25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Karya dan Kamar Mandi

Seno Gumira Ajidarma pernah menulis cerita ‘Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi’. Eka Kurniawan pun pernah bercerita soal ‘Corat-coret di Toilet’. Saya tak pernah seperti mereka;  tak ada satu pun karya saya tentang kamar mandi. Mungkin itu sebab saya tak hebat. Meski begitu, saya masih bangga karena saya suka kamar mandi.

Bukti saya suka pada kamar mandi dapat dilihat pada beberapa tahun lalu saat saya masih kos di Jogjakarta. Dari tujuh kali pindah lokasi, saya pasti memilih kamar yang dekat kamar mandi — maklum, untuk menyewa kamar yang ada kamar mandinya saya tak mampu. Soal ini bisa Anda tanyakan kepada teman-teman saya di Jogja. Ceritanya, saya memang suka dingin. Dan, biasanya kamar yang dekat kamar mandi lebih dingin dibanding kamar lain kan? Selain itu, saya kan suka sakit perut mendadak — khususnya pagi — jadi, saya bisa menjadi orang pertama yang sampai kamar mandi dibanding lainnya. Satu lagi, ketika ada kekasih datang, dia kan tak perlu malu-malu saat ke kamar mandi. Ayolah, bisa Anda bayangkan jika Anda perempuan yang harus ke kamar mandi kos-kosan pria? Nah, kamar dekat kamar mandi bisa meminimalisir rasa sungkan pada kekasih bukan?

Lalu, ketika saya masih SD, kecenderungan menyukai kamar mandi pun sudah sangat tampak; untuk hal ini Anda bisa tanyakan pada saudara-suadara saya. Saya cenderung suka berlama-lama di kamar mandi. Nah, kebetulan, kloset di kamar mandi saat saya kecil adalah kloset duduk. Jadi, saya sangat mapan di sana. Jika orang lain suka kloset duduk karena bisa buang air besar sambil membaca, saya malah tidak. Saya suka kloset duduk karena bisa tidur; tentunya tidak sambil buang air besar. Ceritanya, sejak kecil saya kan tidak tinggal dengan orangtua. Bapak saya pekerja di perkebunan, ibu saya tentunya mendampingi. Mereka hanya sekali sepekan ke rumah yang memang mereka sediakan untuk kami adik beradik. Nah, karena itulah kontrol agak renggang. Penguasa di rumah hanya abang dan kakak. Tidak ada istilah hukuman atau amarah yang ditimpakan ke saya jika saya salah. Kalaupun saya kena damprat, paling dari pembantu yang sedang datang bulan. He he he.

Nah, saya tidur di kamar pun gara-gara pembantu itu. Atas nama tugas, dia seperti kerajinan membangunkan saya ketika hari masih sangat pagi. Saya masuk sekolah pukul setengah delapan, tapi sudah dibangunkannya pukul enam. Terlalu berlebihan kan? Sebagai anak majikan yang baik hati, saya lebih memilih menuruti perintahnya. Ya, bangun pukul enam tadi. Tapi, kantuk tak bisa ditahan. Jadi, dengan posisi bugil dan menduduki kloset, saya pejamkan mata. Nyaman. Dingin dan tenang. Lumayan, bisa nambah setengah jam tidur. Saya baru bangun setelah pintu kamar mandi digedor. Ha ha ha.

Nah, kini setelah punya anak satu, kamar mandi masih saja penting bagi saya. Jika Anda tidak percaya, tanya saja pada istri saya. Sedikitnya, setiap di dalam kamar mandi, saya menghabiskan waktu satu jam. Apakah saya mandi selama itu? Apakah saya tidur seperti masa SD? Jawabnya tidak. Setelah menikah dan punya pekerjaan tetap, saya jadikan kamar mandi sebagai ruang refleksi sekaligus relaksasi. Ya, ruang itu adalah tempat saya berpikir tentang apapun; artinya bisa juga khayalan.

Begitulah, betapa besar peran kamar mandi dalam hidup saya. Tapi, kenapa saya tidak bisa seperti Seno Gumira Ajidarma dan Eka Kurniawan? Kenapa tak ada karya saya yang diakui yang bercerita tentang kamar mandi? Parahnya lagi, tak ada pula karya saya yang berangkat dari kamar mandi. Dengan kata lain, tak ada satu pun karya saya yang dipikirkan di kamar mandi! Karya saya muncul malah ketika saya duduk di meja komputer sambil memandang monitor yang menawarkan halaman putih kosong. Artinya, saya menulis ketika harus menulis dan mau menulis. Maksudnya, saya memang tak pernah memikirkan ide atau tema sebelum berhadapan dengan komputer.

Belakangan ini — mungkin karena terlalu sering habiskan waktu di depan komputer — saya malah sulit menulis cerita lagi. Nah, kemarin, tiba-tiba, saya berpikir untuk kembali menulis cerita. Tapi, setengah jam lebih saya pandangi layar kosong, tetap saja tak ada cerita yang jadi. Itulah sebab saya mencoba mencari ilham di kamar mandi. Ha ha ha, saya beranggapan, mungkin kamar mandi adalah pemecah kebuntuan saya. Setidaknya saya terpengaruh dengan dua judul karya sastrawan tadi.

Maka, saya kangkangi kloset jongkok. Saya biarkan pikiran menerawang, menembus dinding kamar mandi di rumah kontrakan saya yang sebentar lagi habis masa sewanya. Sial, hingga kaki kesemutan, saya tak menemukan juga apa yang ingin saya tulis. Saya menyerah. Dan saya mengadu pada Anda soal ini. Ya, di lantun ini.

Karena itulah, Kawan, saya iri dengan Seno Gumira Ajidarma dan Eka Kurniawan. Mereka berhasil memanfaatkan kamar mandi. Sejauh mana peran kamar mandi bagi mereka kan hanya mereka yang tahu. Tapi, semua tahu mereka pernah menulis tentang kamar mandi. Sementara saya, hanya lantun inilah.

Fiuh, dilema atau simalakama kamar mandi? Entahlah, yang jelas soal kamar mandi memang unik. Dialah yang menjadi awal dan akhir dari kehidupan manusia dalam setiap harinya. Mungkin itulah sebab ketika Amin Rais diserang soal perannya yang bak macan ompong saat jadi ketua MPR, dia malah menganalogikan lembaga tertinggi negara itu dengan kamar mandi. Ya, Amin yang dianggap sebagai tokoh reformasi karena heboh menyuarakan suksesi malah melempem saat dikasih posisi penting itu. Dengan enteng Amin menjawab desakan mahasiswa di Joga beberapa tahun lalu. “MPR itu kayak kamar mandi. Di luar baunya menyengat. Jijik kita. Tapi, ketika sudah berada di dalamnya, apalagi ditemani sebatang rokok sambil mengangkangi jamban, kita lupa dengan bau itu. Kita malah jadi nyaman,” begitu katanya; tentunya saya tulis ulang dengan kalimat saya sendiri (maaf Pak Amin, subtansinya tak berbeda bukan?).

Sudahlah, saya tak mau mengambinghitamkan kamar mandi. Saya pun tak ingin menjadikan kamar mandi sebagai alasan kemandulan saya dalam menulis belakangan ini. Bagi saya, menulis adalah soal kemampuan, bukan sekadar kemauan. Dan saat ini saya lagi tak mampu padahal sedang mau. Saat ini saya hanya ingin katakan: saya tetap suka kamar mandi. Itu saja. (*)

Seno Gumira Ajidarma pernah menulis cerita ‘Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi’. Eka Kurniawan pun pernah bercerita soal ‘Corat-coret di Toilet’. Saya tak pernah seperti mereka;  tak ada satu pun karya saya tentang kamar mandi. Mungkin itu sebab saya tak hebat. Meski begitu, saya masih bangga karena saya suka kamar mandi.

Bukti saya suka pada kamar mandi dapat dilihat pada beberapa tahun lalu saat saya masih kos di Jogjakarta. Dari tujuh kali pindah lokasi, saya pasti memilih kamar yang dekat kamar mandi — maklum, untuk menyewa kamar yang ada kamar mandinya saya tak mampu. Soal ini bisa Anda tanyakan kepada teman-teman saya di Jogja. Ceritanya, saya memang suka dingin. Dan, biasanya kamar yang dekat kamar mandi lebih dingin dibanding kamar lain kan? Selain itu, saya kan suka sakit perut mendadak — khususnya pagi — jadi, saya bisa menjadi orang pertama yang sampai kamar mandi dibanding lainnya. Satu lagi, ketika ada kekasih datang, dia kan tak perlu malu-malu saat ke kamar mandi. Ayolah, bisa Anda bayangkan jika Anda perempuan yang harus ke kamar mandi kos-kosan pria? Nah, kamar dekat kamar mandi bisa meminimalisir rasa sungkan pada kekasih bukan?

Lalu, ketika saya masih SD, kecenderungan menyukai kamar mandi pun sudah sangat tampak; untuk hal ini Anda bisa tanyakan pada saudara-suadara saya. Saya cenderung suka berlama-lama di kamar mandi. Nah, kebetulan, kloset di kamar mandi saat saya kecil adalah kloset duduk. Jadi, saya sangat mapan di sana. Jika orang lain suka kloset duduk karena bisa buang air besar sambil membaca, saya malah tidak. Saya suka kloset duduk karena bisa tidur; tentunya tidak sambil buang air besar. Ceritanya, sejak kecil saya kan tidak tinggal dengan orangtua. Bapak saya pekerja di perkebunan, ibu saya tentunya mendampingi. Mereka hanya sekali sepekan ke rumah yang memang mereka sediakan untuk kami adik beradik. Nah, karena itulah kontrol agak renggang. Penguasa di rumah hanya abang dan kakak. Tidak ada istilah hukuman atau amarah yang ditimpakan ke saya jika saya salah. Kalaupun saya kena damprat, paling dari pembantu yang sedang datang bulan. He he he.

Nah, saya tidur di kamar pun gara-gara pembantu itu. Atas nama tugas, dia seperti kerajinan membangunkan saya ketika hari masih sangat pagi. Saya masuk sekolah pukul setengah delapan, tapi sudah dibangunkannya pukul enam. Terlalu berlebihan kan? Sebagai anak majikan yang baik hati, saya lebih memilih menuruti perintahnya. Ya, bangun pukul enam tadi. Tapi, kantuk tak bisa ditahan. Jadi, dengan posisi bugil dan menduduki kloset, saya pejamkan mata. Nyaman. Dingin dan tenang. Lumayan, bisa nambah setengah jam tidur. Saya baru bangun setelah pintu kamar mandi digedor. Ha ha ha.

Nah, kini setelah punya anak satu, kamar mandi masih saja penting bagi saya. Jika Anda tidak percaya, tanya saja pada istri saya. Sedikitnya, setiap di dalam kamar mandi, saya menghabiskan waktu satu jam. Apakah saya mandi selama itu? Apakah saya tidur seperti masa SD? Jawabnya tidak. Setelah menikah dan punya pekerjaan tetap, saya jadikan kamar mandi sebagai ruang refleksi sekaligus relaksasi. Ya, ruang itu adalah tempat saya berpikir tentang apapun; artinya bisa juga khayalan.

Begitulah, betapa besar peran kamar mandi dalam hidup saya. Tapi, kenapa saya tidak bisa seperti Seno Gumira Ajidarma dan Eka Kurniawan? Kenapa tak ada karya saya yang diakui yang bercerita tentang kamar mandi? Parahnya lagi, tak ada pula karya saya yang berangkat dari kamar mandi. Dengan kata lain, tak ada satu pun karya saya yang dipikirkan di kamar mandi! Karya saya muncul malah ketika saya duduk di meja komputer sambil memandang monitor yang menawarkan halaman putih kosong. Artinya, saya menulis ketika harus menulis dan mau menulis. Maksudnya, saya memang tak pernah memikirkan ide atau tema sebelum berhadapan dengan komputer.

Belakangan ini — mungkin karena terlalu sering habiskan waktu di depan komputer — saya malah sulit menulis cerita lagi. Nah, kemarin, tiba-tiba, saya berpikir untuk kembali menulis cerita. Tapi, setengah jam lebih saya pandangi layar kosong, tetap saja tak ada cerita yang jadi. Itulah sebab saya mencoba mencari ilham di kamar mandi. Ha ha ha, saya beranggapan, mungkin kamar mandi adalah pemecah kebuntuan saya. Setidaknya saya terpengaruh dengan dua judul karya sastrawan tadi.

Maka, saya kangkangi kloset jongkok. Saya biarkan pikiran menerawang, menembus dinding kamar mandi di rumah kontrakan saya yang sebentar lagi habis masa sewanya. Sial, hingga kaki kesemutan, saya tak menemukan juga apa yang ingin saya tulis. Saya menyerah. Dan saya mengadu pada Anda soal ini. Ya, di lantun ini.

Karena itulah, Kawan, saya iri dengan Seno Gumira Ajidarma dan Eka Kurniawan. Mereka berhasil memanfaatkan kamar mandi. Sejauh mana peran kamar mandi bagi mereka kan hanya mereka yang tahu. Tapi, semua tahu mereka pernah menulis tentang kamar mandi. Sementara saya, hanya lantun inilah.

Fiuh, dilema atau simalakama kamar mandi? Entahlah, yang jelas soal kamar mandi memang unik. Dialah yang menjadi awal dan akhir dari kehidupan manusia dalam setiap harinya. Mungkin itulah sebab ketika Amin Rais diserang soal perannya yang bak macan ompong saat jadi ketua MPR, dia malah menganalogikan lembaga tertinggi negara itu dengan kamar mandi. Ya, Amin yang dianggap sebagai tokoh reformasi karena heboh menyuarakan suksesi malah melempem saat dikasih posisi penting itu. Dengan enteng Amin menjawab desakan mahasiswa di Joga beberapa tahun lalu. “MPR itu kayak kamar mandi. Di luar baunya menyengat. Jijik kita. Tapi, ketika sudah berada di dalamnya, apalagi ditemani sebatang rokok sambil mengangkangi jamban, kita lupa dengan bau itu. Kita malah jadi nyaman,” begitu katanya; tentunya saya tulis ulang dengan kalimat saya sendiri (maaf Pak Amin, subtansinya tak berbeda bukan?).

Sudahlah, saya tak mau mengambinghitamkan kamar mandi. Saya pun tak ingin menjadikan kamar mandi sebagai alasan kemandulan saya dalam menulis belakangan ini. Bagi saya, menulis adalah soal kemampuan, bukan sekadar kemauan. Dan saat ini saya lagi tak mampu padahal sedang mau. Saat ini saya hanya ingin katakan: saya tetap suka kamar mandi. Itu saja. (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Ya atau Tidak Sama Saja …

Keluarga Baru Keluarga Seru

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/