Rasanya belum pernah ada seorang menantu menilai mertuanya seterbuka ini. Termasuk bagaimana seorang menantu memberikan nasehat kepada mertuanya secara terbuka mengenai apa sebaiknya yang harus dilakukan Mochtar Riyadi di hari tuanya sekarang ini.
Saya pun yang semula hanya membaca bagian-bagian yang sexy itu tidak mau terpengaruh. Saya menyisihkan waktu untuk membaca buku ini sejak dari permulaan. Saya tidak ingin terjebak pada penilaian dari satu segi. Dan ternyata benar. Pada bagian-bagian lain buku ini, Tahir begitu banyak memuji sang mertua. Mulai dari kecerdasan, kecerdikan, kepandaian, kewibawaan, kebijaksanaan, keberhasilan sampai ke kemampuan filsafat sang mertua. Hanya saja di tengah pujian itu masih juga dia selipkan curhat-curhatnya.
Tahir juga mengakui bahwa suasana tertekan itulah yang justru mendorong dirinya untuk menjadi orang sukses. Harga diri, terpojok, tertekan, terhina dan sakit hati telah meneguhkan tekadnya untuk harus berhasil. Dalam berusaha maupun dalam membina keluarga. Dan Tahir telah membuktikan dirinya berhasil.
“Bahkan saya bisa melebihi mertua saya,” katanya.
“Di usia 62 tahun ini, saya telah mencapai lebih dari yang dicapai mertua saya saat beliau berumur 62 tahun.”
Rasanya, setelah saya renung-renungkan, Tahir tidak memiliki sentiment negatip pada pribadi sang mertua. Tersirat di buku itu bahwa Tahir lebih curhat mengenai ipar-ipar lelakinya, James dan Stephen Riyadi. Bahkan sakit hati pertamanya sebagai menantu Mochtar Riyadi dia rasakan datang dari menantu Mochtar yang lain. Ia ceritakan secara detil peristiwa di Bali itu di dalam buku ini. Sampai-sampai Tahir menuntut diadakan pertemuan keluarga besar Mochtar Riyadi untuk mengklarifikasi peristiwa itu. Pertemuan keluarga besar itu akhirnya benar-benar dilakukan. Dua kali: di Singapura dan di atas kapal pesiar di lautan Pacific menuju Korea. ***