26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Bersama Ibu-ibu, Kenapa Harus Malu?

Ibu-ibu itu masih diam. Tak ada yang saling tegur. Semuanya masih melirik, memperhatikan secara diam-diam: apa yang dipakai ibu di sebelahnya atau merek apa yang dipilih ibu di sampingnya. Begitulah ibu-ibu, apalagi ketika berhubungan dengan anak mereka.

Ya, Sabtu kemarin saya mendapat kesempatan untuk memperhatikan mereka. Tidak dua atau tiga ibu, tapi empat ibu yang saya perhatikan sekaligus. Tidak itu saja, saya pun bisa memperhatikan mereka dari dekat. Dengan kata lain, saya berada di antara para ibu dan bayi mereka.

Dari keempat ibu itu, ada satu ibu yang tidak begitu saya perhatikan. Bukan karena tidak suka atau apapun itu, tapi karena dia istri saya. Jadi, sudah setiap hari saya hidup dengan dia bukan? Tak perlu saya perhatikan pun saya sudah tahu dia seperti apa.

Dan kebetulan, istri dan anak saya jadi objek perhatian tiga ibu lainnya. Ya, sudah, saya perhatikan saja tiga ibu yang memperhatikan anak dan istri saya.
Pertanyaannya, kenapa jadi perhatian? Ini bukan soal merek atau barang bermutu, ini tentang anak saya yang tidak bisa diam. Dia tidak nangis, dia hanya — kalau sesuai istilah Medan — lasak. Kakinya tak bisa diam, padahal dia digendong. Nah, karena lasaknya itulah kami berpikir untuk memijatkannya. Dan, gara-gara itu pula saya terlibat dengan beberapa ibu tadi. Hehehehe.

Lokasi pijat berada di Jalan Dr Mansyur Medan, di sebuah toko perlengkapan bayi yang berlantai empat. Dan di lantai empatnya itulah para ibu mengantre, menunggu giliran agar anaknya dipijat. Namanya antre, pasti kita butuh kegiatan membunuh waktu bukan. Memperhatikan orang lain adalah senjata membunuh waktu yang paling mujarab. Buktinya, meski kami dapat nomor urut 11, penantian terasa tak panjang.
“Umur berapa anaknya, Kak,” kata seorang ibu yang duduk paling dekat dengan kami.

“Tanggal 19 ini lima bulan,” jawab istri saya, tentunya ditambah senyum.

Setelah itu diam. Dari gesture istri saya terlihat dia menunggu pertanyaan lain. Tapi si Raya (anak saya) kembali memainkan kakinya seperti orang mendayung pedal sepeda. Istri saya jadi fokus memegang si Raya. Nah saat itulah, saya lihat, ibu-ibu itu memperhatikan anak saya. Tatapan mereka seperti gemas. Mereka pun tampak membandingkan si Raya dengan anak mereka sendiri yang hanya duduk manis setengah ngantuk.

Tapi, mereka tak berucap. Mereka pun mengalihkan pandangan ke ruang berkaca di depan mereka. Sebuah ruang yang berisikan dua bayi yang sedang dipijat. Satu bayi menangis, satunya lagi tertawa. Dan, saya tertawa memandang itu semua.

Akibat tawa saya, tiga ibu tadi langsung menatap tajam. Mata mereka seakan menusuk atau malah mempertanyakan sikap saya yang begitu tiba-tiba. Saya langsung menutup mulut.

“Kenapa?” tanya istri saya.

Saya tak menjawab. Tiga ibu tadi terus memandang saya. Tampaknya mereka ingin menerkam. Dugaan saya, karena merasa anaknya kalah lincah, mereka jadi marah. Untuk memarahi anak mereka kan tidak mungkin, apalagi memarahi anak saya. Jadi, saya tampaknya akan dijadikan kambing hitam kemarahan itu.

Tak mau konyol, saya gendong si Raya dan ‘ngacir’ ke sisi lain di lantai empat itu. Di tempat ini mainan terpajang. Mata Raya berbinar. Dia pun mulai memegang mainan yang beraneka warna. Seandainya saja dia sudah bisa bicara, pasti dia berteriak minta dibelikan. Bisa repot kan, mainan itu belum pas untuk anak usia 5 bulan.

Beruntung Raya tak menangis. Sepertinya dia paham kalau mainan itu bukan untuknya. Dia hanya senyum-senyum melihat aneka warna di mainan itu.
“Nanti, di lantai satu setengah kita beli mainanmu ya?” bisik saya di telinga si Raya. Dia langsung menggoyang-goyangkan kakinya bak mengendarai sepeda. Saya tertawa.

Saya lirik istri dan tiga ibu-ibu tadi. Mereka terlihat berbincang akrab. Tak lama kemudian seorang ibu masuk ruang berkaca di depannya. Giliran anaknya untuk pijat.

Saya kembali ke kumpulan itu. Saya serahkan Raya pada emaknya. “Habis ini kita,” kata istri saya.

Syukurlah, tak lama mengantre. Tiba-tiba saya sadar, saya perhatikan sekeliling, kenapa yang lelaki hanya saya?
“Aku merokok dulu ya,” kata saya.

“Bentar lagi giliran si Raya,” balas istri saya.

“Bentar saja,” kata saya sambil pergi dan langsung masuk ke lift. Fiuh.

Saya keluar gedung. Saya hisap rokok. Cukup empat hisapan. Saya naik lagi. Intinya, saya hanya ingin mengecek di mana para suami ibu-ibu itu. Dan, saya tak menemukannya. Jadi, kenapa saya harus lama-lama di bawah bukan?

Sampai di atas, Raya dan emaknya sudah masuk ruangan pijat. Saya pun langsung menyelonong. Saya lihat Raya sedang ditelanjangi. Saya tertawa. Bukan karena melihat si Raya, tapi karena muncul sebuah kesadaran. Ya, sadar kalau yang sebenarnya jadi perhatian itu bukan merek tas yang dipakai istri saya atau gaya rambutnya atau kelincahan si Raya, tapi kehadiran saya sebagai satu-satunya lelaki di lantai empat itu. Ha ha ha… Sial!
Tapi sudahlah, toh, yang saya lakukan bukan untuk mencari perhatian. Saya kan menemani istri dan anak, bagi saya itu tak aneh. Dan, bagi saya, itu adalah wajib! Bagaimana dengan Anda?

Ibu-ibu itu masih diam. Tak ada yang saling tegur. Semuanya masih melirik, memperhatikan secara diam-diam: apa yang dipakai ibu di sebelahnya atau merek apa yang dipilih ibu di sampingnya. Begitulah ibu-ibu, apalagi ketika berhubungan dengan anak mereka.

Ya, Sabtu kemarin saya mendapat kesempatan untuk memperhatikan mereka. Tidak dua atau tiga ibu, tapi empat ibu yang saya perhatikan sekaligus. Tidak itu saja, saya pun bisa memperhatikan mereka dari dekat. Dengan kata lain, saya berada di antara para ibu dan bayi mereka.

Dari keempat ibu itu, ada satu ibu yang tidak begitu saya perhatikan. Bukan karena tidak suka atau apapun itu, tapi karena dia istri saya. Jadi, sudah setiap hari saya hidup dengan dia bukan? Tak perlu saya perhatikan pun saya sudah tahu dia seperti apa.

Dan kebetulan, istri dan anak saya jadi objek perhatian tiga ibu lainnya. Ya, sudah, saya perhatikan saja tiga ibu yang memperhatikan anak dan istri saya.
Pertanyaannya, kenapa jadi perhatian? Ini bukan soal merek atau barang bermutu, ini tentang anak saya yang tidak bisa diam. Dia tidak nangis, dia hanya — kalau sesuai istilah Medan — lasak. Kakinya tak bisa diam, padahal dia digendong. Nah, karena lasaknya itulah kami berpikir untuk memijatkannya. Dan, gara-gara itu pula saya terlibat dengan beberapa ibu tadi. Hehehehe.

Lokasi pijat berada di Jalan Dr Mansyur Medan, di sebuah toko perlengkapan bayi yang berlantai empat. Dan di lantai empatnya itulah para ibu mengantre, menunggu giliran agar anaknya dipijat. Namanya antre, pasti kita butuh kegiatan membunuh waktu bukan. Memperhatikan orang lain adalah senjata membunuh waktu yang paling mujarab. Buktinya, meski kami dapat nomor urut 11, penantian terasa tak panjang.
“Umur berapa anaknya, Kak,” kata seorang ibu yang duduk paling dekat dengan kami.

“Tanggal 19 ini lima bulan,” jawab istri saya, tentunya ditambah senyum.

Setelah itu diam. Dari gesture istri saya terlihat dia menunggu pertanyaan lain. Tapi si Raya (anak saya) kembali memainkan kakinya seperti orang mendayung pedal sepeda. Istri saya jadi fokus memegang si Raya. Nah saat itulah, saya lihat, ibu-ibu itu memperhatikan anak saya. Tatapan mereka seperti gemas. Mereka pun tampak membandingkan si Raya dengan anak mereka sendiri yang hanya duduk manis setengah ngantuk.

Tapi, mereka tak berucap. Mereka pun mengalihkan pandangan ke ruang berkaca di depan mereka. Sebuah ruang yang berisikan dua bayi yang sedang dipijat. Satu bayi menangis, satunya lagi tertawa. Dan, saya tertawa memandang itu semua.

Akibat tawa saya, tiga ibu tadi langsung menatap tajam. Mata mereka seakan menusuk atau malah mempertanyakan sikap saya yang begitu tiba-tiba. Saya langsung menutup mulut.

“Kenapa?” tanya istri saya.

Saya tak menjawab. Tiga ibu tadi terus memandang saya. Tampaknya mereka ingin menerkam. Dugaan saya, karena merasa anaknya kalah lincah, mereka jadi marah. Untuk memarahi anak mereka kan tidak mungkin, apalagi memarahi anak saya. Jadi, saya tampaknya akan dijadikan kambing hitam kemarahan itu.

Tak mau konyol, saya gendong si Raya dan ‘ngacir’ ke sisi lain di lantai empat itu. Di tempat ini mainan terpajang. Mata Raya berbinar. Dia pun mulai memegang mainan yang beraneka warna. Seandainya saja dia sudah bisa bicara, pasti dia berteriak minta dibelikan. Bisa repot kan, mainan itu belum pas untuk anak usia 5 bulan.

Beruntung Raya tak menangis. Sepertinya dia paham kalau mainan itu bukan untuknya. Dia hanya senyum-senyum melihat aneka warna di mainan itu.
“Nanti, di lantai satu setengah kita beli mainanmu ya?” bisik saya di telinga si Raya. Dia langsung menggoyang-goyangkan kakinya bak mengendarai sepeda. Saya tertawa.

Saya lirik istri dan tiga ibu-ibu tadi. Mereka terlihat berbincang akrab. Tak lama kemudian seorang ibu masuk ruang berkaca di depannya. Giliran anaknya untuk pijat.

Saya kembali ke kumpulan itu. Saya serahkan Raya pada emaknya. “Habis ini kita,” kata istri saya.

Syukurlah, tak lama mengantre. Tiba-tiba saya sadar, saya perhatikan sekeliling, kenapa yang lelaki hanya saya?
“Aku merokok dulu ya,” kata saya.

“Bentar lagi giliran si Raya,” balas istri saya.

“Bentar saja,” kata saya sambil pergi dan langsung masuk ke lift. Fiuh.

Saya keluar gedung. Saya hisap rokok. Cukup empat hisapan. Saya naik lagi. Intinya, saya hanya ingin mengecek di mana para suami ibu-ibu itu. Dan, saya tak menemukannya. Jadi, kenapa saya harus lama-lama di bawah bukan?

Sampai di atas, Raya dan emaknya sudah masuk ruangan pijat. Saya pun langsung menyelonong. Saya lihat Raya sedang ditelanjangi. Saya tertawa. Bukan karena melihat si Raya, tapi karena muncul sebuah kesadaran. Ya, sadar kalau yang sebenarnya jadi perhatian itu bukan merek tas yang dipakai istri saya atau gaya rambutnya atau kelincahan si Raya, tapi kehadiran saya sebagai satu-satunya lelaki di lantai empat itu. Ha ha ha… Sial!
Tapi sudahlah, toh, yang saya lakukan bukan untuk mencari perhatian. Saya kan menemani istri dan anak, bagi saya itu tak aneh. Dan, bagi saya, itu adalah wajib! Bagaimana dengan Anda?

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/