Ini masalah miskinnya bahasa Indonesia. Harus kita perkaya. Terutama di zaman penerjemah bukan lagi manusia.
Misalnya kata ‘dia’. Tidak ada ‘dia’ yang mewakili wanita dan ‘dia’ yang mewakili pria. Semua hantam kromo: pokoknya dia. Padahal di bahasa Inggris ada he dan ada she.
Dalam bahasa Mandarin pun juga dibedakan. Dia untuk laki-laki ditulis
Dia untuk perempuan ditulis
Tahu bedanya kan?
Untuk wanita goresan di depannya ada lubangnya. Coba perhatikan. Perhatikan huruf Mandarinnya itu, maksud saya. Bukan perhatikan wanita yang lagi menghadap ke Anda.
Gara-gara ‘dia’ yang seperti itu tulisan saya pun jadi kacau. Setelah diterjemahkan Google.
Misalnya waktu laki-laki bertopi cowboy menarik kaki wanita itu. Yang kesedot jendela itu.
Setelah jadi kalimat Inggris benar-benar tidak bisa dimengerti. Karena apa? Kata ‘dia’ di situ diterjemahkan menjadi ‘he’. Menjadi: laki-laki bertopi cowboy itu menarik kakinya sendiri!
Untuk apa dia (laki-laki) menarik kakinya sendiri? Padahal yang kesedot jendela adalah dia si penumpang wanita? Eh, SEORANG penumpang wanita?
Ayo kita berubah.
Ayo kita putuskan: kita ubah sendiri. Gak usah tunggu peraturan pemerintah.
Ayo kita bedakan ‘dia’ dan ‘ia’. Yang selama ini artinya sama.
Kita ubah sekarang. Gak (eh, tidak) usah tunggu (eh, menunggu) Kepres. Kita putuskan begini: ‘Dia’ untuk laki-laki. ‘Ia’ untuk perempuan.
Beres. Gitu saja kok repot. Kepresnya bisa menyusul. Kapan-kapan. Kalau kepikiran.
Pasti Google senang.Bahasa Indonesia pun bisa kian modern. (***)