25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Parasit

Cerpen Ester Pandiangan

Kubanting keras tumpukan piring dan gelas di bak cuci piring. Dengan ekor mata, kulirik abangku yang tergolek kekenyangan di depan televisi. Sepiring ikan teri sambal dan semangkuk daun ubi tumbuk hasil masakanku yang rencananya untuk makan siang dan malam, kini habis kandas.

BAHKAN bagian koko—suamiku juga ludes. Ugh, kesal bukan main! Martua memang abangku tapi seharusnya dia sadar diri dong, kan aku sudah bilang lauk yang kumasak ini untuk siang dan malam. Mau tak mau aku membanting kembali peralatan makan tersebut.

Prang! Untung tidak pecah. Mataku masih membuntuti gerakannya. Perlahan dia bangkit dan berjalan ke teras depan.

Apalagi kalau bukan untuk merokok! Martua sudah dua bulan tinggal di rumah kami di Jakarta. Dulunya dia menetap di Medan. Namun karena suatu hal, Martua sempat menjadi penghuni penjara. Setahuku karena masalah penggelapan peralatan kantor di tempat kerjanya.

Terpaksa abang keduaku itu menjadikan dinginnya semen penjara sebagai alas tidurnya.

Sembari mencuci piring aku mengingat kejadian dulu. Betapa peristiwa itu membuat keluarga kami shock. Untung saja bapak dan mamak tak ada lagi. Kalau masih bernafas apa kata mereka menyaksikan salah satu anaknya menyandang status napi? Enam bulan dia menjadi penghuni tetap penjara akhirnya dia keluar menghirup udara bebas. Itu pun setelah membayar uang damai Rp10.000.000. Tadinya jaksa meminta Rp20.000.000. Karena angka tersebut begitu mencekik leher dengan ‘baik hati’ si jaksa memberikan korting. Saat kami mau minta kurang lagi jaksa bilang uang tersebut mau dibagi lagi dengan hakim.

Jadi, Rp10.000.000 sudah harga mati.

Weleh-weleh…setelah korek sana-sini, kami—lima orang bersaudara- berhasil mengumpulkan jumlah uang yang diminta.

Ternyata belenggu penjara bukan menjadi jaminan bagi Martua untuk benar-benar menghirup udara bebas. Pasalnya dia harus berkelat-kelit menghindari kejaran para penagih kartu kredit.

Demi menghindari itu jualah Martua pun melarikan diri ke Batam ke tempat saudara tertua kami tinggal. Hanya beberapa bulan Martua tinggal di Batam, istri abangku Ci Lilis tak tahan dengan gelagat Martua yang dirasa kurang berkenan di hatinya.

Mulai dari malas-malasan, tak ada inisiatif membantu. Duduk, makan dan merokok.

Itu saja kerjanya. Saat mendengar kesahnya sempat terpikirku itu ada-adanya Ci Lilis saja. Karena dia tak mau rumah tangganya diganggu dengan urusan adik ipar.

Beberapa bulan mengecap hidup di Batam, Martua dioper ke Palembang. Tempat saudara ketiga kami. Pun di Palembang, Martua sempat bekerja di perusahaan dimana Rusman, suami Martha saudara kami bekerja. Tak lama berselang. Hanya seumur jagung saja, dengan sedikit dibumbui pertengkaran Rusman meminta Martua untuk angkat kaki dari rumahnya. Katanya Martua tak bisa diatur. Maunya langsung dapat pekerjaan enak dan sejuta alasan lain.

Dengan sebab itulah akhirnya Martua pindah lagi ke Jakarta. Ternyata apa yang dibilangkan para kakak ipar tercinta benar adanya. Di rumahku, Martua juga berkelakuan sama. Dan yang buat kesalnya lagi sudah numpang di rumah orang, Martua suka mengomentari kalau-kalau ada hal kurang sesuai dengan seleranya. Seperti soal sarapan ada saja komentarnya. Memang tidak marah atau ngomel. Tapi ada saja celetukannya yang menohok hati.

Misalnya saja seperti beberapa hari lalu.

Aku hanya menyiapkan nasi putih dan telor mata sapi sebagai sarapan. Dia yang bangun sudah hampir tengah hari membuka tudung saji sembari berkata, “Yang namanya sarapan itu kalau nggak lontong ya nasi gurih,” cetusnya. Aku yang saat itu sedang menggiling cabe rasanya ingin menowel bibirnya pakai ulekan sambal begitu mendengar omongan tersebut.

Hal ini sempat kukeluhkan pada Koko suamiku. Untungnya si Koko dapat lebih sabar. Justru aku saudara kandung, setali sedarah yang makan hati. “Sudahlah itu kan abangmu mungkin dia lagi stress karena baru keluar dari penjara itu,” koko coba mengademkan hatiku yang panas.

“Iya Ko tapi tingkah lakunya itu bikin makan hati,” seruku kesal sembari memilin-milin daster kucel yang belum kuganti sedari pagi. “Aduh, Mama kalau marah tambah manis deh,” rayunya sembari mengelus pipiku.

Rayuan-rayuan manis Koko memang menenangkan hatiku. Tapi, hanya sementara.

Setelah hari berganti, tumpukan kekesalan yang baru, kembali dituangkan oleh Martua.

Pakaian-pakaian kotor yang menggunung dan tak dicuci-cuci, setoran lima ribu yang harus kuberikan kepada Martua untuk uang rokoknya belum lagi rentetan kerepotan- kerepotan lain yang timbul semenjak abangku tinggal di rumah kami. Aduh! Aku memijit-mijit kepala mencoba mengurangi nyut-nyutan yang kurasa. Beginilah rasanya makan hati karena parasit.

*****
Kuhembuskan asap rokok kuat-kuat ke udara. Dua siswi SMP yang lewat di depanku mengipas-ngipas tangannya tanda terganggu karena asapku. Prang-prang! Bukan tak kudengar adu piring dan gelas yang dicampakkan kuat-kuat ke bak cuci piring oleh Maria.

Mencuci piring. Akh! Dulu aku sempat melakoni pekerjaan itu kala di penjara dulu.

Tanpa kuinginkan, sekelebat kenangan yang ingin kukubur dalam-dalam sejenak mengambang meminta untuk dibaca kembali.

Dapur umum tersebut demikian luas. Samar- samar terdengar puluhan pasang sendok dan garpu yang diadu dalam piring.

Tumpukan piring kotor dan gelas-gelas plastik tak ubahnya gunung yang kian lama kian meninggi. Aku menelan ludah kala piring kotor yang datang lebih banyak dari jumlah piring yang kucuci. Entah kenapa semakin cepat aku mencuci semakin cepat juga piring-piring kotor dari para napi masuk ke bak cuciku.

Aku mendesah, mengelap keringat sejenak.

“Cepat-cepat kau kerja!” tegur Bang Ucok, Kepala Dapur Umum menyela jedaku.

“I… iya Bang,” tukasku.

Aku harus cepat-cepat kalau tidak Bang Ucok tak akan mau lagi menerima aku bekerja disini. Tumpukan piring ini lebih baik dari pada harus…. Ingatanku kembali ke hari pertama aku menjadi penghuni tetap rumah tahanan ini: Sembari petugas mengantarku ke sel, teriak yel-yel para tahanan menyambut tahanan baru membahana, menggaungi telingaku. Seorang tahanan berwajah berewok memberikan seringai keji kepadaku.

Tak ubahnya monyet di kebun binatang, dia memegang terali penjara dan menempelkan mukanya di batang jeruji tersebut.

Tak hanya si berewok, beberapa tahanan lain memberikan pandangan selamat datang yang berbeda. Seperti yang dilakukan tahanan bertampang klimis yang hanya dua sel bedanya dari si brewok. Dia memandangku demikian tajam. Tatapannya seakan melucuti pakaian yang kukenakan.

Dari yang duduk, dia bangkit dan berjalan mendekat. Kemudian sepasang tangan berbulu miliknya menggayuti jerujijeruji kamar tahanannya. Sebelum aku memasuki sel yang menjadi tempat tinggalku— selama entah berapa lama—sudut mataku sempat menangkap kedipan mata yang diiringi sapuan lidah di bibirnya. Untukku….

*****
“Ko aku minta uang belanja ya!” “Lho, bukannya semalam udah saya kasih, Ma?” sejenak saya menghentikan aktivitas mengenakan pakaian dan memandangnya.

“Iya,” Mama merapikan sudut seprei lalu menambahkan, “Tapi kurang Ko, udah habis!” sambungnya.

Saya menatapnya heran. Bukannya tiga hari yang lalu saya ngasih Rp100.000 untuk uang belanja seminggu. Ini masih berapa hari. Saya mengecek kalender di dinding siapa tahu saja hitung-hitungan saya salah.

Lah iya betul kok! Tampak lingkaran merah menandai tanggal lima.

“Biasanya juga Rp100.000 untuk seminggu Ma. Ini belum seminggu kok sudah habis,” saya menatapnya lelah campur bingung.

Lelah karena pekerjaan hari ini. Bingung karena dapat uang darimana untuk menambahi uang belanja si Mama.

“Saya baru bayar gaji anak buah untuk minggu ini Ma, tagihan belum datang. Lagian Mama kok cepat sekali uang habis,” tanyaku tanpa maksud curiga.

Alis matanya sontak menyatu, “Habis gimana? Pengeluaran kita ya ke situ-situ aja Ko! Ini karena abang tinggal disini makanya ada pengeluaran tambahan,” tukasnya keras.

Saya mendeliknya, “Ssst..jangan keraskeras nanti abang dengar gimana?” Saya jadi bingung Martua ini abangnya atau abang saya. Kenapa jadi saya yang harus nggak enak hati kalau Martua sampai mendengar perdebatan ini.

Mama menghela nafas, “Tiap hari aku harus kasih abang Rp5.000 untuk uang rokoknya. Belum lagi tambahan yang lain-lain. Bang Martua kuat makan, Ko.

Mau nggak mau, lauk siang dan malam harus ditambahin banyak untuk abang.

Itu kan pengeluaran juga, Ko,” tatapannya mulai mengendur.

Kini giliran saya mengeluh dalam hati.

Aduh, uang darimana? Mau tak mau saya jadi mengingat tingkah-pola Martua yang membuat kesal. Aktivitasnya yang hanya makan tidur. Tak ada semangat untuk mencari kerja. Malas mengerjakan apa pun. Untuk mencuci pakaiannya sendiri dia pun enggan. Mau tak mau saya jadi merutuk dalam hati. Dasar parasit!
*****
Dia melenguh. Nafasnya memburu. Aku melengkungkan tubuh berusaha melawan.

Tapi dia begitu kuat. Aku merasakan rambut tangannya menggelitik punggungku yang polos. Aku menggigit bibir berusaha menahan jeritan kala sesuatu memasuki belakang tubuhku. Rasanya begitu sakit, menjijikkan.

Aku berusaha menghilangkan aroma memuakkan yang melingkupiku. Dia bergerak naik turun seperti komidi putar.

Aku coba membayangkan masa-masa aku mengajak keponakanku bermain komidi putar. Tapi itu justru makin memperburuk perasaan. Aku hanya merusak kenangan indah bersama keponakanku dengan menyamakannya dengan kondisiku sekarang.

Sepertinya dia sudah selesai. Dengan kasar dia membalikkan badanku. Aku menutup mata. Enggan untuk membukanya. Usapan kasar dan basah menyentuh pipiku. Aku memaksa membuka kelopak mata dan memberinya tatapan acuh -seolah tak terjadi apa-apa.

Dan dia memberikan pandangan itu. Kedipan mata dan jilatan di bibir hitamnya. Sebelum beranjak dan mengancingkan celananya, dia menepuk kuat pipiku sembari menyeringai puas.

Aku menangkupkan kedua tanganku ke wajah. Kalau-kalau saja ingatan itu akan berlalu. Samar kudengar percakapan Maria dan adik iparku.

“Habis gimana pengeluaran kita ya ke situ-situ aja Ko. Ini karena abang tinggal disini makanya ada pengeluaran tambahan!” “Ssst..jangan keras-keras nanti abang dengar gimana?” Aku bangun dari tempat tidur. Membuka kaos yang basah karena keringat. Setiap mengingat penggalan kejadian-kejadian di penjara membuat peluhku mengucur tiada henti. Nafsu makanku jadi memuncak.

Rasa-rasanya setiap makanan yang masuk ke mulut membuatku sejenak melupakan apa yang tak mau aku ingat.

Aku membuka pintu kamarku perlahan.

Aku masih mendengar percakapan antara Maria dan suaminya. Namun lebih menyerupai bisikan. Aku melangkah menuju meja dapur. Mencoba melihat kalau-kalau ada makanan sisa yang dapat kujejalkan ke mulut. Perlahan kubuka tudung saji.

Hanya ada sepiring nasi, sepotong ikan dan mangkok dengan beberapa batang bayam mengapung pada kuahnya, sisa makan malam.

Tanpa babibu segera saja kujejalkan makanan setengah dingin itu ke mulut. Entah apa rasanya. Aku tak peduli. Aku hanya berharap, setiap suapannya membuatku lupa pada kedipan mata, jilatan bibir dan seringai puas yang selama ini menjadi hantu dalam batinku. Walau hanya sekejap….(*)

Cerpen Ester Pandiangan

Kubanting keras tumpukan piring dan gelas di bak cuci piring. Dengan ekor mata, kulirik abangku yang tergolek kekenyangan di depan televisi. Sepiring ikan teri sambal dan semangkuk daun ubi tumbuk hasil masakanku yang rencananya untuk makan siang dan malam, kini habis kandas.

BAHKAN bagian koko—suamiku juga ludes. Ugh, kesal bukan main! Martua memang abangku tapi seharusnya dia sadar diri dong, kan aku sudah bilang lauk yang kumasak ini untuk siang dan malam. Mau tak mau aku membanting kembali peralatan makan tersebut.

Prang! Untung tidak pecah. Mataku masih membuntuti gerakannya. Perlahan dia bangkit dan berjalan ke teras depan.

Apalagi kalau bukan untuk merokok! Martua sudah dua bulan tinggal di rumah kami di Jakarta. Dulunya dia menetap di Medan. Namun karena suatu hal, Martua sempat menjadi penghuni penjara. Setahuku karena masalah penggelapan peralatan kantor di tempat kerjanya.

Terpaksa abang keduaku itu menjadikan dinginnya semen penjara sebagai alas tidurnya.

Sembari mencuci piring aku mengingat kejadian dulu. Betapa peristiwa itu membuat keluarga kami shock. Untung saja bapak dan mamak tak ada lagi. Kalau masih bernafas apa kata mereka menyaksikan salah satu anaknya menyandang status napi? Enam bulan dia menjadi penghuni tetap penjara akhirnya dia keluar menghirup udara bebas. Itu pun setelah membayar uang damai Rp10.000.000. Tadinya jaksa meminta Rp20.000.000. Karena angka tersebut begitu mencekik leher dengan ‘baik hati’ si jaksa memberikan korting. Saat kami mau minta kurang lagi jaksa bilang uang tersebut mau dibagi lagi dengan hakim.

Jadi, Rp10.000.000 sudah harga mati.

Weleh-weleh…setelah korek sana-sini, kami—lima orang bersaudara- berhasil mengumpulkan jumlah uang yang diminta.

Ternyata belenggu penjara bukan menjadi jaminan bagi Martua untuk benar-benar menghirup udara bebas. Pasalnya dia harus berkelat-kelit menghindari kejaran para penagih kartu kredit.

Demi menghindari itu jualah Martua pun melarikan diri ke Batam ke tempat saudara tertua kami tinggal. Hanya beberapa bulan Martua tinggal di Batam, istri abangku Ci Lilis tak tahan dengan gelagat Martua yang dirasa kurang berkenan di hatinya.

Mulai dari malas-malasan, tak ada inisiatif membantu. Duduk, makan dan merokok.

Itu saja kerjanya. Saat mendengar kesahnya sempat terpikirku itu ada-adanya Ci Lilis saja. Karena dia tak mau rumah tangganya diganggu dengan urusan adik ipar.

Beberapa bulan mengecap hidup di Batam, Martua dioper ke Palembang. Tempat saudara ketiga kami. Pun di Palembang, Martua sempat bekerja di perusahaan dimana Rusman, suami Martha saudara kami bekerja. Tak lama berselang. Hanya seumur jagung saja, dengan sedikit dibumbui pertengkaran Rusman meminta Martua untuk angkat kaki dari rumahnya. Katanya Martua tak bisa diatur. Maunya langsung dapat pekerjaan enak dan sejuta alasan lain.

Dengan sebab itulah akhirnya Martua pindah lagi ke Jakarta. Ternyata apa yang dibilangkan para kakak ipar tercinta benar adanya. Di rumahku, Martua juga berkelakuan sama. Dan yang buat kesalnya lagi sudah numpang di rumah orang, Martua suka mengomentari kalau-kalau ada hal kurang sesuai dengan seleranya. Seperti soal sarapan ada saja komentarnya. Memang tidak marah atau ngomel. Tapi ada saja celetukannya yang menohok hati.

Misalnya saja seperti beberapa hari lalu.

Aku hanya menyiapkan nasi putih dan telor mata sapi sebagai sarapan. Dia yang bangun sudah hampir tengah hari membuka tudung saji sembari berkata, “Yang namanya sarapan itu kalau nggak lontong ya nasi gurih,” cetusnya. Aku yang saat itu sedang menggiling cabe rasanya ingin menowel bibirnya pakai ulekan sambal begitu mendengar omongan tersebut.

Hal ini sempat kukeluhkan pada Koko suamiku. Untungnya si Koko dapat lebih sabar. Justru aku saudara kandung, setali sedarah yang makan hati. “Sudahlah itu kan abangmu mungkin dia lagi stress karena baru keluar dari penjara itu,” koko coba mengademkan hatiku yang panas.

“Iya Ko tapi tingkah lakunya itu bikin makan hati,” seruku kesal sembari memilin-milin daster kucel yang belum kuganti sedari pagi. “Aduh, Mama kalau marah tambah manis deh,” rayunya sembari mengelus pipiku.

Rayuan-rayuan manis Koko memang menenangkan hatiku. Tapi, hanya sementara.

Setelah hari berganti, tumpukan kekesalan yang baru, kembali dituangkan oleh Martua.

Pakaian-pakaian kotor yang menggunung dan tak dicuci-cuci, setoran lima ribu yang harus kuberikan kepada Martua untuk uang rokoknya belum lagi rentetan kerepotan- kerepotan lain yang timbul semenjak abangku tinggal di rumah kami. Aduh! Aku memijit-mijit kepala mencoba mengurangi nyut-nyutan yang kurasa. Beginilah rasanya makan hati karena parasit.

*****
Kuhembuskan asap rokok kuat-kuat ke udara. Dua siswi SMP yang lewat di depanku mengipas-ngipas tangannya tanda terganggu karena asapku. Prang-prang! Bukan tak kudengar adu piring dan gelas yang dicampakkan kuat-kuat ke bak cuci piring oleh Maria.

Mencuci piring. Akh! Dulu aku sempat melakoni pekerjaan itu kala di penjara dulu.

Tanpa kuinginkan, sekelebat kenangan yang ingin kukubur dalam-dalam sejenak mengambang meminta untuk dibaca kembali.

Dapur umum tersebut demikian luas. Samar- samar terdengar puluhan pasang sendok dan garpu yang diadu dalam piring.

Tumpukan piring kotor dan gelas-gelas plastik tak ubahnya gunung yang kian lama kian meninggi. Aku menelan ludah kala piring kotor yang datang lebih banyak dari jumlah piring yang kucuci. Entah kenapa semakin cepat aku mencuci semakin cepat juga piring-piring kotor dari para napi masuk ke bak cuciku.

Aku mendesah, mengelap keringat sejenak.

“Cepat-cepat kau kerja!” tegur Bang Ucok, Kepala Dapur Umum menyela jedaku.

“I… iya Bang,” tukasku.

Aku harus cepat-cepat kalau tidak Bang Ucok tak akan mau lagi menerima aku bekerja disini. Tumpukan piring ini lebih baik dari pada harus…. Ingatanku kembali ke hari pertama aku menjadi penghuni tetap rumah tahanan ini: Sembari petugas mengantarku ke sel, teriak yel-yel para tahanan menyambut tahanan baru membahana, menggaungi telingaku. Seorang tahanan berwajah berewok memberikan seringai keji kepadaku.

Tak ubahnya monyet di kebun binatang, dia memegang terali penjara dan menempelkan mukanya di batang jeruji tersebut.

Tak hanya si berewok, beberapa tahanan lain memberikan pandangan selamat datang yang berbeda. Seperti yang dilakukan tahanan bertampang klimis yang hanya dua sel bedanya dari si brewok. Dia memandangku demikian tajam. Tatapannya seakan melucuti pakaian yang kukenakan.

Dari yang duduk, dia bangkit dan berjalan mendekat. Kemudian sepasang tangan berbulu miliknya menggayuti jerujijeruji kamar tahanannya. Sebelum aku memasuki sel yang menjadi tempat tinggalku— selama entah berapa lama—sudut mataku sempat menangkap kedipan mata yang diiringi sapuan lidah di bibirnya. Untukku….

*****
“Ko aku minta uang belanja ya!” “Lho, bukannya semalam udah saya kasih, Ma?” sejenak saya menghentikan aktivitas mengenakan pakaian dan memandangnya.

“Iya,” Mama merapikan sudut seprei lalu menambahkan, “Tapi kurang Ko, udah habis!” sambungnya.

Saya menatapnya heran. Bukannya tiga hari yang lalu saya ngasih Rp100.000 untuk uang belanja seminggu. Ini masih berapa hari. Saya mengecek kalender di dinding siapa tahu saja hitung-hitungan saya salah.

Lah iya betul kok! Tampak lingkaran merah menandai tanggal lima.

“Biasanya juga Rp100.000 untuk seminggu Ma. Ini belum seminggu kok sudah habis,” saya menatapnya lelah campur bingung.

Lelah karena pekerjaan hari ini. Bingung karena dapat uang darimana untuk menambahi uang belanja si Mama.

“Saya baru bayar gaji anak buah untuk minggu ini Ma, tagihan belum datang. Lagian Mama kok cepat sekali uang habis,” tanyaku tanpa maksud curiga.

Alis matanya sontak menyatu, “Habis gimana? Pengeluaran kita ya ke situ-situ aja Ko! Ini karena abang tinggal disini makanya ada pengeluaran tambahan,” tukasnya keras.

Saya mendeliknya, “Ssst..jangan keraskeras nanti abang dengar gimana?” Saya jadi bingung Martua ini abangnya atau abang saya. Kenapa jadi saya yang harus nggak enak hati kalau Martua sampai mendengar perdebatan ini.

Mama menghela nafas, “Tiap hari aku harus kasih abang Rp5.000 untuk uang rokoknya. Belum lagi tambahan yang lain-lain. Bang Martua kuat makan, Ko.

Mau nggak mau, lauk siang dan malam harus ditambahin banyak untuk abang.

Itu kan pengeluaran juga, Ko,” tatapannya mulai mengendur.

Kini giliran saya mengeluh dalam hati.

Aduh, uang darimana? Mau tak mau saya jadi mengingat tingkah-pola Martua yang membuat kesal. Aktivitasnya yang hanya makan tidur. Tak ada semangat untuk mencari kerja. Malas mengerjakan apa pun. Untuk mencuci pakaiannya sendiri dia pun enggan. Mau tak mau saya jadi merutuk dalam hati. Dasar parasit!
*****
Dia melenguh. Nafasnya memburu. Aku melengkungkan tubuh berusaha melawan.

Tapi dia begitu kuat. Aku merasakan rambut tangannya menggelitik punggungku yang polos. Aku menggigit bibir berusaha menahan jeritan kala sesuatu memasuki belakang tubuhku. Rasanya begitu sakit, menjijikkan.

Aku berusaha menghilangkan aroma memuakkan yang melingkupiku. Dia bergerak naik turun seperti komidi putar.

Aku coba membayangkan masa-masa aku mengajak keponakanku bermain komidi putar. Tapi itu justru makin memperburuk perasaan. Aku hanya merusak kenangan indah bersama keponakanku dengan menyamakannya dengan kondisiku sekarang.

Sepertinya dia sudah selesai. Dengan kasar dia membalikkan badanku. Aku menutup mata. Enggan untuk membukanya. Usapan kasar dan basah menyentuh pipiku. Aku memaksa membuka kelopak mata dan memberinya tatapan acuh -seolah tak terjadi apa-apa.

Dan dia memberikan pandangan itu. Kedipan mata dan jilatan di bibir hitamnya. Sebelum beranjak dan mengancingkan celananya, dia menepuk kuat pipiku sembari menyeringai puas.

Aku menangkupkan kedua tanganku ke wajah. Kalau-kalau saja ingatan itu akan berlalu. Samar kudengar percakapan Maria dan adik iparku.

“Habis gimana pengeluaran kita ya ke situ-situ aja Ko. Ini karena abang tinggal disini makanya ada pengeluaran tambahan!” “Ssst..jangan keras-keras nanti abang dengar gimana?” Aku bangun dari tempat tidur. Membuka kaos yang basah karena keringat. Setiap mengingat penggalan kejadian-kejadian di penjara membuat peluhku mengucur tiada henti. Nafsu makanku jadi memuncak.

Rasa-rasanya setiap makanan yang masuk ke mulut membuatku sejenak melupakan apa yang tak mau aku ingat.

Aku membuka pintu kamarku perlahan.

Aku masih mendengar percakapan antara Maria dan suaminya. Namun lebih menyerupai bisikan. Aku melangkah menuju meja dapur. Mencoba melihat kalau-kalau ada makanan sisa yang dapat kujejalkan ke mulut. Perlahan kubuka tudung saji.

Hanya ada sepiring nasi, sepotong ikan dan mangkok dengan beberapa batang bayam mengapung pada kuahnya, sisa makan malam.

Tanpa babibu segera saja kujejalkan makanan setengah dingin itu ke mulut. Entah apa rasanya. Aku tak peduli. Aku hanya berharap, setiap suapannya membuatku lupa pada kedipan mata, jilatan bibir dan seringai puas yang selama ini menjadi hantu dalam batinku. Walau hanya sekejap….(*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/