25.6 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Perjuangan agar Dolly Tidak Kembali

Meski awalnya sulit mendapatkan anak yang mau mengaji di situ, mereka justru meningkatkan kedisiplinan. Mereka belajar dari pengalaman: sekolah yang maju adalah yang disiplinnya tinggi. Mereka pun berani menerapkan aturan: murid yang sekian kali tidak masuk tanpa alasan langsung dikeluarkan. Hasilnya justru baik. Saat ini 150 anak belajar mengaji di situ. Sepulang mereka dari sekolah secara bergantian. Setiap kelompok mengaji selama satu jam. Mulai pukul 4 sore sampai pukul 8 malam.

Rabu sore lalu saya ke sana. Melewati jalan-jalan dan gang-gang yang dulu padat dengan toko kelamin. Di beberapa gang masih terdengar dentum musik yang keras. Dari rumah-rumah di kanan-kiri gang yang sempit. Itu pertanda rumah tersebut masih dipergunakan untuk usaha karaoke.

Bangunan sebelah dinding kiri pesantren Dolly ini juga masih mendentumkan musik. Demikian juga bangunan sebelah dinding kanan. Pesantren Dolly ini praktis dijepit oleh dua bangunan karaoke. Mereka bisa bertetangga dengan misi masing-masing.

Menjelang magrib, sirene dari pos penjagaan berbunyi. Itu pertanda semua karaoke harus mematikan musiknya. Selama orang salat magrib. Saya ikut berjamaah di taman pendidikan Alquran itu. Bersama anak-anak usia TK dan SD. Setelah magrib, musik didentamkan lagi dengan kerasnya. Sirene seperti itu sudah ada sejak zaman kejayaan Dolly. Dan masih eksis meski Dolly sudah ditutup.

Saat menelusuri gang-gang sempit dengan penduduk yang padat itu, saya sering diminta mampir ke rumah warga. Salah satunya rumah yang dihuni mucikari yang sudah alih kerja. Setelah tidak mengelola pelacur, dia mengelola taman bacaan untuk anak-anak. Dapat uang pembinaan dari Dinas Perpustakaan Kota Surabaya. Istrinya berjualan sosis goreng yang wajannya berada di pinggir gang.

Saya juga mampir ke rumah Pak Ridwan Tanro yang dulu menjadi salah satu ketua RT. Waktu Dolly masih jaya, Pak RT punya penghasilan besar. Dari setoran pengusaha kelamin. Dan dari usaha sampingannya: dagang cairan pembersih lantai. Sebagai ketua RT, dia bisa memasarkan pembersih lantai buatannya sendiri dengan mudah: ke rumah-rumah bordil di wilayah RT-nya. Pakai teknik pemasaran injek kaki? Dia hanya tersenyum.

Setelah Dolly ditutup, Ridwan punya bisnis menarik: industri pembuatan meja biliar. Sore itu saat ke rumahnya, saya melihat kesibukan yang tinggi. Tujuh karyawannya sibuk menyelesaikan beberapa meja biliar. Ridwan tidak pernah kekurangan pesanan. Termasuk dari luar negeri. Di situ saya baru tahu: lantai meja biliar itu ternyata terbuat dari marmer.

Dulu Ridwan pernah bekerja sebagai buruh pabrik industri meja biliar. Setelah Dolly ditutup, dia justru jadi juragan industri rumahan meja biliar. Ridwan ini termasuk manusia unik. Sukunya Makassar. Belajarnya justru di sekolah karawitan Jawa. Di SMKI. Lalu jadi buruh. Lalu jadi pemungut setoran merangkap injek kaki. Kini jadi juragan. Merangkap guru karawitan. Dia sudah mau untuk sesekali mengajar karawitan di rumah saya. Saya memang lagi membangun gasebo. Untuk gamelan pelok slendro yang sudah lama kurang terurus.

Gang Dolly, kata para pedagang di sana, kini tidak lagi ramai dan tidak sibuk dan tidak bising dan tidak riuh seperti dulu. Masih perlu banyak inisiatif. Agar Dolly tidak kembali. (*)

Meski awalnya sulit mendapatkan anak yang mau mengaji di situ, mereka justru meningkatkan kedisiplinan. Mereka belajar dari pengalaman: sekolah yang maju adalah yang disiplinnya tinggi. Mereka pun berani menerapkan aturan: murid yang sekian kali tidak masuk tanpa alasan langsung dikeluarkan. Hasilnya justru baik. Saat ini 150 anak belajar mengaji di situ. Sepulang mereka dari sekolah secara bergantian. Setiap kelompok mengaji selama satu jam. Mulai pukul 4 sore sampai pukul 8 malam.

Rabu sore lalu saya ke sana. Melewati jalan-jalan dan gang-gang yang dulu padat dengan toko kelamin. Di beberapa gang masih terdengar dentum musik yang keras. Dari rumah-rumah di kanan-kiri gang yang sempit. Itu pertanda rumah tersebut masih dipergunakan untuk usaha karaoke.

Bangunan sebelah dinding kiri pesantren Dolly ini juga masih mendentumkan musik. Demikian juga bangunan sebelah dinding kanan. Pesantren Dolly ini praktis dijepit oleh dua bangunan karaoke. Mereka bisa bertetangga dengan misi masing-masing.

Menjelang magrib, sirene dari pos penjagaan berbunyi. Itu pertanda semua karaoke harus mematikan musiknya. Selama orang salat magrib. Saya ikut berjamaah di taman pendidikan Alquran itu. Bersama anak-anak usia TK dan SD. Setelah magrib, musik didentamkan lagi dengan kerasnya. Sirene seperti itu sudah ada sejak zaman kejayaan Dolly. Dan masih eksis meski Dolly sudah ditutup.

Saat menelusuri gang-gang sempit dengan penduduk yang padat itu, saya sering diminta mampir ke rumah warga. Salah satunya rumah yang dihuni mucikari yang sudah alih kerja. Setelah tidak mengelola pelacur, dia mengelola taman bacaan untuk anak-anak. Dapat uang pembinaan dari Dinas Perpustakaan Kota Surabaya. Istrinya berjualan sosis goreng yang wajannya berada di pinggir gang.

Saya juga mampir ke rumah Pak Ridwan Tanro yang dulu menjadi salah satu ketua RT. Waktu Dolly masih jaya, Pak RT punya penghasilan besar. Dari setoran pengusaha kelamin. Dan dari usaha sampingannya: dagang cairan pembersih lantai. Sebagai ketua RT, dia bisa memasarkan pembersih lantai buatannya sendiri dengan mudah: ke rumah-rumah bordil di wilayah RT-nya. Pakai teknik pemasaran injek kaki? Dia hanya tersenyum.

Setelah Dolly ditutup, Ridwan punya bisnis menarik: industri pembuatan meja biliar. Sore itu saat ke rumahnya, saya melihat kesibukan yang tinggi. Tujuh karyawannya sibuk menyelesaikan beberapa meja biliar. Ridwan tidak pernah kekurangan pesanan. Termasuk dari luar negeri. Di situ saya baru tahu: lantai meja biliar itu ternyata terbuat dari marmer.

Dulu Ridwan pernah bekerja sebagai buruh pabrik industri meja biliar. Setelah Dolly ditutup, dia justru jadi juragan industri rumahan meja biliar. Ridwan ini termasuk manusia unik. Sukunya Makassar. Belajarnya justru di sekolah karawitan Jawa. Di SMKI. Lalu jadi buruh. Lalu jadi pemungut setoran merangkap injek kaki. Kini jadi juragan. Merangkap guru karawitan. Dia sudah mau untuk sesekali mengajar karawitan di rumah saya. Saya memang lagi membangun gasebo. Untuk gamelan pelok slendro yang sudah lama kurang terurus.

Gang Dolly, kata para pedagang di sana, kini tidak lagi ramai dan tidak sibuk dan tidak bising dan tidak riuh seperti dulu. Masih perlu banyak inisiatif. Agar Dolly tidak kembali. (*)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

Terpopuler

Artikel Terbaru

/