Pucuk tumpeng nasi kuning dipotong oleh Pak Airlangga Hartarto, ketua Komisi VI DPR. Saya, yang menerima potongan tumpeng, tidak mengira hari itu ada tumpengan. Itulah acara yang menandai berakhirnya sidang-sidang antara Komisi VI DPR periode 2009-2014 dan menteri BUMN.
“Di lantai 19 ada jumatan yang khotbahnya pendek, Pak,” ujar Airlangga saat melihat saya ingin kesusu pamit. Saya pun kembali meraih piring untuk ambil sup buntut. Ternyata benar. Khotbah itu amat pendek. Saking senangnya, hari itu saya turun dari lantai 19 lewat tangga. Lalu pulang dari DPR naik taksi karena sopir masih akan lama menyelesaikan jumatan di masjid bawah.
Sidang terakhir di komisi VI Jumat pagi lalu juga amat singkat. Acaranya pun hanya dua: pengesahan rencana anggaran 2015 dan pembacaan hasil Panitia Kerja Aset BUMN oleh ketuanya yang bersuara menggelegar, Azam Azman Natawijaya.
Tidak ada tanya jawab. Diganti pesan dan kesan. Baik oleh saya maupun anggota komisi VI.
Harus diakui, selama lebih dari 2,5 tahun menjadi menteri BUMN, saya memperoleh banyak pelajaran dari interaksi dengan Komisi VI DPR. Terutama bagaimana harus memahami dunia politisi dan realitas politik. Misalnya bagaimana saya harus mundur satu langkah ketika DPR mengancam akan menginterpelasi kebijakan saya.
Bukan karena saya takut diinterpelasi, tapi karena saya tidak ingin menyusahkan atasan saya. Yang diinterpelasi adalah presiden. Toh, bagi saya, kebijakan yang harus dicabut itu bukan sesuatu yang amat prinsip. Realitas politik adalah take and give. Sesekali.
Di sidang terakhir itu saya juga minta maaf karena pernah membuat suasana hubungan kami kurang enak. Tapi, itu demi menjaga keselamatan bersama: saya, teman-teman DPR, dan teman-teman BUMN. Kini insya Allah kami (saya dan teman-teman komisi VI) bisa mengakhiri tugas dan hubungan tersebut dengan husnul khatimah tanpa merasa, misalnya, dikejar-kejar KPK.
“Sayangnya, pelajaran-pelajaran itu baru saya peroleh ketika saya sudah tua. Ketika umur saya sudah 63 tahun,” kata saya. “Beruntunglah bagi yang muda-muda, seperti para deputi saya dan ketua komisi VI ini,” kata saya lagi. “Karir masih sangat panjang.”
Suasana husnul khatimah juga terasa di kesan dan pesan dari beberapa anggota komisi VI. Mulai Bu Ida Ria, Kang Arif Minardi, Mas Aria Bima, Pak Marzuki Daud, dan lain-lain. Saya merasa cukup tersanjung.
Kepada yang terpilih lagi seperti Pak Airlangga, Pak Azam, dan Pak Afrizal, saya ucapkan selamat. Semoga hubungan dengan menteri BUMN yang akan datang bisa lebih produktif. Kepada yang tidak terpilih lagi, saya ucapkan semoga tetap bisa bertemu, misalnya di Surabaya, kampung saya.
Saya sendiri meskipun nanti pulang ke Surabaya tidak akan kembali memimpin Jawa Pos Group. Saya sudah tertinggal jauh. Sudah delapan tahun pensiun dari Jawa Pos. Jadi komisaris pun tidak. Hanya jadi pemegang saham. Selama saya tinggalkan, grup itu toh berkembang lebih pesat. Di tangan generasi baru, Jawa Pos lebih dinamis.
Dan lagi, bukankah sejak sembuh dari kanker hati delapan tahun lalu saya sudah bertekad untuk tidak mau lagi cari uang. Maka, saya pun tidak mungkin lagi kembali mengurus perusahaan. Pun setiap ada teman yang mengajak berbisnis, saya selalu menolak.
Kalau bulan depan saya tidak jadi menteri lagi, saya akan memfokuskan diri pada satu jenis kerja sosial yang belum ditangani siapa pun: melistriki daerah-daerah terpencil, pulau-pulau terpencil, dan pedalaman-pedalaman terpencil. Tentu dengan kriteria khusus: daerah itu kira-kira sepuluh tahun lagi pun belum akan mendapat listrik. Untuk daerah-daerah yang belum berlistrik tapi diperkirakan segera dapat listrik, tidak kami masuki.
Kegiatan sosial itu saya sebut sosiopreneur. Sosiopreneur Demi Indonesia (SDI): sebuah kegiatan sosial yang dikelola secara entrepreneur. Meski kegiatan sosial, harus berlaba. Hanya, labanya tidak boleh diambil. Harus untuk program serupa berikutnya. SDI tidak menangani, misalnya, membagi sembako atau menyelenggarakan khitanan masal. Sudah banyak lembaga sosial lain yang melakukan itu.
Persiapannya pun sudah matang. Sudah satu bulan ini SDI mendidik 30 anak muda untuk menjadi pimpinan di 30 pelosok yang belum berlistrik. Itulah 30 daerah yang kami pilih untuk tahap pertama. Mereka kami didik sampai bagaimana menanam bahan baku. Sistem listrik itu nanti memang biomass: menggunakan bahan bakar pohon kaliandra merah (Calliandra calothyrsus).
Mengapa kaliandra merah?
Ada tujuh alasan sekaligus. Pertama, kaliandra adalah tanaman energi. Kalau dibakar, terkandung energi 4.000 kalori. Sudah mirip batu bara. Kedua, mudah tumbuh, termasuk di daerah marginal sekalipun. Tidak bisa tumbuh hanya di rawa-rawa. Ketiga, umur satu tahun sudah bisa ditebang. Rakyat bisa cepat dapat uang. Keempat, setelah ditebang, tidak perlu tanam baru. Trubus sendiri. Tiap tahun bisa ditebang lagi. Tumbuh lagi. Terus-menerus.
Kelima, akar kaliandra yang berbintil-bintil mengandung nitrogen sehingga menyuburkan tanah. Keenam, hutan kaliandra tidak mudah terbakar karena daun yang gugur cepat sekali menyatu dengan tanah. Ketujuh, bunga kaliandra merah, yang indah itu, sangat disenangi lebah. Rakyat bisa beternak lebah. Khasiat madu kaliandra amat baik.
Bunga kaliandra juga sering disebut rambut malaikat karena halusnya.
Untuk permulaan, SDI-lah yang akan menanam. Tapi, kelak rakyat setempat yang menanam untuk menambah penghasilan. Rakyat yang mengeluarkan uang untuk membayar listrik akan mendapat uang dari penjualan bahan baku listrik.
Singkatnya: SDI menjual listrik kepada rakyat. Rakyat menjual kaliandra ke SDI. Beda dengan yang berlaku sekarang: Rakyat membayar listrik, uangnya dipakai untuk membeli bahan baku dari negara lain atau perusahaan batu bara. Perusahaan batu bara mendapat batu bara dari negara. Negara dapat kekuasaan dari rakyat.
ertanyaannya: Mengapa saya tidak membuat program kaliandra saat jadi Dirut PLN atau menjabat menteri BUMN?
Jawabannya agak memalukan: Saya baru tahu tentang pohon kaliandra ini enam bulan lalu. Kian saya pelajari, kian menarik. Tapi, waktu juga kian mepet. Tinggal setengah bulan lagi menjabat menteri BUMN, tentu tidak cukup untuk mengawal sendiri program itu sampai sukses. Kalau tidak dikawal dan kalau ternyata gagal, bisa dikira konsepnya yang salah.
Bahkan, baru bulan lalu saya berhasil bertemu ahli kaliandra dari Institut Pertanian Bogor (IPB) seperti Dr Andi Sukendro. Beliau yang mengajak saya melihat tanaman kaliandra milik Perhutani di Bandung Selatan minggu lalu. Dr Andi membenarkan semua keterangan tentang kaliandra.
Di Bandung Selatan kaliandra hanya difungsikan untuk penghijauan lahan kritis yang terjal.
Telat mengetahui pohon asal Meksiko itu tidak membuat saya menyerah. Belajar memang harus dilakukan terus meski sudah tua sekalipun. Kian saya dalami, kian menarik saja si kaliandra. Saya tidak mungkin tidak tergoda olehnya. Karena itu, action langsung saya siapkan. Jadi menteri atau tidak jadi menteri. Tidak ada pengaruhnya.
Izinkan saya melangkah dengan kaliandra. Semoga, kelak, semua perizinan dari pemerintah bisa lancar. Kalau tidak, saya akan mengadu ke komisi VI. (*)