29 C
Medan
Tuesday, July 2, 2024

Cerita Bersambung yang Terus Menjadi Teror

Jagoan menulis misteri tampaknya harus ke Medan. Ya, dia akan mendapat begitu banyak tema; tentunya banyak yang bisa dia kisahkan hingga tidak akan ditinggalkan oleh penggemarnya. Yakinlah, cerita itupun bisa dibuat menjadi cerita bersambung yang menawan.

Tidak percaya? Cobalah buat cerita dengan judul ‘Misteri Genangan air’. Untuk menggarap cerita ini saya pastikan tidak akan sulit. Materi cerita cukup banyak. Pencarian data pun tak akan repot. Dia ada di hampir semua sudut Kota Medan. Ketika hujan datang, maka dia pun akan datang.
Yang agak merepotkan paling hanya menunggu hujan datang. Itu saja. Masalah tokoh dan penokohan pun menjadi sesuatu yang tidak sulit. Anda tinggal memperhatikan pengguna jalan. Ya, para pengguna jalan adalah korban sang monster yang bernama Genangan Air tadi. Jadi bagaimana sang korban menghindari teror dari si monster tentunya menjadi cerita yang menarik bukan?

Akan semakin menarik karena si monster, dalam kehidupan nyata, terus hadir tanpa bisa dicegah. Lihat beberapa jalan protokol yang ada di Kota Medan, sebut saja Jalan Sisingamangaraja tepatnya di kawasan Simpang Limun, Jalan Djamin Ginting, Jalan AR Hakim, Jalan HM Yamin, bahkan Pintu Tol Belmerah Amplas. Tidak itu saja, selain jalan protokol yang belum disebutkan, gang-gang atau jalan kecil dengan status jalan kota pun tidak bisa terbebas dari Monster Genangan Air tadi.

Pantang ada hujan, dia muncul menjadi momok yang begitu menakutkan. Tak ada ruas jalan yang terbebas, para pengguna jalan terjebak, kendaraan mereka menjadi melambat. Ada yang berhenti. Ada yang berbalik begitu di depan mereka monster itu muncul. Tak pelak, kemacetan menjadi konflik baru. Cerita semakin berkembang, kisah makin mencekam ketika drainase yang seharusnya menjadi tokoh protagonis tiba-tiba menjadi antagonis. Ya, dia menjadi kaki tangan sang monster. Dia tidak membunuh sang monster, tapi malah membuat menjadi besar. Harusnya, dia adalah pahlawan karena mampu mengalirkan air hujan itu ke sungai yang kemudian mengalir hingga laut. Dialah yang memberikan Genangan Air kesempatan untuk merajalela.

Para korban, para pengguna jalan, akan mati langkah. Mereka tak tahu mau minta pertolongan pada siapa. Beberapa episode mungkin pihak pemerintah kota mampu menjadi penolong; memberikan penyadaran hingga mimpi-mimpi memberangus monster. Tapi, cerita itu terus berulang, Genangan Air tetap saja muncul; monster yang begitu sulit untuk ditaklukan. Lagi-lagi drainase bisa dijadikan kambing hitam.

Namun, penulis andal tentunya tak akan berhenti di situ saja; apalagi ini konsepnya cerita bersambung. Maka, sang penulis akan memasukkan soal tokoh lain. Kambing hitam yang lain. Dijadikan kambing hitam karena sejatinya dia bisa menjadi pahlawan layakya drainase tadi. Namanya Serapan Air.
Serapan Air sejatinya memiliki peran ketika drainase tak bisa diandalkan. Air hujan yang turun dari langit, bibit-bibit Monster Genangan Air, dia telan. Dia sedot masuk ke dalam tanah tanpa sempat mengalir di permukaan. Sayang, seperti drainase, dia juga akhirnya menjadi tokoh antagonis. Bedanya, sang Serapan Air terkesan menjadi korban juga. Pasalnya, dia juga diberangus oleh tokoh lain yang bernama Pembangunan. Ya, atas nama pembangunan, dia dihilangkan dan berganti dengan aspal dan semen.

Lagi-lagi, para korban tak tahu mengadu pada siapa. Cerita bersambung ini tidak akan berhenti. Dia menjadi teror yang begitu mengerikan.

Begitulah, ketika ada penulis misteri yang mengunjungi Medan, maka dia tidak akan kehilangan cerita. Selain soal Monster Genangan Air tadi, dia juga bisa menulis dengan judul ‘Kisah Pembunuhan Lampu Merah’. Ya, dia tentunya bisa melihat bagaimana lampu pengatur lalu-lintas itu yang teraniaya oleh pengguna jalan. Lampu-lampunya tak lagi menandakan sebuah perintah. Dia terpinggirkan. Dia tidak dipedulikan. Kematian sang Lampu Merah pun bisa menjadi misteri tersendiri; benarkah dia dibunuh atau malah bunuh diri?

Lalu, bagaimana dengan penulis genre lain? Tenang, penulis religi pun bisa menulis tentang Medan. Setidaknya soal kedekatan para tukang becak bermotor dengan Tuhan. Ya, bukankah yang tahu kapan becak motor berbelok hanya Tuhan dan sopir becak? Bagaimana, adakah penulis yang mau menuliskan itu semua? (*)

Jagoan menulis misteri tampaknya harus ke Medan. Ya, dia akan mendapat begitu banyak tema; tentunya banyak yang bisa dia kisahkan hingga tidak akan ditinggalkan oleh penggemarnya. Yakinlah, cerita itupun bisa dibuat menjadi cerita bersambung yang menawan.

Tidak percaya? Cobalah buat cerita dengan judul ‘Misteri Genangan air’. Untuk menggarap cerita ini saya pastikan tidak akan sulit. Materi cerita cukup banyak. Pencarian data pun tak akan repot. Dia ada di hampir semua sudut Kota Medan. Ketika hujan datang, maka dia pun akan datang.
Yang agak merepotkan paling hanya menunggu hujan datang. Itu saja. Masalah tokoh dan penokohan pun menjadi sesuatu yang tidak sulit. Anda tinggal memperhatikan pengguna jalan. Ya, para pengguna jalan adalah korban sang monster yang bernama Genangan Air tadi. Jadi bagaimana sang korban menghindari teror dari si monster tentunya menjadi cerita yang menarik bukan?

Akan semakin menarik karena si monster, dalam kehidupan nyata, terus hadir tanpa bisa dicegah. Lihat beberapa jalan protokol yang ada di Kota Medan, sebut saja Jalan Sisingamangaraja tepatnya di kawasan Simpang Limun, Jalan Djamin Ginting, Jalan AR Hakim, Jalan HM Yamin, bahkan Pintu Tol Belmerah Amplas. Tidak itu saja, selain jalan protokol yang belum disebutkan, gang-gang atau jalan kecil dengan status jalan kota pun tidak bisa terbebas dari Monster Genangan Air tadi.

Pantang ada hujan, dia muncul menjadi momok yang begitu menakutkan. Tak ada ruas jalan yang terbebas, para pengguna jalan terjebak, kendaraan mereka menjadi melambat. Ada yang berhenti. Ada yang berbalik begitu di depan mereka monster itu muncul. Tak pelak, kemacetan menjadi konflik baru. Cerita semakin berkembang, kisah makin mencekam ketika drainase yang seharusnya menjadi tokoh protagonis tiba-tiba menjadi antagonis. Ya, dia menjadi kaki tangan sang monster. Dia tidak membunuh sang monster, tapi malah membuat menjadi besar. Harusnya, dia adalah pahlawan karena mampu mengalirkan air hujan itu ke sungai yang kemudian mengalir hingga laut. Dialah yang memberikan Genangan Air kesempatan untuk merajalela.

Para korban, para pengguna jalan, akan mati langkah. Mereka tak tahu mau minta pertolongan pada siapa. Beberapa episode mungkin pihak pemerintah kota mampu menjadi penolong; memberikan penyadaran hingga mimpi-mimpi memberangus monster. Tapi, cerita itu terus berulang, Genangan Air tetap saja muncul; monster yang begitu sulit untuk ditaklukan. Lagi-lagi drainase bisa dijadikan kambing hitam.

Namun, penulis andal tentunya tak akan berhenti di situ saja; apalagi ini konsepnya cerita bersambung. Maka, sang penulis akan memasukkan soal tokoh lain. Kambing hitam yang lain. Dijadikan kambing hitam karena sejatinya dia bisa menjadi pahlawan layakya drainase tadi. Namanya Serapan Air.
Serapan Air sejatinya memiliki peran ketika drainase tak bisa diandalkan. Air hujan yang turun dari langit, bibit-bibit Monster Genangan Air, dia telan. Dia sedot masuk ke dalam tanah tanpa sempat mengalir di permukaan. Sayang, seperti drainase, dia juga akhirnya menjadi tokoh antagonis. Bedanya, sang Serapan Air terkesan menjadi korban juga. Pasalnya, dia juga diberangus oleh tokoh lain yang bernama Pembangunan. Ya, atas nama pembangunan, dia dihilangkan dan berganti dengan aspal dan semen.

Lagi-lagi, para korban tak tahu mengadu pada siapa. Cerita bersambung ini tidak akan berhenti. Dia menjadi teror yang begitu mengerikan.

Begitulah, ketika ada penulis misteri yang mengunjungi Medan, maka dia tidak akan kehilangan cerita. Selain soal Monster Genangan Air tadi, dia juga bisa menulis dengan judul ‘Kisah Pembunuhan Lampu Merah’. Ya, dia tentunya bisa melihat bagaimana lampu pengatur lalu-lintas itu yang teraniaya oleh pengguna jalan. Lampu-lampunya tak lagi menandakan sebuah perintah. Dia terpinggirkan. Dia tidak dipedulikan. Kematian sang Lampu Merah pun bisa menjadi misteri tersendiri; benarkah dia dibunuh atau malah bunuh diri?

Lalu, bagaimana dengan penulis genre lain? Tenang, penulis religi pun bisa menulis tentang Medan. Setidaknya soal kedekatan para tukang becak bermotor dengan Tuhan. Ya, bukankah yang tahu kapan becak motor berbelok hanya Tuhan dan sopir becak? Bagaimana, adakah penulis yang mau menuliskan itu semua? (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

Terpopuler

Artikel Terbaru

/