27.8 C
Medan
Tuesday, May 28, 2024

Pengakuan dari Tangis dalam Pelukan

Hari kedua setelah penembakan di Pulse arus diskusi publik pun berubah arah. Hanya satu hari nama Islam banyak dikaitkan. Hanya di hari pertama. Yakni ketika fakta dan kesaksian tersebut belum terungkap. Memasuki hari kedua justru Trump yang jadi bulan-bulanan. Hillary Clinton dalam pidato khusus menyikapi peristiwa itu menilai Trump bukan jenis warga Amerika seperti yang diinginkan orang Amerika.

Isu pun beralih ke soal upaya pengaturan kepemilikan senjata, ke soal gay dan bahkan ke soal tatanan sosial baru yang harus dibangun.

Ada juga seorang pendeta di gereja di California berkomentar berlebihan: mestinya lebih banyak lagi gay yang harus mati.

Seperti juga di Islam, di Kristen menjadi gay adalah dosa. Injil, juga Quran, mengatakan Tuhan telah menghancurkan negeri yang mempraktikkan gay dan lesbi seperti di zaman nabi Luth (Quran) di kota Sodom dan Gomorah (Injil).Seperti ummat Islam, umumnya orang Kristen juga percaya itu. Hanya kalangan tertentu di Kristen dan Islam yang mengatakan tafsir kitab suci tersebut tidak tepat. Belum lama ini terbit buku yang ditulis seorang pendeta yang menentang tafsir penyebab kehancuran kota Sodom (dari sini mincul istilah sodomi) dan Goromah itu.

Gambaran lain muncul dari seorang remaja Kristen yang rumahnya dekat Pulse. Dia mengaku awalnya sangat membenci gay. Juga sangat membenci nite club itu.

Dia sendiri ternyata tumbuh sebagai remaja yang menyukai laki-laki. Dia pun seperti ajaran agamanya merasa jadi pendosa. Sangat tertekan.

Ketika makin dewasa dia dirayu temannya untuk masuk nite club tersebut. Sejak itulah dia merasa lepas dari tekanan. Nite club tersebut jadi arena pembebasan bagi dirinya.

Dua hari setelah kejadian di Pulse seorang wartawan di Orlando melakukan investigasi. Dia memasuki bar gay yang lain. Ingin meliput bagaimana perasaan para gay atas kejadian di Pulse.

Sang wartawan menyaksikan seorang gay merangkul erat seorang bartender. Sambil menangis. Lama sekali.

Sang wartawan terus membuntutinya saat gay tersebut meninggalkan bar. “Mengapa Anda tadi menangis begitu lama?” tanya sang wartawan. Jawabnya sangat mengejutkan si wartawan.

Dia mengaku sejak remaja sudah menjadi gay. Dia merasa jadi pendosa yang tidak habis-habisnya. Dia sudah berusaha keras untuk tidak menjadi gay. Sampai dia memutuskan memasuki dunia yang sangat laki-laki: jadi tentara.

“Saya baru pulang dari tugas di Afganistan,” katanya.

Kejutannya adalah: dia mengecam tindakan Mateen itu tapi dia memahami betapa tertekannya Mateen.(*)

Hari kedua setelah penembakan di Pulse arus diskusi publik pun berubah arah. Hanya satu hari nama Islam banyak dikaitkan. Hanya di hari pertama. Yakni ketika fakta dan kesaksian tersebut belum terungkap. Memasuki hari kedua justru Trump yang jadi bulan-bulanan. Hillary Clinton dalam pidato khusus menyikapi peristiwa itu menilai Trump bukan jenis warga Amerika seperti yang diinginkan orang Amerika.

Isu pun beralih ke soal upaya pengaturan kepemilikan senjata, ke soal gay dan bahkan ke soal tatanan sosial baru yang harus dibangun.

Ada juga seorang pendeta di gereja di California berkomentar berlebihan: mestinya lebih banyak lagi gay yang harus mati.

Seperti juga di Islam, di Kristen menjadi gay adalah dosa. Injil, juga Quran, mengatakan Tuhan telah menghancurkan negeri yang mempraktikkan gay dan lesbi seperti di zaman nabi Luth (Quran) di kota Sodom dan Gomorah (Injil).Seperti ummat Islam, umumnya orang Kristen juga percaya itu. Hanya kalangan tertentu di Kristen dan Islam yang mengatakan tafsir kitab suci tersebut tidak tepat. Belum lama ini terbit buku yang ditulis seorang pendeta yang menentang tafsir penyebab kehancuran kota Sodom (dari sini mincul istilah sodomi) dan Goromah itu.

Gambaran lain muncul dari seorang remaja Kristen yang rumahnya dekat Pulse. Dia mengaku awalnya sangat membenci gay. Juga sangat membenci nite club itu.

Dia sendiri ternyata tumbuh sebagai remaja yang menyukai laki-laki. Dia pun seperti ajaran agamanya merasa jadi pendosa. Sangat tertekan.

Ketika makin dewasa dia dirayu temannya untuk masuk nite club tersebut. Sejak itulah dia merasa lepas dari tekanan. Nite club tersebut jadi arena pembebasan bagi dirinya.

Dua hari setelah kejadian di Pulse seorang wartawan di Orlando melakukan investigasi. Dia memasuki bar gay yang lain. Ingin meliput bagaimana perasaan para gay atas kejadian di Pulse.

Sang wartawan menyaksikan seorang gay merangkul erat seorang bartender. Sambil menangis. Lama sekali.

Sang wartawan terus membuntutinya saat gay tersebut meninggalkan bar. “Mengapa Anda tadi menangis begitu lama?” tanya sang wartawan. Jawabnya sangat mengejutkan si wartawan.

Dia mengaku sejak remaja sudah menjadi gay. Dia merasa jadi pendosa yang tidak habis-habisnya. Dia sudah berusaha keras untuk tidak menjadi gay. Sampai dia memutuskan memasuki dunia yang sangat laki-laki: jadi tentara.

“Saya baru pulang dari tugas di Afganistan,” katanya.

Kejutannya adalah: dia mengecam tindakan Mateen itu tapi dia memahami betapa tertekannya Mateen.(*)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

Terpopuler

Artikel Terbaru

/