26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Bukan Soal Sopir Bus dan Warung Minang

 Dalam folklor ada anekdot yang menarik. Seperti anekdot lainnya, dia pun ‘menyerempet’ SARA. Tapi begitulah anekdot, makin ‘menyerempet’ makin menarik. Jadi tolong jangan marah ya, ini soal orang Batak dan orang Minang.

SUPAYA lebih aman lagi, saya dapatkan anekdot ini saat kuliah dulu. Nama mata kuliahnya: folklor. Cabang ilmu ini masuk dalam antropologi.

Dan, sebagai mahasiswa sastra Indonesia, maka mata kuliah ini menjadi pilihan. Artinya, bukan mata kuliah wajib. Dan, saya memilih untuk mengikutinya. Yang jelas, sebelum mengambil kuliah ini, saya memang diracuni kakak angkatan. Katanya, “Ambil mata kuliah Folklor, enak.” Dan betul saja (meski di akhir semester saya hanya mendapat nilai B), mata kuliah ini memang menyenangkan. Nyaris setiap kuliah kami tertawa. Dosennya selalu memasukan anekdot yang menggelitik. Maklumlah, anekdot memang salahsatu yang dipelajari dalam folklor. Apalagi buku pegangannya adalah buah karya James Danandjaya, sang profesor Universitas Indonesia yang terkenal jagoan anekdot itu. Dalam buku itu, tersaji cukup banyak anekdot. Fiuh lucu.

Dan, suatu hari — saya lupa tanggalnya — dosen saya yang bernama Heddy Shri Ahimsa (dulu belum profesor) bercerita tentang anekdot yang saya maksud di atas. Ceritanya begini, saat serius mendengar ceramahnya, tiba-tiba Heddy tentang kedekatan suku Batak dengan Minang.

Ini bukan soal wilayah, tapi hubungan kekerabatan.

Katanya, orang Batak dan Minang itu sangat cocok menjadi suami istri. Yang Batak jadi suami dan yang Minang jadi istri. Lho kok bisa? Bukankah Batak memakai sistem patrilineal dan Minang memakai matrilineal? Artinya, keduanya pasti tabrakan.

Bayangkan saja, Batak itu kan garis keturunan hingga sistem kekeluargaannya menurut garis bapak sementara Minang melalui garis ibu. Jadi, jika lelaki Batak nikah dengan perempuan Minang, anaknya bagaimana? Nah, keluarlah anekdot si Heddy tadi. Dia bilang, lihat saja terminal. Pasti ada orang Batak dan Minang. Yang Batak jadi sopir dan yang Minang buka warung makan. “Coba cek, biasanya mereka suami istri,” begitu kata Heddy (semoga dia tak lupa pernah membuat anekdot itu heheheheh).

Karena saya Batak, saat itu saya tertawa paling keras. Mendengar saya tertawa keras dan karena dia tahu saya bermarga Batubara yang dikenal sebagai marga Batak, dia malah beri teka-teki yang dia kutip dari buku James Danandjaya: berapa jumlah orang Batak di Jakarta? Sumpah saya tak tahu. Dia langsung menjawab: cari jumlah seluruh bus di Jakarta lalu kalikan 5. Itu adalah jumlah minimal orang Batak di Jakarta? Saat itu saya belum mengerti maksudnya. Dia menjelaskan, 5 itu terdiri dari satu sopir, satu kernet, dan tiga pencopet.

Bah! Sumpah saya tak tertawa, tapi rekan sekelas langsung ngakak. Sial.

Tapi sudahlah, yang ingin saya ceritakan adalah soal anekdot pertama dan bukan teka-teki menjebak tadi. Maksud saya begini, dari anekdot itu kan ada pelajaran yang penting. Terlepas soal kesukuan, tapi antara sopir dan rumah makan adalah sebuah relasi bisnis yang menarik bukan? Artinya, tanpa disadari anekdot tadi, peluang bisnis terbuka dari cerita itu. Ayolah, bukankah sopir suka makan di rumah makan Minang? Apalagi sopir dari Sumatera.

Nah, hubungan bisnis ini kan sangat menguntungkan.

Pertama, sang suami sudah lepas soal makan. Lalu, rekan-rekannya sesama sopir bisa menjadi langganan warung makan sang istri. Pun soal kehidupan berumah tangga, mereka tidak terpisah jauh. Kehidupan mereka sama-sama mengandalkan terminal.

Inti dari pelajaran dari anekdot itu saya rasakan dalam pekan lalu di Medan. Maaf ini bukan soal sopir dan warung makan, tapi lebih pada relasi bisnis atau malah peluang bisnis yang tepat.

Ceritanya awal pekan lalu, saya menemani istri belanja ke sebuah mal yang berada di Jalan Gatot Subroto. Mal ini terkenal dengan parkir sepeda motor yang ruwet. Bukan karena tak rapi, tapi karena banyak sekali pengunjungnya. Jadi, pemilik sepeda motor sering malas parkir di situ. Tapi, kalau tak parkir di situ, di mana lagi? Nah, saat masuk ke malitusudahterbayangdikepalasayaparkirdibagian paling dalam; menelusuri lorong-lorong parkir yang penuh; mencari ruang kosong.

Tiba-tiba, setelah mengambil karcis yang bertombol otomatis, saya melihat ruang yang menarik.

Sebelum ruang parkir ternyata ada doorsmeer.

Letaknya pas di samping penitipan helm.

Wow. Bukankah sangat pas, saya belanja, begitu selesai sepeda motor telah mengkilap. Selain itu, saya tak perlu pusing karena lupa blok parkir tempat sepeda motor saya. Parkir di doorsmeer kan keren, langsung terlihat begitu selesai belanja.

Biaya 12 ribu bukan masalah kan? Coba bayangkan jika Anda doorsmeer di tempat lain, menjenuhkan bukan? Setidaknya Anda terduduk selama satu jam menunggu sepeda motor selesai dicuci. Nah, di doorsmeer ini, saya tak perlu menunggu karena saya belanja. He he he.

Mungkin hal semacam inilah yang disadari para pembisnis andal. Misalnya di Medan Johor, ada doorsmeer mobil plus sepeda motor yang dilengkapi semacam kafe dan lapangan futsal.

Bisa bayangkan Anda bermain futsal sambil membawa keluarga? Ya, saat Anda di lapangan, anak dan istri Anda menontonnya sambil makan minum di kafe. Lalu, sembari Anda di lapangan dan keluarga Anda di kafe, mobil Anda pun dicuci.

Tidak itu saja, ketika Anda kekurangan uang cash untuk membayar sewa lapangan futsal, biaya makan minum di kafe, dan biaya jasa doorsmeer, ada pula di tempat itu mesin ATM. Luar biasa bukan? Nah, di Medan, banyak bisnis yang berkaitan seperti itu. Jika tidak percaya, silakan saja berkeliling.

Lalu, apa hubungan dengan Batak dan Minang seperti anekdot tadi dengan doorsmeer dan parkir mal? Dan, apa hubungan pemilik lapangan futsal dengan kafe, doorsmeer, dan ATM? Sumpah saya tak tahu. Saya juga tidak tahu hubungan pemilik mal dengan pemilik doorsmeer. Yang saya tahu, kemudahan saya dapat di mal itu dan di lapanganfutsal: persisdengansopirdanpenjualnasi di dalam anekdot tadi.

Jadi, jika Anda tak pernah memaknai apa yang sering Anda dapat, ya terserah. Tapi, jangan marahi saya ya karena menulis lantun ini. Hehehehe.(*)

 Dalam folklor ada anekdot yang menarik. Seperti anekdot lainnya, dia pun ‘menyerempet’ SARA. Tapi begitulah anekdot, makin ‘menyerempet’ makin menarik. Jadi tolong jangan marah ya, ini soal orang Batak dan orang Minang.

SUPAYA lebih aman lagi, saya dapatkan anekdot ini saat kuliah dulu. Nama mata kuliahnya: folklor. Cabang ilmu ini masuk dalam antropologi.

Dan, sebagai mahasiswa sastra Indonesia, maka mata kuliah ini menjadi pilihan. Artinya, bukan mata kuliah wajib. Dan, saya memilih untuk mengikutinya. Yang jelas, sebelum mengambil kuliah ini, saya memang diracuni kakak angkatan. Katanya, “Ambil mata kuliah Folklor, enak.” Dan betul saja (meski di akhir semester saya hanya mendapat nilai B), mata kuliah ini memang menyenangkan. Nyaris setiap kuliah kami tertawa. Dosennya selalu memasukan anekdot yang menggelitik. Maklumlah, anekdot memang salahsatu yang dipelajari dalam folklor. Apalagi buku pegangannya adalah buah karya James Danandjaya, sang profesor Universitas Indonesia yang terkenal jagoan anekdot itu. Dalam buku itu, tersaji cukup banyak anekdot. Fiuh lucu.

Dan, suatu hari — saya lupa tanggalnya — dosen saya yang bernama Heddy Shri Ahimsa (dulu belum profesor) bercerita tentang anekdot yang saya maksud di atas. Ceritanya begini, saat serius mendengar ceramahnya, tiba-tiba Heddy tentang kedekatan suku Batak dengan Minang.

Ini bukan soal wilayah, tapi hubungan kekerabatan.

Katanya, orang Batak dan Minang itu sangat cocok menjadi suami istri. Yang Batak jadi suami dan yang Minang jadi istri. Lho kok bisa? Bukankah Batak memakai sistem patrilineal dan Minang memakai matrilineal? Artinya, keduanya pasti tabrakan.

Bayangkan saja, Batak itu kan garis keturunan hingga sistem kekeluargaannya menurut garis bapak sementara Minang melalui garis ibu. Jadi, jika lelaki Batak nikah dengan perempuan Minang, anaknya bagaimana? Nah, keluarlah anekdot si Heddy tadi. Dia bilang, lihat saja terminal. Pasti ada orang Batak dan Minang. Yang Batak jadi sopir dan yang Minang buka warung makan. “Coba cek, biasanya mereka suami istri,” begitu kata Heddy (semoga dia tak lupa pernah membuat anekdot itu heheheheh).

Karena saya Batak, saat itu saya tertawa paling keras. Mendengar saya tertawa keras dan karena dia tahu saya bermarga Batubara yang dikenal sebagai marga Batak, dia malah beri teka-teki yang dia kutip dari buku James Danandjaya: berapa jumlah orang Batak di Jakarta? Sumpah saya tak tahu. Dia langsung menjawab: cari jumlah seluruh bus di Jakarta lalu kalikan 5. Itu adalah jumlah minimal orang Batak di Jakarta? Saat itu saya belum mengerti maksudnya. Dia menjelaskan, 5 itu terdiri dari satu sopir, satu kernet, dan tiga pencopet.

Bah! Sumpah saya tak tertawa, tapi rekan sekelas langsung ngakak. Sial.

Tapi sudahlah, yang ingin saya ceritakan adalah soal anekdot pertama dan bukan teka-teki menjebak tadi. Maksud saya begini, dari anekdot itu kan ada pelajaran yang penting. Terlepas soal kesukuan, tapi antara sopir dan rumah makan adalah sebuah relasi bisnis yang menarik bukan? Artinya, tanpa disadari anekdot tadi, peluang bisnis terbuka dari cerita itu. Ayolah, bukankah sopir suka makan di rumah makan Minang? Apalagi sopir dari Sumatera.

Nah, hubungan bisnis ini kan sangat menguntungkan.

Pertama, sang suami sudah lepas soal makan. Lalu, rekan-rekannya sesama sopir bisa menjadi langganan warung makan sang istri. Pun soal kehidupan berumah tangga, mereka tidak terpisah jauh. Kehidupan mereka sama-sama mengandalkan terminal.

Inti dari pelajaran dari anekdot itu saya rasakan dalam pekan lalu di Medan. Maaf ini bukan soal sopir dan warung makan, tapi lebih pada relasi bisnis atau malah peluang bisnis yang tepat.

Ceritanya awal pekan lalu, saya menemani istri belanja ke sebuah mal yang berada di Jalan Gatot Subroto. Mal ini terkenal dengan parkir sepeda motor yang ruwet. Bukan karena tak rapi, tapi karena banyak sekali pengunjungnya. Jadi, pemilik sepeda motor sering malas parkir di situ. Tapi, kalau tak parkir di situ, di mana lagi? Nah, saat masuk ke malitusudahterbayangdikepalasayaparkirdibagian paling dalam; menelusuri lorong-lorong parkir yang penuh; mencari ruang kosong.

Tiba-tiba, setelah mengambil karcis yang bertombol otomatis, saya melihat ruang yang menarik.

Sebelum ruang parkir ternyata ada doorsmeer.

Letaknya pas di samping penitipan helm.

Wow. Bukankah sangat pas, saya belanja, begitu selesai sepeda motor telah mengkilap. Selain itu, saya tak perlu pusing karena lupa blok parkir tempat sepeda motor saya. Parkir di doorsmeer kan keren, langsung terlihat begitu selesai belanja.

Biaya 12 ribu bukan masalah kan? Coba bayangkan jika Anda doorsmeer di tempat lain, menjenuhkan bukan? Setidaknya Anda terduduk selama satu jam menunggu sepeda motor selesai dicuci. Nah, di doorsmeer ini, saya tak perlu menunggu karena saya belanja. He he he.

Mungkin hal semacam inilah yang disadari para pembisnis andal. Misalnya di Medan Johor, ada doorsmeer mobil plus sepeda motor yang dilengkapi semacam kafe dan lapangan futsal.

Bisa bayangkan Anda bermain futsal sambil membawa keluarga? Ya, saat Anda di lapangan, anak dan istri Anda menontonnya sambil makan minum di kafe. Lalu, sembari Anda di lapangan dan keluarga Anda di kafe, mobil Anda pun dicuci.

Tidak itu saja, ketika Anda kekurangan uang cash untuk membayar sewa lapangan futsal, biaya makan minum di kafe, dan biaya jasa doorsmeer, ada pula di tempat itu mesin ATM. Luar biasa bukan? Nah, di Medan, banyak bisnis yang berkaitan seperti itu. Jika tidak percaya, silakan saja berkeliling.

Lalu, apa hubungan dengan Batak dan Minang seperti anekdot tadi dengan doorsmeer dan parkir mal? Dan, apa hubungan pemilik lapangan futsal dengan kafe, doorsmeer, dan ATM? Sumpah saya tak tahu. Saya juga tidak tahu hubungan pemilik mal dengan pemilik doorsmeer. Yang saya tahu, kemudahan saya dapat di mal itu dan di lapanganfutsal: persisdengansopirdanpenjualnasi di dalam anekdot tadi.

Jadi, jika Anda tak pernah memaknai apa yang sering Anda dapat, ya terserah. Tapi, jangan marahi saya ya karena menulis lantun ini. Hehehehe.(*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/