25.1 C
Medan
Tuesday, June 18, 2024

Bukan Soal Air tak Mengalir

Tak bosan-bosan tampaknya untuk mengutip lirik lagu karya Gesang ketika berbicara soal air. Ya, ‘air mengalir sampai jauh….’ Namun, begitulah, air memang harus mengalir sampai jauh.

Pun di Medan, air mengalir dari pegunungan di Tanah Karo sana hingga ke perairan Belawan. Idealnya begitu. Tapi, tataran ideal memang sering bertarung dengan tataran nyata bukan? Air di Medan tak selalu mengalir ke Medan. Dia tersendat. Kadang berbelok — ketika limpahannya tak lagi mampu ditampung Sungai Deli dan Sungai Babura — dia malah memenuhi rumah warga: terbiarkan kering sendiri hingga tak bisa dikonsumsi. Kadang, ketika dia turun dari langit, air itupun tak juga ke sungai yang menuju Belawan sana. Dia tersendat di drainase buruk, di serapan yang sekadarnya, dan di jalan berlubang.

Begitulah, tataran ideal untuk air itu mentah di tataran nyata. Persis dengan novel-novel Balai Pustaka. Keidealan dalam novel-novel itu adalah menjadikan kehidupan lebih baik: terbebas dari kawin paksa, kukungan adat istiadat, melawan ketidakadilan, lepas dari kemiskinan, dan sebagainya. Nyatanya? Mariamin dan Siti Nurbaya menjadi korban. Juga Aminuddin dan Syamsul Bahri, mereka tak berdaya melawan kejamnya hidup bukan? Ya, tokoh utama dalam novel ‘Azab dan Sengsara’ dan ‘Siti Nurbaya’ itu tak bisa berbuat banyak. Nelangsa.

Idealnya soal air pun dimiliki oleh Perusahaan Daerah Air Minum, di Medan namanya Tirtanadi. Namun, adakah yang sadar kalau tataran ideal air menurut Tirtanadi juga dimentalkan tataran nyata?
Ideal menurut Tirtanadi adalah mengalirnya air kepada seluruh pelanggan. Ingat, mengalir secara adil. Artinya, setiap pelanggan memiliki kesempatan menikmati air yang sama dari pipa yang sama. Dengan kata lain, tidak ada kasta pelanggan. Seorang pelanggan yang berpendapatan dua juta per bulan dan pelanggan yang bergaji dua puluh juta per bulan memiliki hak yang sama terhadap air yang dialirkan Tirtanadi bukan? Kenapa? Jawabnya, semua pelanggan memiliki kewajiban yang sama pula: bayar!

Tapi nyatanya, di Medan, tercipta perbedaan layanan terhadap pelanggan. Air yang dialirkan Tirtanadi tidak sama deras sampai di rumah pelanggan, contohnya di kawasan Jalan Sakti Lubis. Di sebuah gang pada jalan itu, beberapa pelanggan harus ekstrasabar menanti bak air penuh. Air yang mengalir tak ubahnya rembesan saja. Tidak ada gemericik; suara bak musik. Pun, air yang tak deras itu hanya mengalir di malam hari. Lucunya, beban yang harus dibayar kepada Tirtanadi tak boleh tersendat.

Usut punya usut, kejadian ini berawal dari tingkah pelanggan juga. Adalah mesin pompa penyebabnya. Atas nama kebutuhan air yang banyak dan cepat, beberapa pelanggan memasang mesin pompa yang menyambung langsung ke pipa milik Tirtanadi. Air itu disedot ‘paksa’ oleh pelanggan. Nah, semakin banyak pelanggan memakai trik itu, maka pelanggan lain yang tidak menggunakan trik tersebut terkena imbas. Dengan kata lain, perebutan air terjadi. Dan, yang tidak memasang pompa adalah pihak yang kalah.

Hm, apakah ini semata kesalahan pelanggan? Jawabnya tentu saja tidak. Ini adalah ketidakmampuan Tirtanadi untuk menjadikan tataran ideal tetap menjadi ideal. Tirtanadi tidak mampu memberikan air yang cukup dan cepat. Itulah sebab pelanggan memakai mesin pompa. Tirtanadi tak mampu mengontrol kecurangan. Itulah sebab pelanggan tanpa mesin pompa menjadi korban. Sebagai perusahaan yang menjual sesuatu, bisa dikatakan pelayanan Tirtanadi kurang maksimal bukan? Seandainya saja air banyak dan lancar, masih inginkah pelanggan memakai mesin tambahan?

Idealnya, Tirtanadi melakukan pengawasan dengan ketat. Mereka harus memperhatikan keluhan pelanggan. Misalnya pada suatu hari pelanggan tanpa mesin pompa mengadu, adakah Tirtanadi meresponnya dengan baik. Yang ada sang petugas malah menawarkan trik dengan mesin pompa tadi. Ketika diprotes pelanggan kalau hal itu ilegal, petugas punya alasan lain. Katanya, kalau pompa disambungkan ke pipa setelah meteran, itu tidak masalah. Yang jadi masalah ada ketika pompa disambung ke pipa sebelum meteran: itu namanya pencurian karena pemakaiannya tak akan tercatat.

Kejadian ini dirasakan seorang kawan saya yang tinggal di daerah tersebut. Nah, atas nama kebutuhan, kawan saya pun setuju menggunakan mesin pompa. Sang petugas Tirtanadi yang memasangkan pompa itu langsung. Hasilnya, air memang bisa mengalir lancar setiap waktu, tidak lagi malam saja. Sayang, efek dari itu semua, pengeluaran kawan saya berlipat. Tagihan listrik membengkak.

Adakah ini bisa dikatakan sebagai kebodohan atau kesalahan kawan saya? Jawabnya bisa saja benar, tapi atas nama kebutuhan, tentunya dia sudah benar. Kerugiannya terletak pada rekening listrik semata. Nah, bisakah ini disebut buah tingkah Tirtanadi? Hm, Tirtanadi pasti menjawab: soal rekening listrik bukan urusan mereka. Padahal, jika dirunut ke belakang, kenapa kawan saya tadi memasang pompa air di pipa Tirtanadi?

Lucunya, selain kawan saya, kabarnya banyak juga pelanggan yang memanfaatkan pompa air lebih ekstrem lagi. Mereka menyedot air dari pipa Tirtanadi tanpa harus melalui meteran. Dengan kata lain, mereka tidak akan membayar.
Efek dari mesin pompa ini membuat debit air berkurang bukan? Misalnya pipa air yang bersumber dari Tirtanadi di Delitua. Untuk kawasan Kecamatan Johor, air tentunya masih banyak dan kualitas bagus. Ya, dia berada di hulu. Nah, dengan adanya pompa air — baik yang melibatkan meteran atau tidak — maka mereka yang berada di hilir akan terkena imbas. Air makin berkurang dan kualitasnya juga menurun. Air ‘sisa’ dari hulu itulah yang direbutkan pelanggan di hilir. Masalahnya, rekening air tidak berbeda: mau dia berada di hulu atau hilir, mau dia mendapat air yang bagus atau tidak, harga tetap sama. Nah, adakah hal ini sudah diantisipasi oleh Tirtanadi?

Tapi sudahlah, mewujudkan tataran ideal memang sulit. Merari Siregar sang pengarang ‘Azab dan Sengsara’ serta Marah Rusli penulis ‘Siti Nurbaya’ tentunya mengalami hal yang sama saat menciptakan novel-novel itu. Tataran ideal yang mereka perjuangkan harus ‘bereperang’ melawan kenyataannya. Ya, dunia fiksi — sefiksi apapun itu — tidak bisa lepas dari kenyataan bukan? Untuk Tirtanadi pun begitu, tataran ideal yang mereka usung soal pelayanan harus ‘berkelahi’ dengan kebutuhan nyata.

Semua pertarungan tentang ideal dan nyata terus berlangsung di semua lini kehidupan. Dan, Tirtanadi harus memenangkan itu agar warga Medan bisa nyaman. Bukankah begitu? (*)

Tak bosan-bosan tampaknya untuk mengutip lirik lagu karya Gesang ketika berbicara soal air. Ya, ‘air mengalir sampai jauh….’ Namun, begitulah, air memang harus mengalir sampai jauh.

Pun di Medan, air mengalir dari pegunungan di Tanah Karo sana hingga ke perairan Belawan. Idealnya begitu. Tapi, tataran ideal memang sering bertarung dengan tataran nyata bukan? Air di Medan tak selalu mengalir ke Medan. Dia tersendat. Kadang berbelok — ketika limpahannya tak lagi mampu ditampung Sungai Deli dan Sungai Babura — dia malah memenuhi rumah warga: terbiarkan kering sendiri hingga tak bisa dikonsumsi. Kadang, ketika dia turun dari langit, air itupun tak juga ke sungai yang menuju Belawan sana. Dia tersendat di drainase buruk, di serapan yang sekadarnya, dan di jalan berlubang.

Begitulah, tataran ideal untuk air itu mentah di tataran nyata. Persis dengan novel-novel Balai Pustaka. Keidealan dalam novel-novel itu adalah menjadikan kehidupan lebih baik: terbebas dari kawin paksa, kukungan adat istiadat, melawan ketidakadilan, lepas dari kemiskinan, dan sebagainya. Nyatanya? Mariamin dan Siti Nurbaya menjadi korban. Juga Aminuddin dan Syamsul Bahri, mereka tak berdaya melawan kejamnya hidup bukan? Ya, tokoh utama dalam novel ‘Azab dan Sengsara’ dan ‘Siti Nurbaya’ itu tak bisa berbuat banyak. Nelangsa.

Idealnya soal air pun dimiliki oleh Perusahaan Daerah Air Minum, di Medan namanya Tirtanadi. Namun, adakah yang sadar kalau tataran ideal air menurut Tirtanadi juga dimentalkan tataran nyata?
Ideal menurut Tirtanadi adalah mengalirnya air kepada seluruh pelanggan. Ingat, mengalir secara adil. Artinya, setiap pelanggan memiliki kesempatan menikmati air yang sama dari pipa yang sama. Dengan kata lain, tidak ada kasta pelanggan. Seorang pelanggan yang berpendapatan dua juta per bulan dan pelanggan yang bergaji dua puluh juta per bulan memiliki hak yang sama terhadap air yang dialirkan Tirtanadi bukan? Kenapa? Jawabnya, semua pelanggan memiliki kewajiban yang sama pula: bayar!

Tapi nyatanya, di Medan, tercipta perbedaan layanan terhadap pelanggan. Air yang dialirkan Tirtanadi tidak sama deras sampai di rumah pelanggan, contohnya di kawasan Jalan Sakti Lubis. Di sebuah gang pada jalan itu, beberapa pelanggan harus ekstrasabar menanti bak air penuh. Air yang mengalir tak ubahnya rembesan saja. Tidak ada gemericik; suara bak musik. Pun, air yang tak deras itu hanya mengalir di malam hari. Lucunya, beban yang harus dibayar kepada Tirtanadi tak boleh tersendat.

Usut punya usut, kejadian ini berawal dari tingkah pelanggan juga. Adalah mesin pompa penyebabnya. Atas nama kebutuhan air yang banyak dan cepat, beberapa pelanggan memasang mesin pompa yang menyambung langsung ke pipa milik Tirtanadi. Air itu disedot ‘paksa’ oleh pelanggan. Nah, semakin banyak pelanggan memakai trik itu, maka pelanggan lain yang tidak menggunakan trik tersebut terkena imbas. Dengan kata lain, perebutan air terjadi. Dan, yang tidak memasang pompa adalah pihak yang kalah.

Hm, apakah ini semata kesalahan pelanggan? Jawabnya tentu saja tidak. Ini adalah ketidakmampuan Tirtanadi untuk menjadikan tataran ideal tetap menjadi ideal. Tirtanadi tidak mampu memberikan air yang cukup dan cepat. Itulah sebab pelanggan memakai mesin pompa. Tirtanadi tak mampu mengontrol kecurangan. Itulah sebab pelanggan tanpa mesin pompa menjadi korban. Sebagai perusahaan yang menjual sesuatu, bisa dikatakan pelayanan Tirtanadi kurang maksimal bukan? Seandainya saja air banyak dan lancar, masih inginkah pelanggan memakai mesin tambahan?

Idealnya, Tirtanadi melakukan pengawasan dengan ketat. Mereka harus memperhatikan keluhan pelanggan. Misalnya pada suatu hari pelanggan tanpa mesin pompa mengadu, adakah Tirtanadi meresponnya dengan baik. Yang ada sang petugas malah menawarkan trik dengan mesin pompa tadi. Ketika diprotes pelanggan kalau hal itu ilegal, petugas punya alasan lain. Katanya, kalau pompa disambungkan ke pipa setelah meteran, itu tidak masalah. Yang jadi masalah ada ketika pompa disambung ke pipa sebelum meteran: itu namanya pencurian karena pemakaiannya tak akan tercatat.

Kejadian ini dirasakan seorang kawan saya yang tinggal di daerah tersebut. Nah, atas nama kebutuhan, kawan saya pun setuju menggunakan mesin pompa. Sang petugas Tirtanadi yang memasangkan pompa itu langsung. Hasilnya, air memang bisa mengalir lancar setiap waktu, tidak lagi malam saja. Sayang, efek dari itu semua, pengeluaran kawan saya berlipat. Tagihan listrik membengkak.

Adakah ini bisa dikatakan sebagai kebodohan atau kesalahan kawan saya? Jawabnya bisa saja benar, tapi atas nama kebutuhan, tentunya dia sudah benar. Kerugiannya terletak pada rekening listrik semata. Nah, bisakah ini disebut buah tingkah Tirtanadi? Hm, Tirtanadi pasti menjawab: soal rekening listrik bukan urusan mereka. Padahal, jika dirunut ke belakang, kenapa kawan saya tadi memasang pompa air di pipa Tirtanadi?

Lucunya, selain kawan saya, kabarnya banyak juga pelanggan yang memanfaatkan pompa air lebih ekstrem lagi. Mereka menyedot air dari pipa Tirtanadi tanpa harus melalui meteran. Dengan kata lain, mereka tidak akan membayar.
Efek dari mesin pompa ini membuat debit air berkurang bukan? Misalnya pipa air yang bersumber dari Tirtanadi di Delitua. Untuk kawasan Kecamatan Johor, air tentunya masih banyak dan kualitas bagus. Ya, dia berada di hulu. Nah, dengan adanya pompa air — baik yang melibatkan meteran atau tidak — maka mereka yang berada di hilir akan terkena imbas. Air makin berkurang dan kualitasnya juga menurun. Air ‘sisa’ dari hulu itulah yang direbutkan pelanggan di hilir. Masalahnya, rekening air tidak berbeda: mau dia berada di hulu atau hilir, mau dia mendapat air yang bagus atau tidak, harga tetap sama. Nah, adakah hal ini sudah diantisipasi oleh Tirtanadi?

Tapi sudahlah, mewujudkan tataran ideal memang sulit. Merari Siregar sang pengarang ‘Azab dan Sengsara’ serta Marah Rusli penulis ‘Siti Nurbaya’ tentunya mengalami hal yang sama saat menciptakan novel-novel itu. Tataran ideal yang mereka perjuangkan harus ‘bereperang’ melawan kenyataannya. Ya, dunia fiksi — sefiksi apapun itu — tidak bisa lepas dari kenyataan bukan? Untuk Tirtanadi pun begitu, tataran ideal yang mereka usung soal pelayanan harus ‘berkelahi’ dengan kebutuhan nyata.

Semua pertarungan tentang ideal dan nyata terus berlangsung di semua lini kehidupan. Dan, Tirtanadi harus memenangkan itu agar warga Medan bisa nyaman. Bukankah begitu? (*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

Terpopuler

Artikel Terbaru

/