Saya tidak akan menulis tentang penetapan saya sebagai tersangka proyek gardu induk PLN di kolom ini. Agar Jawa Pos dan jaringan media dalam grupnya tidak menjadi corong saya pribadi. Jawa Pos Group harus menjadi corong siapa saja.
Untuk “corong pribadi” itu saya bisa membangun “koran saya sendiri”. Agar jangan mengganggu Jawa Pos Group. “Koran” itu saya beri nama “Gardu Akal Sehat Dahlan Iskan”. Bisa dibaca di www.gardudahlan.com.
Bahkan, sebenarnya saya ingin mengakhiri kolom New Hope ini. Bukan karena saya malu menjadi tersangka, tapi agar tidak mengganggu citra Jawa Pos Group. Ketika niat itu saya sampaikan ke redaksi Jawa Pos, mereka menolak. Mereka tetap meminta saya menulis New Hope di setiap hari Senin.
***
OK. Kali ini tentang besarnya harapan dunia.”Agar Islam di Indonesia bisa mewakili suara Islam”. Ini tecermin dari forum Islam Nusantara yang diselenggarakan di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 29 Mei lalu. Salah satu kesimpulannya: Umat Islam di Indonesia harus mampu mengubah kesan tentang Islam. Selama ini, khususnya di dunia Barat, setiap menyebut Islam konotasinya langsung: Arab, Timur Tengah, konflik, kekerasan, teror.
Dua orang ahli Islam dari Amerika Serikat jadi pembicara. Salah satunya bernama Prof Dr James B. Howestry. James lama tinggal di pesantren Aa’ Gym di Bandung, di masa puncak popularitas Aa” Gym. “Saya sendiri sampai dipanggil Aa” James,” guraunya. Aa” Gym, yang duduk di barisan belakang forum itu, terlihat tersenyum. James melihat uniknya Islam di Indonesia. Damai dan toleran.
Bintang forum itu adalah Ustad Shamsi Ali, yang di New York dikenal sebagai Imam Shamsi. Beliau lahir di pedalaman Sulawesi yang miskin, sekolah di Makassar, dapat beasiswa sampai S-2 di Pakistan, bekerja di Arab Saudi, dan sejak 20 tahun jadi imam di New York. Bahasa Inggrisnya sudah tidak berbau Sulawesi sama sekali. Jauh beda dengan bahasa Inggris saya yang Njawani.
Kesalahpahaman terhadap Islam banyak dibahas hari itu. Orang-orang yang memaki Islam biasanya belum pernah ketemu orang Islam. Apalagi ketemu Imam Shamsi yang selalu tersenyum. Dulu pun, saya sering salah paham. Saya ceritakan, sampai lulus madrasah aliyah (SMA), saya belum pernah ketemu orang yang beragama Kristen. Apalagi Yahudi.
Di madrasah itu, misalnya, pelajaran sejarah masuknya Islam ke Spanyol hanya menceritakan dari sisi Islam. Saya tidak pernah dapat materi bagaimana dari sisi Kristen. Ternyata, belakangan, saya ketahui bahwa anak-anak Kristen di Amerika juga mempelajari sejarah itu. Tapi, juga hanya dari sisi Kristen. Begitu bertolak belakang. Riwayat kesalahpahaman sudah terbangun ribuan tahun. Tidak akan habis memperdebatkan itu.
Maka, saya lebih menekankan aspek praktisnya. Ini kalau Indonesia diharapkan bisa mengubah citra Islam di dunia. Tapi, peran baru ini baru akan efektif kalau dua hal ini bisa kita penuhi.
Pertama, ekonomi Indonesia harus sejajar dengan negara maju. Suara orang miskin cenderung diabaikan. Di bidang apa pun. Ini kenyataan.
Kedua, demokrasi di Indonesia tidak boleh gagal. Demokrasi kita yang sudah (atau baru) berumur 15 tahun ini masih harus dimatangkan. Lembaga-lembaga hukum dan lembaga-lembaga politik masih agak jauh dari standar sebuah negara demokrasi.
Untuk yang pertama, saya mengambil contoh Hongkong. Ketika Tiongkok masih miskin, orang Hongkong memandang Tiongkok dengan nada merendahkan. Orang Hongkong yang berbahasa Kanton tidak mau belajar bahasa Mandarin. Dianggap bahasanya orang kampung. Setelah Tiongkok maju, pandangan itu berubah 180 derajat. Mereka kini dihidupi Tiongkok.
Potensi Indonesia untuk bisa menjadi negara maju sudah terlihat jelas. Sudah di depan mata. Jangan sampai mundur lagi. Saya pernah menulis dalam waktu lima tahun ke depan (waktu itu, saya tulis tujuh tahun), Indonesia bisa menjadi negara terbesar ke-9 di dunia di bidang ekonomi. Kalau sampai kejayaan itu terjadi, nama Indonesia melambung di dunia. Suara Islam dari Indonesia otomatis kian didengar.
Demikian juga di bidang demokrasi. Negara-negara Barat benci dengan yang bersifat otoriter. Tentu kita melihat mereka masih menggunakan standar ganda. Buktinya, mereka baik-baik saja dengan negara yang tidak demokratis seperti Singapura.
Kalau kita bisa membuktikan bahwa Islam benar-benar kompatibel dengan demokrasi dan Islam tidak menjadi hambatan bagi kemajuan ekonomi, maka akan sempurna: Islam, maju, demokrasi.
Tentu kita tidak perlu menunggu kesempurnaan itu. Langkah harus terus dilakukan sejak tahap apa pun. Sambil menunggu kesempurnaan itu, saya mengusulkan perlunya dibangun forum “negara-negara demokrasi yang mayoritas penduduknya Islam”. Jangan lihat kualitas demokrasi di masing-masing negara itu. Demokrasi kita pun belum sempurna. Dengan kriteria itu, kini setidaknya ada 10 negara berpenduduk mayoritas Islam yang menganut sistem demokrasi.
Indonesia-Turki, atau Turki-Indonesia, kelihatannya bisa menjadi promotor forum 10 negara itu. Dengan nama apa pun. Ini akan menjadi suara Islam yang “tidak seperti itu”.”(*)