Lirih! Suara itu terdengar samar, merdu bahkan nyaris syahdu. Dalam gelegar teriakan petir yang
terdengar kasar menggelegar, suara itu membaur dalam samar. Saat petir mengumpat keras dalam guruh, suara itu kian menderu merdu. Jikala petir pongah membelah malam kelabu, suara itu berdenting syahdu. Layaknyalah Tuhan mematahkan sayapnya, saat ia membelot dan mengingkari perintah-Nya. Adam pun pernah terlempar saat menikmati manisnya buah surga, buah yang sebenarnya terlarang untuknya. Apalah artinya dia, seorang malaikat kecil yang menjaga langit terbawah dari tujuh lapisan yang ada. Dia pun jatuh sambil berteriak ampun.
Cerpen Tova Zen
Sayap-sayapnya patah saat petir men jatuhkannya ke bumi. Sanggupkah ia terbang dan meminta ampun? Wujudnya pun tak lagi serupa cahaya yang bersinar, tapi berbentuk tanah liat yang berdaging. Lorong waktu telah mengubahnya menjadi manusia setengah malaikat. Sekarang dia patut menerima hukuman.
Saat Jibril tuntas menyebarkan wahyu Tuhan pada manusia terpilih, dia malah di hukum jatuh ke bumi untuk melihat kelakar manusia. Lihatlah! Biar dia melihat betapa manusia masih banyak ingkar terhadap Tuhannya. Sadarkah ia, bahwa ia terdampar untuk menyaksikan kemunafikan manusia. Tetes embun itu akan menunjukan mana yang baik dan mana yang buruk. Tugasnya cukup mudah, hanya menemukan siapakah kiranya manusia yang berkenan menjual embun bersamanya.
Pagi-pagi sekali dia tersadar, membuka kelopak mata, merasakan seluruh tubuhnya yang bergesek dengan udara, menyentuh rumput-rumbut basah dan mendengar alunan suara-suara burung yang berkicau. Dia pun bangkit dan duduk termenung, merenungi apa yang terjadi padanya yang tak lagi berwujud cahaya. Sayap-sayapnya tercecer dan berkilauan di terpa sinar mentari. Bahkan saat ia berdiri dalam siraman sinar mentari, sisa-sisa kilau masih melekat di tubuh berdagingnya. Berpendar dan bersinar, serasa manusia tertampan di dunia. Apakah dia berupa laki-laki?. Mungkin saja dia berkilau, serupa manusia tercantik di bumi. Apakah dia berupa perempuan? Tidak! Dia yakini benar bahwa dirinya berpenampilan laki-laki, sepertihalnya Adam yang jatuh di hamparan bumi yang berwujud laki-laki.
Dengan tekun ia kumpulkan tetes demi tetes embun yang jatuh dari pucuk-pucuk daun. Menempatkannya pada cawan yang jatuh bersamanya malam itu. Ajaib! Embun itu mengkristal dan berubah menjadi kristal-kristal yang cantik dan berkilau. Dia pun terpukau dengan keajaiban itu.
Matanya yang lembut nampak sayu terbawa rindu, bibirnya yang merah merekah tersungging seyum rona bulan sabit, bulu lentik matanya mengerjap-ngerjap dan sinar wajahnya kian berpendar. Hatinya berbalut nuansa riang, bahwa tugas menjual embun terlampau mudah dalam benaknya. Siapa sih manusia yang tidak silau melihat keindahan embun yang dia kumpulkan? Embun yang akan dia jual amatlah mempesona. Dia tak tahu, justru dengan keindahan Tuhan sengaja mengujinya.
Dia berjingkrak-jingkrak di tengah padang rumput, menari-nari di rimbunan pepohonan. Riang karena embun yang dia kumpulkan cukup lah banyak untuk dijual. Mentari kian menyingsing naik, pelan-pelan embun pagi menguap terbakar terik. Sang malaikat setengah manusia tak peduli dengan itu semua, kerena dia merasa cukup mendapatkan secawan embun. Dia berlari cepat, mencoba untuk melompat, dan sedapat mungkin untuk melesat terbang. Lupakah dia? Bahwa dia tak lagi punya sayap? Justru tubuhnya terperosok jatuh, terhempas ke bumi, luka-luka mulai menjalar di sekujur tubuh. Sekarang dia tahu bagaimana rasanya sakit.
Cawan! Dia memikirkan cawan itu. Saat dia melompat dan akhirnya jatuh, cawan itu terlepas dari tangannya, tumpah membasahi hamparan rumput dan akhirnya ikut mengering terhisap pori tanah. Dia pungut cawan yang kosong melompong, tak setetes pun embun ada dalam kubangan cawannya. Di lihatnya sekeliling, matanya mencari-cari, tapi tak dia temukan embun di siang hari. Hatinya terpilin sedih, gelisah mulai menghantui, resah mulai menyelimuti dan gundah mulai membayangi. Sekarang dia tahu bagaimana rasanya kecewa.
Rasa sedih dan kecewa membuatnya ingin menangis. Matanya berkaca-kaca. Kaca itu memadat di pelupuk mata, jatuh di cawan dalam genggaman tangannya. Bulir kaca itu menggelinding di cekungan cawan. Seperti halnya embun, bulir airmatanya juga mengkristal menjadi kristal-kristal. Mata malaikat yang tadinya tersapu embun kesedihan, kini bersinar oleh rasa bahagia. Cawannya terisi kristal air mata dan dia akan menjualnya. Dia tak sadar bahwa dia telah ingkar. Embun yang seharusnya dia jual, bukan airmata. Sekarang dia tahu bagaimana rasanya berbohong.
Dia berjalan menuruni bukit rumput, mencari kota yang berpenghunikan manusia. Dengan segenggam cawan yang berisi air mata, dia mulai menjual butir-butir kristal di trotoar jalan bersama lapak-lapak kaki lima. Semua orang terpana melihat penampilannya, dialah sosok tertampan yang pernah tercipta. Orang-orang berkerumun untuk membeli kristal, dan juga menatap pesona wajah malaikatnya. Semua pedagang merasa iri, diliputi dengki, tak bisa terima lahannya di kuasai seorang pendatang yang merebut simpati pembeli. Akhirnya si manusia setengah malaikat itu terusir dengan caci maki. Sekarang dia tahu bagaimana rasanya dipuja dan dihina.
Dia berjalan pergi, mencari tempat untuk menjual sisa-sisa air mata. Dalam perjalanan dia menjumpai seorang wanita rupawan. Dari jauh dia melihat wanita itu tampak memberikan minuman untuk anjing yang sekarat. Tahukah dia? Bahwa wanita yang dia saksikan itu adalah seorang jalang? Dia pun mendekat dan mencoba untuk bertegur sapa.
“Nona, betapa baik hati anda. Lihatlah anjing itu. Sekarang nampak bugar dengan pertolongan anda”. Suara manusia setengah malikat terdengar lembut, seketika menyentuh lubuk hati si wanita jalang.
“Oh tuan! Sungguhkah tuan memujiku? Tahukah tuan siapa diriku? Hanya kebaikan ini yang bisa kulakukan. Aku adalah seorang wanita pendosa, yang pantas dikutuk laknat. Banyak pria berhidung belang-belang telah menjamah tubuhku. Hanya demi sesuap nasi aku melepas harga diri. Semua wanita pastilah menginginkan dirinya dihormati martabatnya sebagai manusia yang berbudi yang sudi menjaga kesucian diri. Aku bukan wanita terhormat, tuan. Aku seorang kupu-kupu kelam yang terbenam dalam lumpur neraka bersama manusia pendosa”. Wanita itu menangis sesegukan, haru meliputi hatinya yang membiru sedih. Beginikah rasanya melihat pelacur yang dihantui dosa. Sekarang dia merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta. Sebuah cinta dari kesadaran jiwa. Raya iba yang membaur sayang, mengetuk-ngetuk sisi hati manusianya.
“Sudahlah nona, Tuhan kiranya maha pengampun. Bertobatlah! Kebaikanmu menolong anjing itu niscaya dibalas-Nya. Asal kau benar-benar merenungi dan mengubur masa lalumu sebagai wanita pendosa”. Wanita jalang itu menerima uluran tangan manusia setengah malaikat itu. Mereka jatuh cinta. Bukankah mereka terlarang untuk memadu kasih? Malaikat yang suci bercumbu dengan jalang yang kotor. Terlarangkah cinta mereka yang berbeda waktu dan dimensi? Apalah artinya tubuh fana manusia yang bagai cangkang lapuk?. Akhirnya terpuruk dan remuk termakan usia.
Setiap pagi mereka berdua mengumpulkan embun di padang bukit. Mereka sangat bahagia hingga cawan yang terisi selalu embun, dan bukan air mata. Bersama dalam kasih sayang, mereka menyulam hidup dengan warna-warni benang cinta. Mereka menjual embun yang mengkristal dalam cawan. Harta pun kian mengalir deras karena kesuksesannya sebagai saudagar kristal.
Waktu terus bergulir tiada henti. Wanita yang selama ini menemaninya akhirnya rapuh, peot, dan keriput. Dia tetap menjaga dan mencintainya. Tubuhnya benar-benar abadi dalam fiksi hidup yang terkesan fana bagi manusia. Tubuhnya tetap berkilau indah, tapi tubuh kekasih hatinya kian mengkerut.
“Kasihku, terima kasih kau telah menunjukkan jalan hidup padaku. Terima kasih kau telah menemaniku hingga uzur. Sekarang aku menyadari perbedaan kita, sayangku. Kau tercipta dari cahaya yang berbaur tanah. Sementara aku murni dari tanah, dan aku bukan ceceran tulang rusukmu yang menjelma menjadi wanitamu. Jasadku akan kembali ke tanah, terkubur dan koyak termakan cacing tanah.” Wanita tua itu tersenyum pada kekasih abadinya.
“Kenapa kau harus serapuh ini, sayangku. Belumlah cukup puluhan tahun aku hidup bersamamu. Lihat! Pipimu berkerut, kulitmu serasa luntur, dan wajahmu kian tak teratur. Aku tetap sudi mendampingimu”.
“Jangan menangis sayangku. Aku tahu takdir kita berbeda. Kau tetaplah makhluk abadi yang tak pernah rapuh. Hanya Tuhan yang sanggup mengambil jiwamu dari cangkang manusia setengah malaikatmu itu. Sudahlah! Jangan kau bersedih lagi. Bukankah kau selalu membisikan padaku bahwa tugasmu adalah menjual embun. Jangan kau ubah lagi dengan menjual air mata. Ingat! Embun akan segera mengering jika kau menangis. Jadi tetaplah tersenyum dalam jiwa syahdu malaikatmu. Selamat tinggal kasih terindahku. Lihatlah! Kawanmu telah berdiri di sana untuk membesut nyawaku. Diamlah di sini, tak ada malaikat maut yang bakal mengusik hidupmu, hanya aku yang hidup dalam fana yang akhirnya sirna. Aku telah menolong anjing itu, dan Tuhan mempertemukanku denganmu. Sungguh aku adalah wanita jalang yang mengharap surga. Kaulah surga yang selalu mengaliri hati dan jiwaku. Selamat tinggal kasihku”.
Tubuh wanita tua itu terkulai di ranjang dalam pelukannya. Air matanya mengalir dan menetes di cawan tak jauh dari pembaringan. Wanita itu telah lama menyertainya, menjual embun pagi bersamanya. Menikmati tetes-tetes embun yang dikumpulkan bersamanya. Sekarang tahulah dia, bahwa hidup manusia itu fana. Sadarlah dia, bahwa kebersamaannya akan menuai akhir. Benar! Dalam setiap keindahan pasti ada titik cobaan. Malaikat penjual embun air mata yang sungguh merana.
Kini sayapnya tumbuh, beranjak untuk pergi meninggalkan hamparan bumi yang rapuh. Sekarang dia sadar bagaimana penderitaan, perasaan, dan kebahagiaan manusia itu juga rapuh. Terbang lah dia ke langit sambil menitikkan bulir air mata bersama petir dan selimut mendung yang menetes menjadi jarum-jarum hujan yang membasahi tanah bumi. Sekarang cukuplah ia menjual air matanya dalam derai hujan dan tetes embun di pagi buta. Sebagai kenangan sang kekasih yang tak abadi hidup bersamanya, tapi abadi dalam sebuah ikatan cinta. (***)