26.7 C
Medan
Friday, May 10, 2024

Kesabaran Sembahyang 2000 Kilometer

Dari Amerika Dahlan Iskan sempat “pulang” seminggu ke Kedah dan Qinghai. Lalu balik Amerika. Inilah kisah tiga serinya:

 

Dahlan Iskan di Tibet, Cina.
Dahlan Iskan di Tibet, Cina.

Saya akhirnya ke Gansu dan Qinghai. Dari 34 propinsi di Tiongkok tinggal dua itulah yang belum saya jelajahi. Eh, masih satu lagi: Tibet. Tapi apakah perlu ke sana?
Ke Gansu dan Qinghai ini rasanya sudah sama dengan ke Tibet. Apalagi di Qinghai saya tidak hanya ke Xining,  ibukotanya. Melainkan sampai ke kuil Tibet.  Juga ke danau asin Qinghai Hu. Yang di sepanjang berjam-jam di perjalanan hanya lihat gunung dan gunung. Gunung-gunung yang puncaknya berlapis salju. Saking tingginya: lebih dari 4000 meter. Yang nyambung dengan pegunungan Tibet. Yang nafas terasa sudah agak berat: oksigen tipis. Benar-benar sudah seperti ke Tibet. Hanya kurang tinggi.
Vihara di Qinghai pun Vihara Tibet. Yang jumlahnya tidak kalah banyak. Yang sembahyang di dalamnya juga sama: sama  beratnya. Lebih berat dari gerakan salat dalam Islam. 
Ada lima gerakan di tiap rakaatnya. Ada gerakan tangan yang seperti takbiratul iqram. Dilakukan di awal. Ada yang seperti rukuk. Dan ada yang seperti sujud. Bahkan sujudnya sampai ndelosor. Disebut Wu Ti Tou Di. Lima bagian tubuh sujud ke tanah: dua telapak tangan, satu wajah dan dua lutut.
Dengan demikian gerakan sujudnya seperti orang mati telungkup dengan tangan  pasrah. Intinya: manusia harus mau menempatkan diri serendah mungkin di mata Tuhan.
Saya mencoba meniru gerakan sembahyang itu. Di sela-sela mereka yang sembahyang. Ikut saja. Hanya saja saya tidak pakai pakaian sembahyang mereka. Berat sekali. Baru dapat lima rakaat saya menyerah. Nafas termehek-mehek. Juga karena oksigen yang tipis. Dan lutut yang kesakitan. Demikian juga dahi. Membentur lantai. Saya tidak pakai alas. Sedang mereka menggunakan pembalut lutut. Dan sajadah tebal. Saya mempraktekkannya di lantai kayu yang telanjang dan keras.
Bukan baru sekali ini saya melihat sembahyang umat Budha yang gerakannya mirip salat. Di Chengzhou saya juga melihatnya. Dua bulan lalu. Hampir persis salat.
Tidak ada jumlah rakaat tertentu yang harus diselesaikan dalam satu sesi sembahyang. Sekuatnya. Juga tidak ada waktu  tertentu. Memang sebaiknya tiga sesi: pagi, siang, malam. Tapi mereka melakukan kapan saja. Lebih banyak lebih baik.

Dari Amerika Dahlan Iskan sempat “pulang” seminggu ke Kedah dan Qinghai. Lalu balik Amerika. Inilah kisah tiga serinya:

 

Dahlan Iskan di Tibet, Cina.
Dahlan Iskan di Tibet, Cina.

Saya akhirnya ke Gansu dan Qinghai. Dari 34 propinsi di Tiongkok tinggal dua itulah yang belum saya jelajahi. Eh, masih satu lagi: Tibet. Tapi apakah perlu ke sana?
Ke Gansu dan Qinghai ini rasanya sudah sama dengan ke Tibet. Apalagi di Qinghai saya tidak hanya ke Xining,  ibukotanya. Melainkan sampai ke kuil Tibet.  Juga ke danau asin Qinghai Hu. Yang di sepanjang berjam-jam di perjalanan hanya lihat gunung dan gunung. Gunung-gunung yang puncaknya berlapis salju. Saking tingginya: lebih dari 4000 meter. Yang nyambung dengan pegunungan Tibet. Yang nafas terasa sudah agak berat: oksigen tipis. Benar-benar sudah seperti ke Tibet. Hanya kurang tinggi.
Vihara di Qinghai pun Vihara Tibet. Yang jumlahnya tidak kalah banyak. Yang sembahyang di dalamnya juga sama: sama  beratnya. Lebih berat dari gerakan salat dalam Islam. 
Ada lima gerakan di tiap rakaatnya. Ada gerakan tangan yang seperti takbiratul iqram. Dilakukan di awal. Ada yang seperti rukuk. Dan ada yang seperti sujud. Bahkan sujudnya sampai ndelosor. Disebut Wu Ti Tou Di. Lima bagian tubuh sujud ke tanah: dua telapak tangan, satu wajah dan dua lutut.
Dengan demikian gerakan sujudnya seperti orang mati telungkup dengan tangan  pasrah. Intinya: manusia harus mau menempatkan diri serendah mungkin di mata Tuhan.
Saya mencoba meniru gerakan sembahyang itu. Di sela-sela mereka yang sembahyang. Ikut saja. Hanya saja saya tidak pakai pakaian sembahyang mereka. Berat sekali. Baru dapat lima rakaat saya menyerah. Nafas termehek-mehek. Juga karena oksigen yang tipis. Dan lutut yang kesakitan. Demikian juga dahi. Membentur lantai. Saya tidak pakai alas. Sedang mereka menggunakan pembalut lutut. Dan sajadah tebal. Saya mempraktekkannya di lantai kayu yang telanjang dan keras.
Bukan baru sekali ini saya melihat sembahyang umat Budha yang gerakannya mirip salat. Di Chengzhou saya juga melihatnya. Dua bulan lalu. Hampir persis salat.
Tidak ada jumlah rakaat tertentu yang harus diselesaikan dalam satu sesi sembahyang. Sekuatnya. Juga tidak ada waktu  tertentu. Memang sebaiknya tiga sesi: pagi, siang, malam. Tapi mereka melakukan kapan saja. Lebih banyak lebih baik.

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

Terpopuler

Artikel Terbaru

/