Jumat malam, dua hari lalu, tiba-tiba seorang kawan kerja saya jadi pusat perhatian di kantor. Sejak masuk kantor, dia memang menunjukkan mimik yang mencurigakan; seperti ada yang dia sembunyikan. Dan benar saja, begitu sampai meja kerjanya, dia membuka tas. Dia keluarkan sebuah jeriken sedang. Jeriken itu berisi air berwarna putih: nira!
Seketika — setelah jeriken itu terlihat dengan nyata — rekan satu kantor langsung berteriak senang. Saya juga (meski tak tahu berteriak untuk apa. Maklumlah, kerja di kantor seperti tempat kerja saya memang harus diakui lumayan unik. Bagaimana tidak, ketika warga Medan lainnya istirahat ketika matahari terbenam, kami malah mulai beraktivitas. Ketika warga lain mulai membaringkan tubuh di kasur, kami malah sedang sibuk-sibuknya. Ketika warga lain bangun untuk salat tahajud, kami malah baru akan pulang.
Maka, ketika ada sesuatu yang baru, kehebohan langsung tercipta di kantor saya. Misalnya ada yang bernyanyi — tanpa sengaja karena terangsang lagu yang diputar — untuk menghilangkan penat, seisi kantor akan berteriak hingga si teman kerja yang nyanyi itu terdiam atau memaki. Misalnya lagi, ketika ada kawan kerja yang memiliki rezeki dan membelikan makanan, maka hukum rimba langsung tercipta: saling berebutan, saling sikut, saling hadang, saling menguasai, dan saling-saling yang lain. Padahal, kami semua paham, makanan yang dibeli tentunya tidak berkurang. Jadi, ada semangat untuk membuat heboh.
Dan, kehebohan itu kembali tercipta Jumat malam lalu. Ya, nira dalam jeriken sedang. Fiuh.
Kenapa saya katakan fiuh, karena air nira yang dibawa rekan kerja itu selangkah lagi akan berubah menjadi tuak. Sumpah, seumur hidup saya belum pernah minum tuak. Bukan karena anti, tapi lebih mengarah pada keengganan saya terhadap minuman tradisional semacam itu. Persis ketika tinggal di Jogjakarta, saya sama sekali tidak mau menyentuh lapen. Pun, ketika ke Solo, arak yang bernama ciu tidak saya sentuh.
Tapi ini nira, belum menjadi tuak. Saya jadi selera. Mungkin karena itulah saya juga teriak.
Lalu, jeriken itu langsung dikuasai seorang kawan yang lain. Saya sudah menyiapkan cangkir. Tapi, jeriken itu tidak dibuka juga tutupnya.
“Jangan minum dulu ya… Pakek duren enak neh,” begitu kata kawan yang memegang jeriken.
Nira campur durian? Busyet, resep dari mana pula itu? Parahnya, seisi kantor setuju. Tidak mungkin saya teriak menolak sendirian kan? Bah!
Maka saya diam saja dan kembali menyimpan cangkir di lemari yang berada di dekat ruang print. Saya pun kembali bekerja lagi. Menghadap komputer dan kembali mengedit. Seiring dengan itu, dua orang rekan kerja bergerak mencari durian, jeriken tetap aman di tempatnya dan tutupnya sama sekali tak terbuka. Jangankan terbuka, jeriken itu sama sekali tidak ada yang menyentuh. Sepertinya seisi kantor benar-benar berniat minum nira campur durian. Entahlah, saya sama sekali tidak berminat. Bagi saya, durian itu kan berasa tajam. Sementara nira yang selangkah lagi jadi tuak, juga tak kalah tajam. Jadi, bisa dibayangkan jika keduanya digabung. Apalagi saya punya masalah lambung akibat pola hidup tak jelas di masa lalu. Fiuh.
Tak sampai sepuluh menit, dua rekan itu kembali dengan dua buah durian di tangan. Gampang sekali rupanya menemukan durian. Ya, bukankah Kota Medan sudah identik sebagai kota durian? Masalah tak ada kebun durian di Kota Medan, kan itu urusan lain. Yang jelas, Medan memang tak pernah kekurangan stok durian bukan? Bahkan, lelucon yang tercipta, persedian durian di Medan jauh mengalahkan persediaan bahan bakar minyak bersubsidi.
Lalu, jeriken pun mulai dipegang. Durian siap dibuka. Saya langsung teriak: jangan di ruangan, di atas saja! Ayolah, kantor saya full AC, bisa bayangkan dua aroma itu memenuhi ruangan? Dan, teriakan saya ampuh. Rekan-rekan yang memegang durian dan sejeriken nira langsung keluar ruangan. Mereka ke pintu belakang. Mereka menaiki tangga menuju lantai empat: kantin dan ruang terbuka. Selain kawan yang memegang durian dan jeriken, terlihat oleh saya beberapa rekan lain turut serta. Sumpah, gaya mereka bak pemandu sorak dalam laga basket remaja.
Setelah mereka hilang dari pandangan, saya malah tertarik untuk menyusul ke atas (ruang kerja saya berada di lantai 3). Maka, di lantai berpayungkan langit (di lantai empat) saya melihat mereka meramu minuman dan buah itu. Saya lihat durian yang terbuka. Isinya terlihat ranum. Aroma yang ditimbulkan buah berduri itu merangsang syaraf saya. Tak pelak, langsung saja saya ambil biji-biji buah yang berbalut selaput putih kekuningan yang lembut dan manis itu. Ternyata, satu biji tak cukup. Dua biji saya makan. Tiga biji. Empat biji. Dan, biji kelima tak kesampaian. Mereka yang hadir di sana memandang saya penuh ‘dendam’. Saya tertawa. Saya relakan biji-biji itu meski selera masih tergantung di tenggorokan. Sudahlah. Setidaknya saya sudah menikmati durian itu.
Lalu, saya melihat seorang rekan membawa teko besar. Nira dituangkan ke situ. Begitu pula biji-biji durian yang belum sempat saya nikmati. Saya lihat biji-biji itu dimasukan ke teko, mereka seperti berenang. Komposisi belum pas, masih lebih banyak niranya. Tapi beberapa menit kemudian, setelah komposisi mulai pas, air nira yang bercampur durian mulai mengental. Rekan-rekan pun mulai menengadahkan cangkir mereka. Sang pemegang teko mengisinya secara bergilir. Hm, sebuah prosesi yang menarik.
Saya hanya pandangi itu. Melihat mereka meminum, saya menjadi kenyang. Terbayang oleh saya bagaimana cairan itu masuk ke tubuh mereka. Menerobos tenggorokan, lambung, usus-usus dan berbagai isi perut lainnya. Sumpah, saya anggap hal itu mengerikan.
Tiba-tiba, seorang kawan menawarkan cangkirnya. Saya cuma nyengir. Dia semacam memaksa, saya tertawa. Saya pun langsung mengejek dia sebagai salah satu cara menolak. “Ntah apa-apa kalian, aneh-aneh, durian itu dibuat cake, dibuat dodol, dan kolak! Masak dicampur nira,” begitu kata saya.
Rekan itu tak marah, dia malah tertawa. “Banyak cara menikmati durian, jangan konvensional!” balasnya.
Bah, kalimatnya masuk ke otak saya. Saya malah setuju. Ya, bukan sesuatu yang haram untuk bereksperimen bukan? Masalah efeknya bisa membuat mencret, kan itu urusan lain. Yang penting, semakin banyak yang bereksperimen, semakin banyak cara menikmati durian bukan? Ya, jangan seperti saya yang hanya suka durian dimakan secara konvensional. Lho! (*)