26.7 C
Medan
Sunday, June 2, 2024

Kesabaran Sembahyang 2000 Kilometer


Di komplek vihara Qinghai ini banyak patung dewanya. Berbagai macam. Masing-masing ditempatkan di kuil terpisah. Dengan bangunan tersendiri. Di tiap kuil banyak orang sembahyang dengan gerakan seperti itu. Di teras, di emperan, di halaman. Berakaat-rakaat. Kuat sekali.
Begitu besarnya komplek vihara ini sampai panjang jalan melingkar di dalamnya tujuh kilometer. Itu bukan hanya jalan. Juga tempat sembahyang. Sembahyang di atas jalan. Caranya seperti ini: tiap selesai satu rakaat melangkah maju tiga langkah. Berdiri tepat di posisi wajah menempel ke tanah saat sujud tadi. Lalu rebah lagi: sujud mendelosor dengan posisi Wu Ti Tou Di. Berdiri lagi. Maju tiga langkah lagi. Sujud lagi. Begitu seterusnya. Kian lama kian jauh. Mengikuti jalan lingkar. Tujuh kilometer. Sampai tiba kembali di titik awal.
Ini seperti tawaf. Tapi tujuh kilometer. Dan sambil terus bersujud. Saya pernah tawaf di lantai lima masjidil haram. Satu putaran 1 km. Yakni saat tidak kebagian tempat di dekat ka’bah. Berarti tujuh putaran saat itu tujuh kilometer juga. Hanya saja saya tawaf dengan berjalan kaki. Sedang umat Budha ini melingkari vihara tujuh kilometer dengan gerakan sembahyang yang berat. 
Satu putaran di Vihara ini memakan waktu satu hari penuh. Sedang tujuh putaran tawaf saya dulu selesai dalam waktu satu jam. Lebih sedikit.
Saya tertegun mengamati mereka yang sujud menelusuri jalan lingkar itu. Matahari terik. Jam 13.00. Tapi udara dingin. Angin cukup kencang. Kulit bibir mengeras. Udara memang sangat kering. Campur debu. Dari lereng-lereng gunung yang kering. 
Para ahli sembahyang itu punya target rohani: sujud menelusuri jalan sampai ke Tibet. Seperti keinginan orang Islam ke Makkah. 
Saya ingin melihat sendiri perjalanan (baca: persujudan) sejauh 2000 kilometer itu. Tapi telat. Saya hanya bisa lihat foto-foto mereka di perjalanan. Sudah dua bulan lalu mereka berangkat. Satu grup. Ada laki, wanita dan anak-anak. Satu hari mereka bisa menyelesaikan delapan kilometer. Untuk mencapai Tibet masih diperlukan waktu delapan bulan lagi. Berarti akan menghadapi musim salju yang berat.
Sabar. Sabar. Sabar. 
Ahok kelihatannya perlu mencoba.
Dan saya juga.


Di komplek vihara Qinghai ini banyak patung dewanya. Berbagai macam. Masing-masing ditempatkan di kuil terpisah. Dengan bangunan tersendiri. Di tiap kuil banyak orang sembahyang dengan gerakan seperti itu. Di teras, di emperan, di halaman. Berakaat-rakaat. Kuat sekali.
Begitu besarnya komplek vihara ini sampai panjang jalan melingkar di dalamnya tujuh kilometer. Itu bukan hanya jalan. Juga tempat sembahyang. Sembahyang di atas jalan. Caranya seperti ini: tiap selesai satu rakaat melangkah maju tiga langkah. Berdiri tepat di posisi wajah menempel ke tanah saat sujud tadi. Lalu rebah lagi: sujud mendelosor dengan posisi Wu Ti Tou Di. Berdiri lagi. Maju tiga langkah lagi. Sujud lagi. Begitu seterusnya. Kian lama kian jauh. Mengikuti jalan lingkar. Tujuh kilometer. Sampai tiba kembali di titik awal.
Ini seperti tawaf. Tapi tujuh kilometer. Dan sambil terus bersujud. Saya pernah tawaf di lantai lima masjidil haram. Satu putaran 1 km. Yakni saat tidak kebagian tempat di dekat ka’bah. Berarti tujuh putaran saat itu tujuh kilometer juga. Hanya saja saya tawaf dengan berjalan kaki. Sedang umat Budha ini melingkari vihara tujuh kilometer dengan gerakan sembahyang yang berat. 
Satu putaran di Vihara ini memakan waktu satu hari penuh. Sedang tujuh putaran tawaf saya dulu selesai dalam waktu satu jam. Lebih sedikit.
Saya tertegun mengamati mereka yang sujud menelusuri jalan lingkar itu. Matahari terik. Jam 13.00. Tapi udara dingin. Angin cukup kencang. Kulit bibir mengeras. Udara memang sangat kering. Campur debu. Dari lereng-lereng gunung yang kering. 
Para ahli sembahyang itu punya target rohani: sujud menelusuri jalan sampai ke Tibet. Seperti keinginan orang Islam ke Makkah. 
Saya ingin melihat sendiri perjalanan (baca: persujudan) sejauh 2000 kilometer itu. Tapi telat. Saya hanya bisa lihat foto-foto mereka di perjalanan. Sudah dua bulan lalu mereka berangkat. Satu grup. Ada laki, wanita dan anak-anak. Satu hari mereka bisa menyelesaikan delapan kilometer. Untuk mencapai Tibet masih diperlukan waktu delapan bulan lagi. Berarti akan menghadapi musim salju yang berat.
Sabar. Sabar. Sabar. 
Ahok kelihatannya perlu mencoba.
Dan saya juga.

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

Terpopuler

Artikel Terbaru

/