Awalnya Donald Trump seperti mendapat senjata baru: seorang beragama Islam menembaki orang Amerika di sebuah nite club bernama Pulse, di Orlando. Penembakan di Minggu dinihari itu membuat 49 orang tewas. Sangat mengejutkan sekaligus wow: terbesar dalam sejarah Amerika untuk sebuah penembakan yang dilakukan satu orang.
Hanya dalam hitungan jam Trump sudah mengeluarkan pernyataan. Intinya: benar kan?
Dia pun mendukung pernyataannya sendiri: untuk melarang orang Islam datang ke AS. Bahkan capres dari Partai Republik ini langsung menuduh Presiden Obama sengaja membiarkan terorisme. Obama, katanya, bahkan tidak pernah mau menggunakan kata “ekstrimis Islam” selama ini.
Dengan kejadian ini saja, katanya, sudah cukup alasan Obama harus turun.
Kalangan Islam Amerika sendiri tidak kalah kagetnya: baru saja ada angin sejuk dari Muhammad Ali, kok ada kejadian begini lagi.
Tapi Amerika tetap lebih rational. Ketika fakta-fakta baru menunjukkan: ini aksi gila perorangan. Dua senjata yang digunakan dia beli secara resmi. Dia kelahiran Amerika meski bapaknya pelarian dari Afganistan. Dia bekerja di perusahaan sekuriti: mula-mula penjaga penjara, lalu satpam sebuah real estate. Sekolahnya pun di collage jurusan hukum kriminal. Dia suka menghajar istrinya. Hingga sang istri hanya tahan empat bulan untuk kemudian minta cerai.
Dia tidak memiliki hubungan dengan gerakan teroris. Apalagi dari Timur Tengah.
Dia suka marah-marah. Dengan siapa saja mengenai apa saja. Termasuk mengenai negara leluhurnya: Afganistan. Begitulah kesaksian teman sekerjaannya.
Dia, Omar Mateen, 29 tahun, ganteng. Juga macho. Seperti umumnya orang Afganistan. Juga punya sisi lembut dan ramah. Seperti yang dialami seorang penghuni komplek real estate yang dia jaga. Penghuni itu mengalami kesulitan membuka portal dengan kartu otomatisnya. Mateen membantunya dengan sungguh-sungguh.Memang ada kesaksian dia menunjukkan kegembiraan saat tragedi 11/9 di New York. Tapi itu lebih karena sakit hatinya atas serangan AS ke Afganistan.
Ini sampai membuat pengkhotbah di masjid terbesar Memphis Jumat lalu, seperti yang saya dengar sendiri, menegaskan: kita, ummat Islam Amerika, harus menerima dan bersikap inilah Amerika, negeri kita; kita lahir di sini, akan mati di sini, anak-cucu kita akan berkembang di sini; jangan terus berpikir negeri leluhur kita.
Memang, tidak semua orang seperti Trump. Pemilik rumah tempat saya tinggal, juga punya komentar spontan. Lebih spontan dari Trump. Tapi berbeda pandangan. “Mungkin orang ini juga punya kecenderungan gay,” katanya saat melihat breaking news di televisi. Dua jam sebelum Trump berkomentar.
Dia pun menjelaskan aspek kejiwaan mengapa dia punya respons spontan seperti itu. Besoknya ternyata muncul kesaksian baru: istri Mateen membenarkan kecenderungan gay itu. Lalu ada kesaksian lain: Mateen setidaknya 12 kali jadi pengunjung nite club kalangan gay itu. Pernah sampai sangat mabuk.
Nite club Pulse memang sangat populer. Dan besar. Bangunannya bekas gedung surat kabar besar di Orlando.
Pendirinya sudah meninggal karena Aids. Nama Pulse (detak/nadi) diambil terinspirasi dari hilangnya detak jantung si almarhum pendiri.
Muncul lagi fakta dari jurusan lain: seorang anak muda, kulit putih, dari negara bagian di mana saya tinggal, (negara bagian yang paling anti gay) membawa senjata otomatis, memarkir mobil di dekat acara parade kebanggaan kaum gay di Los Angeles, mengaku akan mengacaukan acara itu.
Indiana, negara bagian itu, tahun lalu mengesahkan Perda “toko-toko boleh tidak melayani pembeli gay atau lesbi”.