Cerpen Dadang Ari Murtono
Dadanya berdegup kencang. Keringat dingin mengalir dengan deras dari keningnya. Seolah ada sumber air di kening itu. Berulang ia menggumam semata untuk menenangkan dirinya sendiri, “Semua akan baik-baik saja. Semua akan aman-aman saja, sejam lagi aku akan sampai,” dengusnya. Jantungnya berderap cepat. “Apakah orang-orang itu juga merasakan apa yang kurasakan?” bisiknya lagi.
amun usahanya menenangkan dirinya sendiri sia-sia belaka. Keringat dingin masih mengalir dengan deras. Bulu kuduknya merinding. Matanya melotot. Jari-jarinya mencengkeram pegangan kursi dengan kuat.
Wajah ibunya berkelebatan di pelupuk matanya. Ibu yang sehari sebelumnya meneleponnya dan berkata, “pulanglah. Keadaan ibu sudah semakin memburuk. Ibu ingin bertemu denganmu.”
Ia mencoba menghibur diri dengan bayangan ibunya itu. Tapi ia tetap merasa ketakutan.
“Beginikah rasanya menjadi ikan dalam kaleng sarden?” bisiknya lagi.
Sebenarnya, ia ragu-ragu dengan perjalanan ini. Seumur-umur, ia tidak pernah naik pesawat. Dalam benaknya, pesawat-pesawat itu serupa kaleng sarden yang gampang penyok, gampang rusak. Ia lebih suka naik bis atau kereta. Tapi telepon ibunya membuatnya mau tidak mau mesti naik pesawat.
“Sudah tiga hari ibu tidak bisa bangun. Ibu merasa waktunya sudah dekat sekali. Ibu ingin pergi dengan ditunggui oleh seluruh anak-anak ibu. Pulanglah,” kata ibunya di telepon.
Ia sangat menyayangi ibunya. Masih jelas dalam ingatannya betapa kuat ibunya itu. Semenjak bapaknya pergi bersama perempuan lain dan tak kembali lagi, ibunya menjadi tulang punggung keluarga. Tak sekali pun ia dengar ibunya mengeluh.
Tak sekali pun juga ibunya meminta sesuatu pada anak-anaknya. Anak-anak yang kini telah jadi orang. Kakaknya yang tertua jadi akuntan di Jakarta. Kakak perempuannya jadi sekretaris sebuah perusahaan asing di Surabaya. Sedang dia sendiri memiliki toko kue yang lumayan laris.
“Kakak-kakakmu juga sudah ibu hubungi. Dan akan menjenguk ibu besok. Kau juga harus datang secepatnya.”
Hanya kali ini saja ibunya meminta. Dan bagaimana ia bisa menjadi anak yang baik bila tidak memenuhi permintaan ibunya? Maka, sekali pun takut, ia paksa dirinya untuk naik pesawat.
Dan kini, ia merasa dirinya tengah berada dalam sebuah kaleng. Ia merasa dirinya adalah potongan-potongan daging ikan dalam kaleng sarden. Di bawah, laut yang begitu biru seakan-akan memanggil-manggilnya. Seakan berkata, “hayo… berenanglah seperti ikan!”
Tapi ia bukan ikan sekali pun kini ia merasa tengah berada dalam kaleng sarden. Mulutnya kembali komat-kamit. Berdoa. Namun ia malah teringat berita-berita yang sering ia tonton di televisi atau ia baca di koran. Berita-berita tentang pesawat-pesawat yang dikabarkan hilang. Lalu ditemukan dalam keadaan tinggal puing-puing. Dan penumpang-penumpangnya bergeletakan di sana-sini. Tentu saja dalam kondisi telah meninggal dunia. Ia bergidik ngeri.
“Semua akan baik-baik saja,” desisnya lagi. Tapi sesungguhnya, ia tidak yakin dengan apa yang barusan ia desiskan. Kembali ia mencoba mengingat wajah ibunya. Wajah yang telah dipenuhi oleh kerut-merut. Wajah dengan rambut yang hampir semua telah beruban. Bagaimana keadaan ibunya kini? Ia berharap ibunya akan segera sehat kembali. Sungguh, ia belum menikah. Ia ingin mengenalkan pacarnya kepada ibunya. Ia ingin mencium kaki ibunya pada hari pernikahannya. Ia ingin ibunya membantunya bersalin. Ia ingin ibunya mengajarinya cara mengganti popok dan menggendong bayi. Ia ingin anak-anaknya kelak masih bisa merasakan hangat tangan ibunya.
Namun yang muncul dalam bayangannya adalah wajah seorang perempuan yang letih. Yang pucat. Yang menatap dengan tatapan sarat kepedihan. Seperti ada sesuatu yang demikian berat menimpa ibunya.
Tapi apa yang menyebabkan ibunya menatap dengan tatapan semacam itu? Apakah ibunya takut mati? Tidak! Ibunya berulang bilang tidak takut mati. Ibunya hanya ingin ketika hari kematian itu tiba, seluruh anak-anaknya berkumpul di sekitar tempat tidur di mana ibunya terbaring.
Bila ada yang takut mati, maka itu adalah dia. Dan bila ada yang membuat ibunya bersedih, itu pasti karena ia atau dua saudaranya.
Dulu, dulu sekali, ketika ia masih kecil, ibunya pernah menangis menggerung-gerung melihat ia pulang dengan kaki dan tangan berdarah. Ia ikut kawan-kawan laki-lakinya memanjat pohon jambu. Dan ia terjatuh. Kaki dan tangannya patah. Sungguh, tak pernah ia melihat ibunya sehisteris waktu itu.
Ibunya pasti akan baik-baik saja. Ibunya pasti akan masih bisa menimang cucu-cucu yang akan ia berikan. Begitu pula ia. Akan baik-baik saja. Ini cuma sebuah perjalanan. Dan bukan hanya dia yang ada dalam perjalanan ini. Tapi juga banyak orang di sampingnya. Dan orang-orang itu terlihat baik-baik saja. Perasaan cemas yang keterlaluan ini pasti karena ketakutannya sendiri. Pasti karena ini adalah perjalanan pertamanya dengan pesawat.
Lagipula, si pilot pastilah bukan orang sembarangan. Si pilot pastilah sudah berpengalaman. Si pilot pastinya juga ingin selamat. Dan pramugari-pramugari itu pastinya juga tidak akan tinggal diam bila terjadi sesuatu. Mereka pasti akan mementingkan keselamatan penumpang bila sampai hal yang tidak dikehendaki terjadi. Pasti sudah ada peralatan-peralatan untuk menyelamatkan diri.
Ya, semua akan baik-baik saja.
Tapi ia masih merasa berada dalam kaleng. Kaleng yang rapuh dan gampang penyok. Ia merasa sedang menjadi potongan-potongan daging ikan dalam kaleng sarden. Dan perasaan semacam itu membuatnya bertambah cemas. Tangannya masih memegang erat pegangan kursi. Keringat dingin masih mengucur dengan deras dari keningnya.
“Apakah ibu sakit?” tiba-tiba terdengar suara. Ia mendongak. Seorang pramugari dengan senyum yang begitu manis tertangkap matanya.
“Semua akan baik-baik saja, bukan?” jawabnya dengan ganti bertanya. Ia tahu, suaranya bergetar ketika mengucapkan kalimat itu.
“Ibu tenang saja. Semua akan baik-baik saja. Sebentar lagi kita akan sampai,” jawab si pramugari sembari masih memamerkan senyum yang teramat manis.
Namun baginya, sebentar ini terasa begitu lama. Seperti berabad-abad. Di bawah, ia merasa laut masih memanggil-manggilnya. “Hayo… ikan, berenanglah… berenanglah…”
Dan kenapa tiba-tiba ada awan hitam di sekitar pesawat ini?
“Tidak apa-apa ibu. Hanya cuaca yang sedikit buruk. Tidak akan terjadi hal tidak kita inginkan,” tambah si pramugari melihatnya bergidik menatap awan-awan hitam itu.
Benarkah itu hanya awan mendung biasa? Dalam benaknya, awan-awan hitam itu serupa benar dengan kuah bumbu sarden. Hanya saja warnanya berbeda. Awan itu hitam sementara kuah bumbu sarden berwarna merah. Tapi entahlah, melihat awan-awan mendung itu, ia semakin merasa bahwa dirinya hanyalah potongan-potongan daging ikan dalam kaleng sarden.
Wajah ibunya kembali terbayang. Wajah yang menatapnya begitu dalam. Seperti menatap mayat saja. Seperti menanggung kesedihan yang begitu mendalam. Seperti tertimpa musibah. Seperti melihat orang tersayang meninggal.
Ia tidak tahu kenapa bayangan wajah ibunya seperti itu. Bukankah seharusnya wajah ibunya terlihat kuyu? Bukankah semestinya ia yang menatap ibunya dengan pandangan penuh kesedihan? Tapi bahkan, tatapan kesedihannya tidak akan seperti tatapan bayangan ibunya yang berlintasan di matanya. Ibunya hanya sakit. Dan akan segera sembuh. Sedang tatapan ibunya? Ah, hanya kematian yang bisa menyebabkan tatapan semacam itu ada.
Tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat. Ia terkejut. Dan tanpa sadar, berteriak. Tapi teriakannya segera tenggelam dalam teriakan-teriakan lainnya. Mulanya, ia mengira getaran itu hanya karena perasaan cemasnya saja. Namun tidak. Semua orang ikut bergetar. Semua orang ikut berteriak.
“Semua baik-baik saja. Hanya gangguan kecil. Silakan kembali duduk dengan tenang,” kata si pramugari berusaha menenangkan para penumpang. Tapi orang-orang tetap berteriak. Sungguh, sekali pun pramugari itu berkata semacam itu, tapi ada perasaan takut yang terpancar dari mata yang indah itu.
Ia merasa pesawat itu berguncang lagi. Lebih keras. Orang-orang semakin panik. Dan kini, pramugari itu ikut-ikutan panik.
Ia merasa pesawat itu meluncur ke bawah dengan cepat. Ia merasa dirinya tengah berada dalam kaleng sarden yang dikocok. Ia merasa semua orang yang ada di sana tak lebih dari potongan-potongan daging ikan. Daging ikan yang siap dituang ke piring.
Ia berteriak lebih keras. Orang-orang juga. Wajah ibunya kembali melintas. Melintas dan menatapnya dengan kesedihan yang luar biasa. Melintas dan berkata, “kenapa kau yang mesti mati? Kenapa?”
Ya, ia merasa benar-benar menjadi potongan daging ikan berbumbu dalam kaleng sarden. Potongan yang akan segera dituang dengan bumbu merah yang lumayan pedas. Bumbu merah yang berasal dari darah yang muncrat dari tubuh yang akan menjadi serpihan. Darahnya. Juga darah orang-orang di sekitarnya. (*)