Situs Kota China berada di kawasan Siombak Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan. Hingga kini jejak sejarahnya masih terus menjadi sorotan banyak pihak. Lokasi situs Kota China, yang berada persis di tengah-tengah pemukiman masyarakat itu ternyata tidak mudah untuk diungkap para arkeolog. Bahkan, jejak peradaban Kota China di masa silam itu, terancam hilang. Sebab situs diperkirakan peninggalan abad ke 12, penggaliannya kini dihentikan.
Sore itu, setibanya di Museum Situs Kota China Sumut Pos disambut Pak Ade, seorang pekerja di museum. Sedangkan, Dr Ichwan Azhari pengelola museum sekaligus Ketua Pusat Studi Sosial dan Ilmu Sejarah (Pus sis) Unimed (Universitas Negeri Medan) tengah berada di luar kota, karena suatu keperluan.
“Pak Azhari sedang berada di Jogyakarta, seharusnya beliau yang berhak memberikan penjelasan soal situs Kota China ini. Kalau saya hanya seorang pekerja,” ujar, Pak Ade saat ditemui di Museum Situs Kota Cina Kecamatan Medan Marelan. Di lokasi bangunan berdinding kaca di kelilingi pagar sepanjang 100 meter yang berada persis di pinggirann
aliran anak sungai. Pria berdarah minang ini menunjukkan berbagai temuan benda antik seperti, replika Arca Dhyani Buddha Amitaba dan Arca Wisnu. Arca khas India Selatan berbahan batu granit putih ini ditemukan di sekitar areal situs Kota China dan pinggiran Danau Siombak, yang diperkirakan peninggalan pada abad XII-XIV Masehi.
Tak cuma itu, berbagai guci, batu giok, mangkuk kecil, kendi, kayu rangka kapal dan puluhan uang logam kuno juga terpajang di dalam almari kaca. Sedangkan di pinggiran dinding museum terdapat 3 buah batu berukuran panjang satu meter per segi empat dan sejumlah batu bata diperkirakan sebagai bahan bangunan peninggalan masa itu.
“Sebenarnya masih banyak lagi barang-barang bernilai sejarah di daerah ini, hanya saja keberadaanya di sekitar tanah dan bangunan rumah milik masyaraat di sini. Ini yang menyulitkan upaya penggalian, sudah tentu masyarakat minta ganti kerugian kalau tempat tinggalnya digali,” sebutnya.
Sekitar 30 menit berada di sekitar bangunan museum, Pak Ade lalu mengajak Sumut Pos ke sebuah lokasi yang berada sekitar 500 meter lebih dari lokasi museum. Setelah melintasi pemukiman warga, akhirnya kami tiba di pinggiran semak belukar. Dengan berjalan kaki, kami menelusuri jalan berlumpur di kelilingi rawa-rawa.
Sepanjang perjalanan, Pak Ade menjelaskan kalau di bawah tanah yang dilintasi terdapat susunan batu batu memanjang diduga merupakan candi atau pagar istana dari peninggalan zaman Kota China. Meski sebelumnya pernah dilakukan penggalian, tapi belakangan dihentikan karena terkendala biaya.
“Untuk menyelesaikan penggalian butuh biaya besar, sedangkan pemerintah belum mampu mendanainya. Selama ini aktivitas penggalian didanai Pak Azhari, tapi sekarang berhenti terkendala biaya tadi. Sementara sebagian besar tanah di sini milik masyarakat, dan pastinya butuh dana untuk pembebasan lahan,” ungkap, Pak Ade.
Tak jauh dari hadapan kami, pria diperkirakan berusia 50-an tahun yang tadinya asik menjelaskan sejarah di tempat itu, tiba-tiba mengarahkan jari telunjuknya ke sebuah pohon besar diperkirakan merupakan pohon tertua di sekitar tempat tersebut. “Itu pohon tertua di sini, pohon ini sering digunakan sebagai lokasi sembahyang umat Buddha. Mereka percaya pohon itu adalah peninggalan masa lalu,” ujarnya.
Di sekitar pohon tua berdiameter hampir satu meter, dengan dikelilingi akar dan ranting kecil, tampak di bagian bawahnya sisa lidi dupa warna merah bekas penganut kepercayaan Buddha, melakukan ritual. Sambil berjalan kaki menuju ke arah barat, kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Akhirnya perjalanan menuju klenteng (pekong) tridharma yang di dalamnya terdapat arca logam peninggalan abad XII inipun tiba.
Bangunan berukuran 4 x 6 meter, terlihat kokoh berdiri dengan sekeliling dipenuhi semak belukar. Sedangkan berjarak 10 meter dari halaman klenteng terdapat tempat pembakaran dupa berukuran 1 x 1 meter. Menurut, Pak Ade terkadang ada warga tionghoa penganut kepercayaan Buddha sering membersihkan klenteng tersebut, tapi sore itu kami tak mendapati seorang pun berada di tempat peribadatan dimaksud.
“Biasanya ada orang yang menjaga dan membersihkan pekong, tapi hari ini tidak kelihatan dan pekong ini tertutup. Dibagian dalam pekong, ada arca Buddha terbuat dari logam, karena obyek ini masih digunakan sebagai tempat sembahyang umat Buddha jadi masih dibiarkan seperti ini,” lanjutnya.
Arca Buddha terbuat dari logam berukuran panjang 12 centimeter, ini persis berada di pedupaan, arca dalam posisi berdiri (samabhanga) dengan kondisi tangan kanan tidak jelas dan tangan kiri sudah hilang tersebut juga diperkirakan sebagai peninggalan umat Buddha di abad XII.
“Kemungkinan kalau di sekitar tempat ini dilakukan penggalian banyak ditemui benda bersejarah, seperti susunan batu bata sebelumnya ditemukan pada ke dalaman tanah 2 meter. Dan ada penemuan batuan di tahun 2013 ini, saat digali tanahnya longsor lalu ditemukan susunan batu, tapi masih dilakukan uji laboratorium di Medan oleh arkeolog asal Prancis. Jadi kita belum tahu apakah itu susunan batu benteng (pagar) kerajaan masa lalu atau susunan batu candi,” ucapnya. (bersambung)
Penggalian Candi Terhenti karena Terkendala Biaya
Situs Kota China berada di kawasan Siombak Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan. Hingga kini jejak sejarahnya masih terus menjadi sorotan banyak pihak. Lokasi situs Kota China, yang berada persis di tengah-tengah pemukiman masyarakat itu ternyata tidak mudah untuk diungkap para arkeolog. Bahkan, jejak peradaban Kota China di masa silam itu, terancam hilang. Sebab situs diperkirakan peninggalan abad ke 12, penggaliannya kini dihentikan.
Sore itu, setibanya di Museum Situs Kota China Sumut Pos disambut Pak Ade, seorang pekerja di museum. Sedangkan, Dr Ichwan Azhari pengelola museum sekaligus Ketua Pusat Studi Sosial dan Ilmu Sejarah (Pus sis) Unimed (Universitas Negeri Medan) tengah berada di luar kota, karena suatu keperluan.
“Pak Azhari sedang berada di Jogyakarta, seharusnya beliau yang berhak memberikan penjelasan soal situs Kota China ini. Kalau saya hanya seorang pekerja,” ujar, Pak Ade saat ditemui di Museum Situs Kota Cina Kecamatan Medan Marelan. Di lokasi bangunan berdinding kaca di kelilingi pagar sepanjang 100 meter yang berada persis di pinggirann
aliran anak sungai. Pria berdarah minang ini menunjukkan berbagai temuan benda antik seperti, replika Arca Dhyani Buddha Amitaba dan Arca Wisnu. Arca khas India Selatan berbahan batu granit putih ini ditemukan di sekitar areal situs Kota China dan pinggiran Danau Siombak, yang diperkirakan peninggalan pada abad XII-XIV Masehi.
Tak cuma itu, berbagai guci, batu giok, mangkuk kecil, kendi, kayu rangka kapal dan puluhan uang logam kuno juga terpajang di dalam almari kaca. Sedangkan di pinggiran dinding museum terdapat 3 buah batu berukuran panjang satu meter per segi empat dan sejumlah batu bata diperkirakan sebagai bahan bangunan peninggalan masa itu.
“Sebenarnya masih banyak lagi barang-barang bernilai sejarah di daerah ini, hanya saja keberadaanya di sekitar tanah dan bangunan rumah milik masyaraat di sini. Ini yang menyulitkan upaya penggalian, sudah tentu masyarakat minta ganti kerugian kalau tempat tinggalnya digali,” sebutnya.
Sekitar 30 menit berada di sekitar bangunan museum, Pak Ade lalu mengajak Sumut Pos ke sebuah lokasi yang berada sekitar 500 meter lebih dari lokasi museum. Setelah melintasi pemukiman warga, akhirnya kami tiba di pinggiran semak belukar. Dengan berjalan kaki, kami menelusuri jalan berlumpur di kelilingi rawa-rawa.
Sepanjang perjalanan, Pak Ade menjelaskan kalau di bawah tanah yang dilintasi terdapat susunan batu batu memanjang diduga merupakan candi atau pagar istana dari peninggalan zaman Kota China. Meski sebelumnya pernah dilakukan penggalian, tapi belakangan dihentikan karena terkendala biaya.
“Untuk menyelesaikan penggalian butuh biaya besar, sedangkan pemerintah belum mampu mendanainya. Selama ini aktivitas penggalian didanai Pak Azhari, tapi sekarang berhenti terkendala biaya tadi. Sementara sebagian besar tanah di sini milik masyarakat, dan pastinya butuh dana untuk pembebasan lahan,” ungkap, Pak Ade.
Tak jauh dari hadapan kami, pria diperkirakan berusia 50-an tahun yang tadinya asik menjelaskan sejarah di tempat itu, tiba-tiba mengarahkan jari telunjuknya ke sebuah pohon besar diperkirakan merupakan pohon tertua di sekitar tempat tersebut. “Itu pohon tertua di sini, pohon ini sering digunakan sebagai lokasi sembahyang umat Buddha. Mereka percaya pohon itu adalah peninggalan masa lalu,” ujarnya.
Di sekitar pohon tua berdiameter hampir satu meter, dengan dikelilingi akar dan ranting kecil, tampak di bagian bawahnya sisa lidi dupa warna merah bekas penganut kepercayaan Buddha, melakukan ritual. Sambil berjalan kaki menuju ke arah barat, kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Akhirnya perjalanan menuju klenteng (pekong) tridharma yang di dalamnya terdapat arca logam peninggalan abad XII inipun tiba.
Bangunan berukuran 4 x 6 meter, terlihat kokoh berdiri dengan sekeliling dipenuhi semak belukar. Sedangkan berjarak 10 meter dari halaman klenteng terdapat tempat pembakaran dupa berukuran 1 x 1 meter. Menurut, Pak Ade terkadang ada warga tionghoa penganut kepercayaan Buddha sering membersihkan klenteng tersebut, tapi sore itu kami tak mendapati seorang pun berada di tempat peribadatan dimaksud.
“Biasanya ada orang yang menjaga dan membersihkan pekong, tapi hari ini tidak kelihatan dan pekong ini tertutup. Dibagian dalam pekong, ada arca Buddha terbuat dari logam, karena obyek ini masih digunakan sebagai tempat sembahyang umat Buddha jadi masih dibiarkan seperti ini,” lanjutnya.
Arca Buddha terbuat dari logam berukuran panjang 12 centimeter, ini persis berada di pedupaan, arca dalam posisi berdiri (samabhanga) dengan kondisi tangan kanan tidak jelas dan tangan kiri sudah hilang tersebut juga diperkirakan sebagai peninggalan umat Buddha di abad XII.
“Kemungkinan kalau di sekitar tempat ini dilakukan penggalian banyak ditemui benda bersejarah, seperti susunan batu bata sebelumnya ditemukan pada ke dalaman tanah 2 meter. Dan ada penemuan batuan di tahun 2013 ini, saat digali tanahnya longsor lalu ditemukan susunan batu, tapi masih dilakukan uji laboratorium di Medan oleh arkeolog asal Prancis. Jadi kita belum tahu apakah itu susunan batu benteng (pagar) kerajaan masa lalu atau susunan batu candi,” ucapnya. (bersambung)