus pulang kepada ibu, bukan kakek.

Langkahnya berhenti di depan rumah. Ia menahan debaran jantung yang berpacu membayangkan kemarahan di wajah ibu. Tapi kemarahan ibu lebih baik dari kesakitan. Biarlah…biar, pikirnya.
*

Pintu terbuka. Dua orang berdiri dalam amarah ditingkahi gelisah. Wajah keduanya berkeringat dan rambut yang acak-acakan. Didepannya bapak sedang berdiri, ia bukan bapak kandungnya, ia menjadi bapaknya hanya karena menikah dengan ibu. Bapak kandungnya meninggal dua tahun yang lalu, tiba-tiba saja, tanpa sebab apa-apa. Ibu berdiri di sebelah kanan bapak dengan beberapa kancing baju yang belum tertutup sempurna, ibu tetap cantik, masih putih dan ramping. Lima tahun lalu hingga malam ini, kecantikan ibu belum berubah, Ia dapat menangkap dua wajah yang tegang dan marah.
“Mau apa kau Nurul, malam-malam begini ke rumah Ibu?” Suara ibu bergetar menahan marah
Ia hanya terdiam. Menunduk semakin dalam.
“Hei jawab! Jangan diam saja.”

“Aku ingin tinggal dengan Ibu,” jawabnya memberanikan diri.
“Apa kau bilang?” Ibu terperangah. Suaranya serak.

Ia melihat wajah ibu, bertambah tegang dan merah. Wajah yang sama seperti saat bapak masih hidup dan kerap menampar pipi ibu.
“Pergi. Tinggal dengan Kakekmu. Ibu tak sudi melihatmu.”

“Tapi Bu, aku mau tinggal dengan Ibu, tak mau tinggal dengan Kakek lagi.”
“Tidak boleh, Ibu tak sudi melihatmu. Melihatmu seperti melihat Bapakmu yang sudah mati dimakan cacing. Pergi kau!”
Bapak mendesah sambil menatap wajah ibu.

“Biarkan dia disini.” Suara Bapak pelan, mencoba menengahi.
Entah mengapa ibu seperti menurut saja ucapan bapak. Perlahan-lahan wajah ibu berubah, tidak lagi terlihat tegang dan marah.
“Dia juga anakmu. Kau pernah mengandungnya.”

Ibu mengangguk lemah. Hening beberapa saat. Tak lama bapak memandang tajam ke arah ibu. Mata Bapak persis mata kakek, tajam. Bapak menggenggam tangan ibu. Keduanya membalikkan badan dan melangkah menuju suatu kamar.

Ia lega amarah ibu mereda. Ada bahagia dalam relung jiwanya, terlepas begitu saja dari kakek dan matanya yang tajam. Bila saja setelah bapak meninggal, ibu tak pernah menyuruhnya tinggal bersama kakek, mungkinkah kesakitan ini tak pernah menghimpitnya. Tak lama ia mendengar derit. Bunyi deritan ranjang. Ia tahu dengan pasti bunyi itu seperti yang sering dialaminya sendiri. Derit ranjang terdengar bersama jeritan ibu, berbaur dengan lenguh nafas yang berat. Ia masih berdiri di tempat, sebelum keduanya pergi meninggalkannya begitu saja. Ia sangat mengerti derit ranjang, tetapi jeritan ibu tak dipahaminya, mungkinkah terjadi sesuatu dengan ibu dan ibu membutuhkan pertolongan. Mengapa ibu menjerit, suaranya perlahan seperti berbisik.
Ia ingin tahu, dan melangkah perlahan menuju suatu kamar. Pintu kamar belum tertutup sempurna, dan ia masih bisa melihat kedalamnya. Bapak bergerak liar di atas tubuh telanjang ibu. Ibu sesekali menggelinjang dan menjerit. Ia tak tahan melihat gerakan liar bapak, seperti kakek. Persis.
Wajahnya basah mengingat kenangan. Tubuhnya dirundung cemas dan takut. Ia mencoba mengusir segala resah dan gelisah, tapi hanya ada tangis. Tangis yang tak akan habis.

Di luar hujan sudah selesai, tetapi udara masih dingin. Terdengar lagi olehnya derit ranjang, berirama tak karuan, semakin lama iramanya semakin cepat. Lagi ia teringat derit ranjang di rumah kakek, juga gerak liar dan lenguh nafas berat. Tubuhnya basah, rambutnya juga basah karena gerimis tadi, tetapi wajahnya basah karena air mata.
*

Hari beranjak pagi. Udara masih lembab sehabis hujan tadi malam. Bapak duduk menyeruput kopi di beranda rumah, sementara ibu terlihat sibuk di dapur. Ia hanya duduk diam, memperhatikan ibu.

“Kau harus kembali ke rumah Kakek!”

Ia menggeleng, lalu memandang ibu.
“Jangan memandangku seperti itu. Bola matamu seperti Bapakmu yang sudah mampus di kuburan.” Ibu mengumpat.
“Tidak. Aku tak mau Bu, biarkan aku bersama Ibu. Aku janji tak akan menyusahkan Ibu.”
“Tidak boleh. Ibu tidak mau. Kau harus pergi atau Ibu yang pergi dari sini!”
“Tapi…Bu,”

Ia tersentak. Perkataannya belum selesai, ibu sudah pergi meninggalkannya. Ia tak dapat lagi berbicara, padahal begitu banyak yang ingin diucapkannya pada ibu. Lima tahun semenjak kepergian bapak, begitu banyak kisah juga luka yang ingin dibaginya kepada ibu. Wajahnya mendadak dingin mengingat ucapan ibu. Sekelilingnya hening. Tiba-tiba ia merasa kegelapan, dan kekosongan menindih tubuhnya. Betapa ia ingin ibu terlibat pembicaraan tentang luka dan sakit selama tinggal dengan kakek. Susah payah ia lepas dari cengkraman kakek, tetapi ibu ingin ia kembali tinggal bersama kakek. Ia merasa tubuhnya berat, begitu berat. Ia tak tahu harus berbuat apa.

Hari masih pagi, saat bapak dan ibu bertengkar. Ia tahu, dirinya yang menjadi sebab pertengkaran keduanya pagi ini. Ibu ingin Nurul diusir keluar rumah, tetapi bapak tidak mengijinkannya. Hari-hari berikutnya, pertengkaran masih sering terjadi di rumah, belakangan ia tak lagi mengerti pangkal pertengkaran keduanya. Bapak sering mengumpat setiap kali ibu ketakutan dan menjerit tak karuan. Seringkali ia melihat bapak menggampar pipi ibu untuk menyadarkan ibu yang menjerit ketakutan tanpa sebab. Kelakuan ibu kian hari kian aneh, karena sering mengunci diri di dalam kamar. Hampir tiap hari ibu hanya berbaring di atas ranjang, tak melakukan apapun kecuali menangis. Ia melihat mata ibu mulai kering dengan wajah yang semakin mencekung. Ibu terlihat tua.
*

Malam belum terlalu larut, saat ia menghampiri kamar ibu yang tak terkunci. Ibu terlihat pulas dalam tidurnya. Saat ini ibu sudah jarang menangis, mungkin karena tak bisa lagi menangis. Mendadak tubuhnya disergap dari belakang. Ketakutan membuatnya berteriak. Sontak ibu terbangun karena teriakan itu. Ia melihat dengan seksama, ternyata bapak yang menyergapnya. Dengan sigap, bapak menyumpal mulutnya dengan selembar kain. ibu terheran-heran melihat sikap suaminya.

“Apa yang akan kau lakukan padanya? “
“Kau jangan ikut campur. Ini urusanku.”

Wajah ibu tegang. Bapak mengikat kedua tangan dan kaki Nurul pada sisi ranjang. Ibu benar-benar tak tahu apa yang ada dalam pikiran suaminya. Setelah selesai mengikat Nurul, ibu tak menyangka suaminya juga mengikat kedua tangan dan kakinya, bersebelahan dengan Nurul.

“Mau apa kau?”

Bapak tak menjawab, hanya mengencangkan ikatan tali dan menyumpalkan sehelai kain ke mulut istrinya.
Malam ini adalah malam penghabisan. Malam untuk menghabiskan dan menumpahkan kelelahan karena ibu dan anak. Keduanya telah memeras otak dan pikirannya selama ini. Bapak merasa sudah seperti orang gila, kesadarannya hilang dan hasratnya tak tertahan melihat Nurul yang terus tumbuh dan berkembang menjadi seorang remaja. Nurul dengan kemudaan yang menggairahkan, tetapi istrinya sudah terlihat seperti mayat hidup. Ia takut, sangat takut.

Sesaat suasana hening, dan bapak hanya tegak berdiri di sisi ranjang. Ia bisa melihat mata bapak, mata itu tajam seperti mata milik kakek. Tak berapa lama, Bapak menerkam tubuhnya. Terkaman itu begitu kuat mencengkram tubuhnya. Ia tak bisa berontak atau berteriak lagi. Ia dipeluk, diciumi begitu lama. Ia bisa melihat mata bapak, bahkan ia menyadari bahwa mata bapak lebih tajam daripada mata  milik kakek. Mengerikan. Semakin lama gerakan bapak semakin liar, membuat derit ranjang berceracau tak karuan. Berkali-kali ia meringis, menahan sakit yang teramat perih. Ah…tidak kakek, tidak bapak, keduanya sama-sama bermata tajam.

Ibu tak bisa berbuat apa-apa, karena ia terlalu lemah, sangat lemah, bertambah pula dengan kedua kaki dan tangan yang terikat. Ibu bahkan tidak menangis untuk penderitaan anaknya. Ia hanya bisa menangis, menahan segala sakit dan perih. Wajahnya basah dan ia menyesali satu hal, bila ia tetap di rumah kakek, tidak pergi ke rumah ibu malam itu, mungkin ibu dan bapak masih tetap menjadi keluarga yang bahagia. Ibu mungkin masih terlihat cantik dan sehat, dan mata tajam bapak tak akan pernah dilihatnya malam ini. Ia ingin mengutarakan hal ini kepada ibu, mengutarakan penyesalan tentang satu hal yang saat ini menerjang jiwanya sedemikian dahsyat, tetapi mulutnya tersumpal, tak dapat melontarkan kata-kata sepatah pun. Perlahan ibu menolehkan kepalanya, mata mereka bertemu. Ia melihat mata ibu bercahaya sebentar namun pudar pada akhirnya. Kini, mata ibu terlihat kosong.

Medan, 512. Aluminium.

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/