Masyarakat di kaki Gunung Sibayak, tepatnya di Kecamatan Gundaling 1, Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, kini selalu rajin mengumpulkan dan memilah sampah. Mulai dari anak-anak sekolah hingga para manula, semua bersemangat untuk tidak membuang sampah sembarangan. Apa gerangan yang mengubah prilaku mereka?
Saat ini, botol plastik merek Aqua yang bahannya 100 persen hasil daur ulang botol plastik, sudah beredar di pasaran. Kemasannya 1,1 liter. Namun harganya lebih mahal dibanding harga botol yang bukan daur ulang. Kok gitu? Trus… air minum di kemasan daur ulang itu aman tidak bagi konsumen?
Plastik sebaiknya diperangi? Oh no… jangan. Pemanfaatan bahan baku plastik sebagai kemasan bebragai produk begitu besar, dan saat ini belum tergantikan oleh bahan baku lain. “Yang benar adalah mengelolanya sedemikian rupa, agar sampah plastik bisa didaur ulang,” kata Jefri Ricardo. Dan masyarakat juga semakin terdidik untuk sadar memilah sampah sejak dari rumah.
Jerman disebut sebagai negara dengan pengelolaan sampah terbaik di dunia saat ini. Di sana, sampah sudah dipilah sejak awal oleh konsumen. Di negeri kita, harus diakui, pemilahan sampah belum se-green beberapa negara. Sampah kita masih campur baur. Alhasil, untuk mendaur ulang sampah-sampah tersebut, proses sortirnya agak ‘capek dan kotor’. Tak hanya itu, sampah-sampah yang bisa didaur ulang itu pun cenderung beresidu.
Data 2020, Indonesia adalah negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia, setelah Tiongkok. Indonesia menghasilkan 6,8 juta ton sampah plastik. Dari jumlah itu, 9%-nya atau sekitar 620 ribu ton masuk ke sungai, danau, dan laut. Tak ingin kondisi ini terus berlanjut, Danone Ecosystem, Danone-AQUA, Veolia, dan YPCII menginisiasi program pengelolaan sampah. Tujuannya, meningkatkan daur ulang sampah plastik di Indonesia.