Katanya Medan kota terbesar ketiga di Indonesia. Tak ada yang membantah. Tak ada yang protes. Memang seperti itulah keadaannya; setidaknya menurut orang yang percaya. Dan, saya adalah satu di antara orang yang percaya itu.
Kawan saya, yang selalu tidak suka dengan ‘kebesaran’ Medan punya teori lain. Dia ini – kawan saya – sejatinya pernah tinggal di Medan, namun dia hengkang dari kota ini karena gagal. Dia seorang seniman, dia pernah berproses cukup lama di Pulau Jawa. Dia mengklaim dirinya sebagai pemusik kontemporer. Ya, bak Ben Pasaribu yang membawa meja pingpong ke atas panggung; memasang soundsystem dan menjadikan permainan tenis meja sebagai sebuah musik.
Intinya, dengan proses lama di Pulau Jawa dia merasa bisa menaklukan Medan. Apalagi pemusik semacam Ben Pasaribu cukup jarang di Medan. Kebetulan pula, dia hadir di Medan saat Ben masih hidup. Dan, dalam prosesnya di Jawa, dia juga sudah bergaul dengan Ben. Setidaknya saat festival Gamelan di Jogjakarta, dia bergaul dengan dua wakil Sumatera Utara: Ben Pasaribu dan Irwansyah Harahap. Selain itu, pergaulannya dengan pemusik di Jogja cukup lumayan. Saat itu dia sudah menjadi redaktur musik di sebuah tabloid di ‘kota yang berhati nyaman’ itu.
Maka, ketika dia tiba di Medan, dia menghubungi Ben dan Irwansyah; seperti permisi. Harapannya, dia bisa berkarya di kota yang sejatinya identik dengan dia. Ya, selama di Jawa, dia memang identik dengan Sumatera Utara, pasalnya dia lelaki yang menyandang marga.
Sepekan dua pekan di Medan, semangatnya masih cukup tinggi. Dia bisa berproses dengan baik. Sayang, mulai tiga pekan dan seterusnya dia makin tertinggal. Dia tidak memiliki rekan dialog yang pas; tidak seperti sebelumnya, nyaris setiap malam dia berdiskusi panjang dengan seniman musik dan sebagainya yang memang cukup banyak tersedia; nyaris di setiap sudut kota itu, membuat otak penuh dengan ide-ide yang menarik. Di Medan, dia tidak menemukan itu. Otaknya serasa beku. Alat musik yang biasa dia sentuh tinggal gitar saja. Kalaupun dia memainkan gitar, rekan-rekannya ngobrol malah minta dimainkan lagu Dewa, Slank, dan musik-musik industri lainnya. Dia mati bakat.
Akhirnya, demi cita-cita dan untuk bertahan hidup, dia bekerja serabutan. Dia bekerja sebagai penyiar radio yang studionya ada di Kecamatan Johor. Baginya saat itu, yang penting masih berhubungan dengan musik. Ya, meski kadang dia harus rela menyiarkan permintaan pendengar yang maunya lagu Malaysia.
Sial, seiring waktu, kesempatan untuknya berkarya pupus. Dia tidak memiliki armada. Namanya hanya besar di kepalanya saja. Konser yang dia buat saat di Jogja sebelum berangkat ke Medan seakan tak berarti. Dia menyerah. Dia tetapkan dalam hati, jika bukan di Medan, pasti ada kota lain yang ramah. Maka, dia meninggalkan kota ini.
Dan, beberapa hari lalu saya terlibat obrolan menarik dengannya melalui layanan BlackBerry Messenger
“PING!!!” begitu dia mulai dengan tulisan berwarna merah di layar telepon pintar saya.
“Ups, apa kabar pak bro!” balas saya pula.
Setelah itu, kami terlibat perbincangan tentang karirnya. Ha ha ha, dari keterangannya, ternyata dia belum juga berkarya. Kini dia malah kerja di bidang konstruksi yang ada di Riau.
“Berarti bukan karena Medan, pak bro!” cetus saya.
Dia tertawa (dari simbol yang dia munculkan dalam layar BlackBerry saya). Lalu, dia pun bercerita. Dan, dia tetap saja menganggap Medan yang menjadikannya ‘mandul’. Katanya, Medan membuat dia harus hidup di tataran realis dan bukan lagi idealis. Itulah sebab dia mau menjadi ‘tukang’ di proyek-proyek pembangunan daerah di Riau.
Lalu, dia membandingkan Medan dengan kotanya tempat berproses: Jogja. Di Medan, katanya, seseorang harus memikirkan hidup dalam arti sibuk mencari sesuatu agar bisa hidup. Hidup ini diartikannya bukan sekadar makanan dan berbatang rokok, tapi termasuk gengsi. Adalah sangat tidak masuk akal bagi orangtua atau calon mertua ketika kerja kita hanya sebagai seniman. Boleh seniman, tapi harus kaya! Ya, pegawai adalah pekerjaan yang pas. Sementara di Jogja, mikir hidup hanya sekadar soal makanan dan beberapa batang rokok. Jadi, tidak ada keharusan membeli mobil. Keharusan yang tercipta adalah karya!
“Semakin lama aku di Medan, makin lupa aku berkarya. Aku disibukan dengan kebutuhan untuk memuaskan gengsi yang diciptakan kota itu…” begitu tulisnya.
Saya hanya memberi simbol jempol.
“Seharusnya kota sebesar itu bisa lebih besar dengan karya yang besar…” tambahnya.
“Sudah cukup dengan status kota terbesar ketiga di Indonesia kan?” pancing saya.
Dia memunculkan simbol tawa. Lalu mengetik, “Itu hanya sebuah klaim!”
“Klaim?”
“Ya, biar ada yang besar di luar Pulau Jawa, seperti Makassar di Sulawesi sebagai wakil Indonesia Timur!”
“Padahal, selama aku tinggal di Medan, kukelilingi kotamu itu hanya dengan sebatang rokok!” tulisnya lagi.
Setelah itu kami berbincang hal lain. Saya memang tidak mau membahas lebih panjang soal Medan dan sebatang rokok tadi. Bukan apa-apa, kawan saya itu tampaknya terlalu emosi dengan Medan.
Sebatang rokok adalah waktu yang singkat. Medan tidak sekecil itu. Apakah dia pernah mengelilingi seluruh Medan dalam satu perjalanannya? Maksud saya, mengendarai kendaraan dari perbatasan Deliserdang arah Tanjungmorawa hingga perbatasan Deliserdang arah Binjai? Atau, perbatasan Deliserdang arah Berastagi hingga perbatasan Deliserdang arah Tembung? Sudahlah, tidak usah itu, pernahkah dia menjalani perjalanan dari Bandara Polonia ke Pelabuhan Belawan? Hm, mau berapa batang rokok habis terhisap hingga sampai tujuan!
Dan, seandainya saat ini dia ke Medan, saya akan ajak dia jalan-jalan, akan saya tunjukan berapa batang rokok yang habis terisap dari Amplas hingga Lapangan Merdeka. Ya, kemacetan di Medan sudah luar biasa bukan?
Tapi sudahlah, ketika orang sudah tidak suka, maka apapun jadi tampak tak indah bukan? Seperti murid SD yang tidak suka guru matematika, maka dia akan sulit mengikuti pelajaran itu. (*)