25 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Ketika Mahasiswa Pendidikan Perjuangkan Nasibnya ke MK

Guru Hak Kami

Langkah sejumlah mahasiswa universitas keguruan di Indonesia yang mendaftarkan gugatan uji materi pasal 9 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tidak begitu berpengaruh terhadap situasi di Sumatera Utara. Apalagi Universitas Negeri Medan (Unimed) sebagai satu-satunya LPTK negeri di Sumut mayoritas alumninya diterima bekerja sebagai guru.

CALON SARJANA: Sejumlah mahasiswa serius mendengarkan arahan  disampaikan dosen  sebuah kesempatan. //triadi wibowo/sumut pos
CALON SARJANA: Sejumlah mahasiswa serius mendengarkan arahan yang disampaikan dosen dalam sebuah kesempatan. //triadi wibowo/sumut pos
Pembantu Rektor II Unimed Drs Chairul Azmi MPd ketika ditanya wartawan koran ini soal komentarnya tentang aksi sejumlah mahasiswa yang di tanah air yang mendaftarkan gugatan ke MK mengaku hal itu sah-sah saja, tetapi dia heran kenapa setelah berjalan tujuh tahun, undang-undang tersebut baru digugat. “Seharusnya memang dari awal, tetapi entah mungkin ada pertimbangan lain. Tapi setahu saya mahasiswa dari Unimed tidak ada yang ikut ke Jakarta,” ungkap Chairul.

Mantan Humas Unimed ini menjelaskan, rata-rata alumni dari Unimed khususnya yang berasal dari sarjana pendidikan semuanya diterima menjadi guru. Dan bahkan mereka sampai kewalahan untuk mengisi formasi guru yang di sekolah-sekolah yang ada di Sumatera Utara. “Di Unimed kan ada dua program yakni program pendidikan dan program non pendidikan,” ungkap Chairul. Dua program ini merupakan prasyarat perguruan tinggi ini berubah nama menjadi Unimed. “Dulu kan lembaga kami namanya IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Medan). Tapi karena kami mengelola dua program yakni pendidikan dan non pendidikan makanya kami bisa berubah nama menjadi Unimed,” kata Chairul. Perubahan ini terjadi tahun 2000 lalu. Meskipun mengasuh dua program pendidikan, tetapi alumni program pendidikan- lah yang paling diprioritasnya untuk menempati posisi sebagai guru. “Kan, namanya sudah sarjana pendidikan.

Merekalah yang berkompeten menjadi guru, bukan sarjana non pendidikan,” ujar Chairul. Alumni sarjana pendidikan itu sambung dia sudah dibekali ilmu pendidikan yang disebut dengan Akta IV. Sehingga berbeda kompetensi yang dimiliki sarja pendidikan dengan sarjana non pendidikan. Lantas apakah sarja non pendidikan tidak boleh menjadi guru?

Chairul yang juga Sekjen KONI Sumut ini menjawab boleh-boleh saja, asalkan dia mengambil pendidikan guru lagi sebagai pendidikan tambahan. Dia mencontohkan semisal ada alumni unimed dia tamat dari Fakultas Ekonomi Non Pendidikan, jika dia ingin menjadi guru maka mahasiswa yang bersangkutan harga mengambil akta IV. “Ini peraturan, sejauh pengamatan saya, di sekolah-sekolah negeri di Sumut tidak ada guru yang mengajar di sekolah yang bukan sarjana pendidikan,” bebernya.

Tapi Chairul juga tidak memungkiri bisa saja di sekolah-sekolah swasta masih ada guru yang bukan sarjana pendidikan. Hal ini susah untuk diawasi apalagi ditindak, sebab kebijakan itu tergantung oleh yayasan masing-masing. “Ya bisa saja, misalkan yayasan menganggap ada sarjana Ekonomi tamatan USU berkompeten, maka yayasan tersebut merekrutnya menjadi guru. Padahal hal itu sudah tidak sesuai dengan peraturan. Tapi kalau ada praktik seperti ini lantas siapa yang mengawasi?” katanya.

Pengalaman Chairul pada tahun 1980-an saat ia diminta mengajar di salah satu perguruan swasta di Kota Medan ada gurunya yang latar belakang pendidikanya bukan sarjana pendidikan. “Tapi itu dulu, sekarang kan tidak sebab sudah banyak alumni-alumni sarjana pendidikan,” ujarnya.

Di tempat terpisah, Ernawati salah seorang mahasiswa Unimed Jurusan Bahasa Indonesia Fakultas Ilmu Bahasa dan Seni mengatakan, dia sengaja kuliah ke Unimed karena ingin menjadi guru. “Memang waktu SMA pun saya sudah punya cita-cita menjadi guru, makanya saya kuliah ke Unimed,” ungkap Ernawati.

Dia mengaku meskipun masih menempuh pendidikan di tingkat tiga, tetapi mata kuliah yang berkaitan dengan jurusan kependidikan sudah terasa. “Saya punya teman sekolah yang kuliahnya di USU. Memang mata kuliahnya selalu berbeda dan cara belajar di kampus juga beda,” ungkap dia. Dia berharap begitu tamat bisa menjadi guru yang profesional sesuai dengan jurusan yang diambilnya.

Hal senada juga disampaikan Indra Gunawan. Mahasiswa asal Langkat ini mengaku kuliah di Unimed hanya untuk menjadi guru. “Saya suka menjadi guru, makanya mengambil jurusan PGSD,” katanya. Ditanya soal aksi mahasiswa yang melakukan demo untuk uji materil Undang-Undang Guru dan Dosen di Jakarta beberapa hari lalu, Indra Gunawan mengaku tidak tahu menahu. “Saya tidak tahu menahu soal itu. Tahu saya belajar dan belajar. Begitu tamat bisa jadi guru dalam kalau bisa statusnya Pegawai Negeri Sipil (PNS),” jawabnya polos. Dia juga mengatakan, ya ke depan profesi guru itu menjadi hak kami.

Seperti diketahui sejumlah mahasiswa universitas keguruan di Indonesia mendaftarkan gugatan uji materi pasal 9 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Mereka adalah tujuh orang mahasiswa yang mewakili dari kampus berlatar belakang kependidikan yaitu Aris Winarto, Achmad Hawanto, Heryono, Mulyadi, Angga Damayanto, M Khoirur Rosyid, serta Siswanto. Para pemohon yang berkuliah di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) tersebut mengkritisi persaingan tidak fair terkait peluang kerja di bidang pendidikan bagi sarjana non kependidikan.

“Mereka menuntut persaingan yang adil dalam mendapat pekerjaan di bidang pendidikan. Apakah adil jika sarjana non kependidikan, yang hanya menempuh pendidikan profesi guru (PPG), juga bisa bekerja sebagai guru, sementara yang lulusan LPTK belum dijamin bisa menjadi guru,” jelas M Sholeh, kuasa hukum para mahasiswa tersebut, Jumat (21/9).

Sholeh memaparkan, dalam pasal 28 h ayat (2) UUD 1945 disebutkan soal jaminan dan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada setiap warga negara dengan dasar ada kekhususan.

Dalam perkara itu, bisa dimaknai bahwa mahasiswa fakultas kedokteran dijamin bisa menjadi dokter asalkan mengikuti semua prosedur perkuliahan dan lulus ujian. “Begitupun, mahasiswa LPTK seharusnya dijamin bisa menjadi guru asalkan bisa lolos seleksi mengikuti PPG. Tapi, kenyataannya tidak begitu. Mereka tetap harus bersaing dengan sarjan non kependidikan,” kata dia.

Sholeh memaparkan, dalam PPG, setidaknya dibutuhkan matrikulasi satu semester untuk sarjana non kependidikan untuk mengajarkan ilmu pedagogik, kompetensi kepribadian, kompentensi sosial, dan kompetensi profesional. Sementara sarjana kependidikan harus menempuh semua mata kuliah tersebut dalam waktu dua hingga tiga semester.

“Dari sini jelas ada perlakuan keistimewaan terhadap sarjana non kependidikan dalam masuk PPG. Seharusnya, kalau mau adil, sarjana non kependidikan yang mau ikut PPG harus kuliah lagi di LPTK dan hanya mengambil mata kuliah yang belum diajarkan di kampus non kependidikan barulah kemudian mengikuti tes masuk PPG,” ujar dia.

Diketahui pasal 9 berbunyi, “kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud di dalam pasal 8 didapatkan lewat pendidikan tinggi modul sarjana atau modul diploma empat”.

Sholeh menegaskan guru adalah profesi yang perlu ditempuh lewat jalur akademik spesial, yakni kependidikan. Jika pasal itu terus diaplikasikan, jadi dapat menyebabkan ketidakpastian hukum untuk beberapa sarjana lulusan kependidikan.
“Ketika sarjana non kependidikan bisa jadi guru, tidak cuma masalah mata pencaharian beberapa sarjana kependidikan terancam, tetapi persaingannya jadi tidak adil. Perihal itu jelas menyebabkan ketidak pastian hukum,” kata sholeh.
Menurut pasal 7 ayat (1)  jelas sekali dijelaskan bila profesi guru serta dosen yaitu merupakan bidang pekerjaan spesial. Sebab itu, telah bisa dipastikan bila syarat untuk dapat jadi seorang guru merupakan mutlak diperlukan keahlian spesial, di mana keahlian spesial ini mustahil diperoleh di perkuliahan non LPTK (instansi pendidikan tenaga kependidikan).

“Sejak awal masuk di LPTK, memanglah beberapa pemohon berkemauan jadi guru. Sesaat beberapa pemohon tidak ingin masuk perguruan tinggi non LPTK lantaran tak ada aturan ataupun janji-janji dari perguruan tinggi non LPTK dapat mencetak mahasiswa jadi guru,” tandasnya.

Menurut Sholeh jika pasal ini dipertahankan keberadaan kampus berlatar kependidikan jadi percuma. “Kenapa tidak dibubarkan saja kampus-kampus kependidikan itu? baru seterusnya, persaingan untuk jadi guru dapat lebih adil,” terangnya.
Lebih jauh, lanjut sholeh, beberapa sarjana kependidikan mempunyai kelebihan di banding sarjana non-kependidikan. Kelebihan itu terletak pada faktor psikologis yang mereka bisa sepanjang melakukan proses akademik.

“Bagaimanapun, universitas kependidikan serta non-kependidikan, psikologinya telah tidak sama. Di situ beberapa pemohon ditempa beragam macam mata kuliah layaknya pedagogik, kompetensi kepribadian, kompentensi sosial, serta kompetensi profesional. Mata kuliah layaknya inilah yang kedepannya dikira beberapa guru untuk menambah mutu beberapa guru. Mata kuliah layaknya ini tidak diajarkan di perguruan tinggi nonkependidikan,” tegasnya.

Mereka menghendaki MK membatalkan pasal 9 uu guru serta dosen lantaran dinilai melanggar hak mereka untuk memperoleh kemudahan perlakuan spesial untuk beroleh peluang yang sama untuk meraih persamaan serta keadilan sebagaimana dijamin pasal 17 ayat (2), pasal 28 d ayat (1) UUD 1945. “Mereka pingin pasal ini dibatalkan oleh MK,” tutupnya.(dra/bbs/jpnn)

Mendikbud: Belum Bertarung Kok Sudah Minder

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyayangkan sikap mahasiswa Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) atau kampus eks IKIP yang mengajukan gugatan UU Guru dan Dosen. Mereka yakin jika gugatan itu akan gugur di MK.

Karena gugatan tadi sudah terlanjur didaftarkan di MK, Mendikbud Mohammad Nuh mengatakan siap meladeninya. “Silahkan jika mereka menganggap ada yang salah sehingga layak digugat,” katanya di sela kunjungan ke kediaman Mustofa Bisri (Gus Mus) di Rembang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.

Nuh menjelaskan, sejatinya mahasiswa LPTK tidak perlu mengajukan gugatan tadi. Apalagi gugatan itu muncul karena mereka khawatir tersaingi oleh sarjana non LPTK atau non FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) dalam perebutan menjadi guru.  “Ibarat pertempuran, mereka (mahasiswa LPTK, red) belum bertarung sudah minder duluan,” ujar Nuh.

Mantan Rektor ITS itu mengatakan, seharusnya para mahasiswa LPTK itu tidak perlu minder atau merasa kalah duluan. Sebaliknya, Nuh meminta para mahasiswa LPTK harus bisa unjuk gigi sebagai kandidat kuat guru profesional karena lebih mendalami ilmu kependidikan.

Nuh mengatakan, dibukanya akses sarjana non FKIP atau non LPTK bukan tanpa alasan. Dia mengatakan, saat ini banyak kebutuhan guru-guru produktif di SMK yang tidak bisa dicetak di LPTK.
Misalnya, guru di SMK pertanian, peternakan, otomotif, dan elektro. “Apakah lulusan LPTK yang tidak pernah diajari teknik mesin, menjadi guru mesin,” kata dia. Mantan Menkominfo itu juga menuturkan, persaingan antara sarjana LPTK dan non LPTK untuk menjadi guru melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG) dilakukan secara terbuka.

“Inti dari semua ini adalah, melayani hak peserta didik untuk mendapatkan pengajaran yang berkualitas jempolan,” ujarnya. Sebagaimana diberitakan, poin utama yang menjadi bahan gugatan sejumlah mahasiswa itu adalah pasal 9 UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Mereka menganggap, pasal tersebut akan menimbulkan persaingan yang tidak fair untuk menjadi guru.  Tepatnya persaingan antara sarjana LPTK dan non LPTK untuk jadi guru melalui saluran PPG yang berdurasi hanya dua semester. (net/jpnn)

Guru Hak Kami

Langkah sejumlah mahasiswa universitas keguruan di Indonesia yang mendaftarkan gugatan uji materi pasal 9 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tidak begitu berpengaruh terhadap situasi di Sumatera Utara. Apalagi Universitas Negeri Medan (Unimed) sebagai satu-satunya LPTK negeri di Sumut mayoritas alumninya diterima bekerja sebagai guru.

CALON SARJANA: Sejumlah mahasiswa serius mendengarkan arahan  disampaikan dosen  sebuah kesempatan. //triadi wibowo/sumut pos
CALON SARJANA: Sejumlah mahasiswa serius mendengarkan arahan yang disampaikan dosen dalam sebuah kesempatan. //triadi wibowo/sumut pos
Pembantu Rektor II Unimed Drs Chairul Azmi MPd ketika ditanya wartawan koran ini soal komentarnya tentang aksi sejumlah mahasiswa yang di tanah air yang mendaftarkan gugatan ke MK mengaku hal itu sah-sah saja, tetapi dia heran kenapa setelah berjalan tujuh tahun, undang-undang tersebut baru digugat. “Seharusnya memang dari awal, tetapi entah mungkin ada pertimbangan lain. Tapi setahu saya mahasiswa dari Unimed tidak ada yang ikut ke Jakarta,” ungkap Chairul.

Mantan Humas Unimed ini menjelaskan, rata-rata alumni dari Unimed khususnya yang berasal dari sarjana pendidikan semuanya diterima menjadi guru. Dan bahkan mereka sampai kewalahan untuk mengisi formasi guru yang di sekolah-sekolah yang ada di Sumatera Utara. “Di Unimed kan ada dua program yakni program pendidikan dan program non pendidikan,” ungkap Chairul. Dua program ini merupakan prasyarat perguruan tinggi ini berubah nama menjadi Unimed. “Dulu kan lembaga kami namanya IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Medan). Tapi karena kami mengelola dua program yakni pendidikan dan non pendidikan makanya kami bisa berubah nama menjadi Unimed,” kata Chairul. Perubahan ini terjadi tahun 2000 lalu. Meskipun mengasuh dua program pendidikan, tetapi alumni program pendidikan- lah yang paling diprioritasnya untuk menempati posisi sebagai guru. “Kan, namanya sudah sarjana pendidikan.

Merekalah yang berkompeten menjadi guru, bukan sarjana non pendidikan,” ujar Chairul. Alumni sarjana pendidikan itu sambung dia sudah dibekali ilmu pendidikan yang disebut dengan Akta IV. Sehingga berbeda kompetensi yang dimiliki sarja pendidikan dengan sarjana non pendidikan. Lantas apakah sarja non pendidikan tidak boleh menjadi guru?

Chairul yang juga Sekjen KONI Sumut ini menjawab boleh-boleh saja, asalkan dia mengambil pendidikan guru lagi sebagai pendidikan tambahan. Dia mencontohkan semisal ada alumni unimed dia tamat dari Fakultas Ekonomi Non Pendidikan, jika dia ingin menjadi guru maka mahasiswa yang bersangkutan harga mengambil akta IV. “Ini peraturan, sejauh pengamatan saya, di sekolah-sekolah negeri di Sumut tidak ada guru yang mengajar di sekolah yang bukan sarjana pendidikan,” bebernya.

Tapi Chairul juga tidak memungkiri bisa saja di sekolah-sekolah swasta masih ada guru yang bukan sarjana pendidikan. Hal ini susah untuk diawasi apalagi ditindak, sebab kebijakan itu tergantung oleh yayasan masing-masing. “Ya bisa saja, misalkan yayasan menganggap ada sarjana Ekonomi tamatan USU berkompeten, maka yayasan tersebut merekrutnya menjadi guru. Padahal hal itu sudah tidak sesuai dengan peraturan. Tapi kalau ada praktik seperti ini lantas siapa yang mengawasi?” katanya.

Pengalaman Chairul pada tahun 1980-an saat ia diminta mengajar di salah satu perguruan swasta di Kota Medan ada gurunya yang latar belakang pendidikanya bukan sarjana pendidikan. “Tapi itu dulu, sekarang kan tidak sebab sudah banyak alumni-alumni sarjana pendidikan,” ujarnya.

Di tempat terpisah, Ernawati salah seorang mahasiswa Unimed Jurusan Bahasa Indonesia Fakultas Ilmu Bahasa dan Seni mengatakan, dia sengaja kuliah ke Unimed karena ingin menjadi guru. “Memang waktu SMA pun saya sudah punya cita-cita menjadi guru, makanya saya kuliah ke Unimed,” ungkap Ernawati.

Dia mengaku meskipun masih menempuh pendidikan di tingkat tiga, tetapi mata kuliah yang berkaitan dengan jurusan kependidikan sudah terasa. “Saya punya teman sekolah yang kuliahnya di USU. Memang mata kuliahnya selalu berbeda dan cara belajar di kampus juga beda,” ungkap dia. Dia berharap begitu tamat bisa menjadi guru yang profesional sesuai dengan jurusan yang diambilnya.

Hal senada juga disampaikan Indra Gunawan. Mahasiswa asal Langkat ini mengaku kuliah di Unimed hanya untuk menjadi guru. “Saya suka menjadi guru, makanya mengambil jurusan PGSD,” katanya. Ditanya soal aksi mahasiswa yang melakukan demo untuk uji materil Undang-Undang Guru dan Dosen di Jakarta beberapa hari lalu, Indra Gunawan mengaku tidak tahu menahu. “Saya tidak tahu menahu soal itu. Tahu saya belajar dan belajar. Begitu tamat bisa jadi guru dalam kalau bisa statusnya Pegawai Negeri Sipil (PNS),” jawabnya polos. Dia juga mengatakan, ya ke depan profesi guru itu menjadi hak kami.

Seperti diketahui sejumlah mahasiswa universitas keguruan di Indonesia mendaftarkan gugatan uji materi pasal 9 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Mereka adalah tujuh orang mahasiswa yang mewakili dari kampus berlatar belakang kependidikan yaitu Aris Winarto, Achmad Hawanto, Heryono, Mulyadi, Angga Damayanto, M Khoirur Rosyid, serta Siswanto. Para pemohon yang berkuliah di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) tersebut mengkritisi persaingan tidak fair terkait peluang kerja di bidang pendidikan bagi sarjana non kependidikan.

“Mereka menuntut persaingan yang adil dalam mendapat pekerjaan di bidang pendidikan. Apakah adil jika sarjana non kependidikan, yang hanya menempuh pendidikan profesi guru (PPG), juga bisa bekerja sebagai guru, sementara yang lulusan LPTK belum dijamin bisa menjadi guru,” jelas M Sholeh, kuasa hukum para mahasiswa tersebut, Jumat (21/9).

Sholeh memaparkan, dalam pasal 28 h ayat (2) UUD 1945 disebutkan soal jaminan dan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada setiap warga negara dengan dasar ada kekhususan.

Dalam perkara itu, bisa dimaknai bahwa mahasiswa fakultas kedokteran dijamin bisa menjadi dokter asalkan mengikuti semua prosedur perkuliahan dan lulus ujian. “Begitupun, mahasiswa LPTK seharusnya dijamin bisa menjadi guru asalkan bisa lolos seleksi mengikuti PPG. Tapi, kenyataannya tidak begitu. Mereka tetap harus bersaing dengan sarjan non kependidikan,” kata dia.

Sholeh memaparkan, dalam PPG, setidaknya dibutuhkan matrikulasi satu semester untuk sarjana non kependidikan untuk mengajarkan ilmu pedagogik, kompetensi kepribadian, kompentensi sosial, dan kompetensi profesional. Sementara sarjana kependidikan harus menempuh semua mata kuliah tersebut dalam waktu dua hingga tiga semester.

“Dari sini jelas ada perlakuan keistimewaan terhadap sarjana non kependidikan dalam masuk PPG. Seharusnya, kalau mau adil, sarjana non kependidikan yang mau ikut PPG harus kuliah lagi di LPTK dan hanya mengambil mata kuliah yang belum diajarkan di kampus non kependidikan barulah kemudian mengikuti tes masuk PPG,” ujar dia.

Diketahui pasal 9 berbunyi, “kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud di dalam pasal 8 didapatkan lewat pendidikan tinggi modul sarjana atau modul diploma empat”.

Sholeh menegaskan guru adalah profesi yang perlu ditempuh lewat jalur akademik spesial, yakni kependidikan. Jika pasal itu terus diaplikasikan, jadi dapat menyebabkan ketidakpastian hukum untuk beberapa sarjana lulusan kependidikan.
“Ketika sarjana non kependidikan bisa jadi guru, tidak cuma masalah mata pencaharian beberapa sarjana kependidikan terancam, tetapi persaingannya jadi tidak adil. Perihal itu jelas menyebabkan ketidak pastian hukum,” kata sholeh.
Menurut pasal 7 ayat (1)  jelas sekali dijelaskan bila profesi guru serta dosen yaitu merupakan bidang pekerjaan spesial. Sebab itu, telah bisa dipastikan bila syarat untuk dapat jadi seorang guru merupakan mutlak diperlukan keahlian spesial, di mana keahlian spesial ini mustahil diperoleh di perkuliahan non LPTK (instansi pendidikan tenaga kependidikan).

“Sejak awal masuk di LPTK, memanglah beberapa pemohon berkemauan jadi guru. Sesaat beberapa pemohon tidak ingin masuk perguruan tinggi non LPTK lantaran tak ada aturan ataupun janji-janji dari perguruan tinggi non LPTK dapat mencetak mahasiswa jadi guru,” tandasnya.

Menurut Sholeh jika pasal ini dipertahankan keberadaan kampus berlatar kependidikan jadi percuma. “Kenapa tidak dibubarkan saja kampus-kampus kependidikan itu? baru seterusnya, persaingan untuk jadi guru dapat lebih adil,” terangnya.
Lebih jauh, lanjut sholeh, beberapa sarjana kependidikan mempunyai kelebihan di banding sarjana non-kependidikan. Kelebihan itu terletak pada faktor psikologis yang mereka bisa sepanjang melakukan proses akademik.

“Bagaimanapun, universitas kependidikan serta non-kependidikan, psikologinya telah tidak sama. Di situ beberapa pemohon ditempa beragam macam mata kuliah layaknya pedagogik, kompetensi kepribadian, kompentensi sosial, serta kompetensi profesional. Mata kuliah layaknya inilah yang kedepannya dikira beberapa guru untuk menambah mutu beberapa guru. Mata kuliah layaknya ini tidak diajarkan di perguruan tinggi nonkependidikan,” tegasnya.

Mereka menghendaki MK membatalkan pasal 9 uu guru serta dosen lantaran dinilai melanggar hak mereka untuk memperoleh kemudahan perlakuan spesial untuk beroleh peluang yang sama untuk meraih persamaan serta keadilan sebagaimana dijamin pasal 17 ayat (2), pasal 28 d ayat (1) UUD 1945. “Mereka pingin pasal ini dibatalkan oleh MK,” tutupnya.(dra/bbs/jpnn)

Mendikbud: Belum Bertarung Kok Sudah Minder

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyayangkan sikap mahasiswa Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) atau kampus eks IKIP yang mengajukan gugatan UU Guru dan Dosen. Mereka yakin jika gugatan itu akan gugur di MK.

Karena gugatan tadi sudah terlanjur didaftarkan di MK, Mendikbud Mohammad Nuh mengatakan siap meladeninya. “Silahkan jika mereka menganggap ada yang salah sehingga layak digugat,” katanya di sela kunjungan ke kediaman Mustofa Bisri (Gus Mus) di Rembang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.

Nuh menjelaskan, sejatinya mahasiswa LPTK tidak perlu mengajukan gugatan tadi. Apalagi gugatan itu muncul karena mereka khawatir tersaingi oleh sarjana non LPTK atau non FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) dalam perebutan menjadi guru.  “Ibarat pertempuran, mereka (mahasiswa LPTK, red) belum bertarung sudah minder duluan,” ujar Nuh.

Mantan Rektor ITS itu mengatakan, seharusnya para mahasiswa LPTK itu tidak perlu minder atau merasa kalah duluan. Sebaliknya, Nuh meminta para mahasiswa LPTK harus bisa unjuk gigi sebagai kandidat kuat guru profesional karena lebih mendalami ilmu kependidikan.

Nuh mengatakan, dibukanya akses sarjana non FKIP atau non LPTK bukan tanpa alasan. Dia mengatakan, saat ini banyak kebutuhan guru-guru produktif di SMK yang tidak bisa dicetak di LPTK.
Misalnya, guru di SMK pertanian, peternakan, otomotif, dan elektro. “Apakah lulusan LPTK yang tidak pernah diajari teknik mesin, menjadi guru mesin,” kata dia. Mantan Menkominfo itu juga menuturkan, persaingan antara sarjana LPTK dan non LPTK untuk menjadi guru melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG) dilakukan secara terbuka.

“Inti dari semua ini adalah, melayani hak peserta didik untuk mendapatkan pengajaran yang berkualitas jempolan,” ujarnya. Sebagaimana diberitakan, poin utama yang menjadi bahan gugatan sejumlah mahasiswa itu adalah pasal 9 UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Mereka menganggap, pasal tersebut akan menimbulkan persaingan yang tidak fair untuk menjadi guru.  Tepatnya persaingan antara sarjana LPTK dan non LPTK untuk jadi guru melalui saluran PPG yang berdurasi hanya dua semester. (net/jpnn)

Artikel Terkait

Rekening Gendut Akil dari Sumut?

Pedagang Emas Kian Ketar-ketir

Selalu Menghargai Sesama

Dahlan Iskan & Langkanya Daging Sapi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/