25.6 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Dahulu Kerapatan Sultan Deli, Kini Tinggal Kenangan

Sebuah lahan kosong yang cukup luas di Jalan Brigjen Katamso ternyata menyimpan sejarah panjang. Di lahan itu dulunya berdiri bangunan Kerapatan Sultan Deli. Bahkan, setelah itu sempat berdiri bangunan kantor Bupati Deliserdang. Tapi kini, bangunan sejarah itu sudah hilang. Yang tersisa hanya sebuah lahan kosong.

ISTANA MAIMUN: Bangunan Istana Maimun  Jalan Brigjen Katamso Medan merupakan milik Kerajaan Sultan Deli. //FILE/SUMUT POS
ISTANA MAIMUN: Bangunan Istana Maimun di Jalan Brigjen Katamso Medan merupakan milik Kerajaan Sultan Deli. //FILE/SUMUT POS

Di lahan kosong terlihat tumpukan batu-batu kecil dan pecahan dinding tembok semen berserakan, menunjukan ada sebuah bangunan yang pernah diratakan dengan alat berat. Lahan kosong itu bersebelahan dengan kantor Badan Pertahanan Nasional RI, Kantor Wilayah Provinsi Sumatera.

Berdasarkan catatat sejarah, sebelum Ibu kota Kabupaten Deli Serdang dipindahkan ke Lubuk Pakam, Kota Medan merupakan Ibukota Kabupaten Deli Serdang. Kantor Bupati Deli Serdang menempati Gedung Kerapatan yang berfungsi sebagai ruang kerja Sultan dan juga sebagai lembaga peradilan bagi orang-orang yang masa tidak tunduk kepada hukum kolonial Belanda.

Gedung ini dibangun pada masa kekuasaan Sultan Ma’mun Al Rasyid Alamsyah pada tahun 1906. Gedung Balai Kerapatan terletak didepan Istana Maimun, tepatnya sekarang di Jalan Brigjen Katamso, namun gedung ini sudah rata dengan tanah pada tahun 2004.

Sedangkan berdasarkan cerita Yahya, Kepala Lingkungan VIII, Kelurahan Aur Medan Maimun, lahan kosong itu merupakan lahan yang dulunya berdiri bangunan sejarah. “Lahan kosong itu sudah dibeli pihak swasta. Mungkin lahan itu sudah dijual oleh keluarga kesultanan pada saat itu,” ujarnya.

Dia mengaku, ada tiga pembeli lahan kosong itu, yakni Erlin Sani Lau, Lippo Bank dan Bank Central Dagang. “Saya kurang tahu kapan dijual,” ujarnya.

Yahya bilang, luas tanah itu panjangnya 120 meter dan  lebarnya 47 meter. “Saya berharap lahan itu bisa dibeli pemerintah setempat karena memiliki nilai sejarah,” harapannya.

Sedangkan Kepling II Pantai Burung Kelurahaan Aur, Bustamam Pohan mengatakan, ia tidak tahu kapan terjadi jual-beli lahan itu. Namun ia memastikan lahan itu awalnya milik Sultan Deli.

Nah, menurut kajian Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (Pusis Unimed) Phil Ichwan Azhari, dalam buku sejarah Medan Tempoe Doeloe oleh Tengku Luckman Sinar, memang saat itu ada sebuah bangunan di lahan kosong itu yang diberi nama Kerapatan Deli. “Tepat pada hari Senin 5 Mei 1913 silam pukul 08.00 WIB di pindahkanlah Mahkama Kerapatan Kerajaan Deli yang didirikan oleh Landschap (kerajaan) Deli dari lokasi itu, tapi gak tahu pindah ke mana,” ujarnya.

Pada masa pemerintahan saat itu yang diserahkan oleh tanah kerajaan Deli untuk menjadi “GEMEETE” (Kota Praja)
Medan berdasarkan akte notaris 30 November 1918 no.97 dengan Wali Kota Medan pertama, Daniel Baron Mackay.
“Struktur konstruksi bangunan sejarah itu mempunyai dua tembok tinggi dengan lantai cor beton, atap dari kayu dan mempunyai kolam berenang dengan ketinggian bangunan berlataikan dua,” tambahnya.

“Tapi saya kurang tahu alasannya kenapa kantor Deli Serdang ada di tempat itu dan kapan sudah tidak dipergunakan lagi. Yang  pasti mungkin ada kedekatannya dengan Istana Maimun atau kerajaan Deli di Medan,” terangnya.

Ia mengatakan, bangunan ini sebagai situs sejarah yang penting karena sebagai saksi sejarah Kerajaan Deli. Walaupun sudah hancur, kata Ichwan, tempat itu bisa dibangun sebagai bangunan sejarah. “Misalkan saja bangunan-bangunan sejarah di Eropa saat perang dulu hancur karena kena ledakan bom atau penghancuran lainnya. Tapi kemudian bisa dibangun sebagai bangunan sejarah yang seperti di Eropa tersebut,” ucapnya.

Menurut Ichwan, jika lahan itu sudah dibeli pihak swasta, sebaiknya Pemko Medan mau membelinya kembali untuk menyelamatkan bangunan sejarah. “Pemko Medan tidak boleh memberikanIzin Membangun Bagunan di tempat lahan kosong yang bersejarah itu.  Sebab, tindakan itu sebagai penyelamatan cagar budaya Kota Medan. Ada sekitar 20-an bangunan sejrah yang suda hilang, termasuk papengger (prasasti) atau situs sejarah,” ungkapnya. (*)

Sebuah lahan kosong yang cukup luas di Jalan Brigjen Katamso ternyata menyimpan sejarah panjang. Di lahan itu dulunya berdiri bangunan Kerapatan Sultan Deli. Bahkan, setelah itu sempat berdiri bangunan kantor Bupati Deliserdang. Tapi kini, bangunan sejarah itu sudah hilang. Yang tersisa hanya sebuah lahan kosong.

ISTANA MAIMUN: Bangunan Istana Maimun  Jalan Brigjen Katamso Medan merupakan milik Kerajaan Sultan Deli. //FILE/SUMUT POS
ISTANA MAIMUN: Bangunan Istana Maimun di Jalan Brigjen Katamso Medan merupakan milik Kerajaan Sultan Deli. //FILE/SUMUT POS

Di lahan kosong terlihat tumpukan batu-batu kecil dan pecahan dinding tembok semen berserakan, menunjukan ada sebuah bangunan yang pernah diratakan dengan alat berat. Lahan kosong itu bersebelahan dengan kantor Badan Pertahanan Nasional RI, Kantor Wilayah Provinsi Sumatera.

Berdasarkan catatat sejarah, sebelum Ibu kota Kabupaten Deli Serdang dipindahkan ke Lubuk Pakam, Kota Medan merupakan Ibukota Kabupaten Deli Serdang. Kantor Bupati Deli Serdang menempati Gedung Kerapatan yang berfungsi sebagai ruang kerja Sultan dan juga sebagai lembaga peradilan bagi orang-orang yang masa tidak tunduk kepada hukum kolonial Belanda.

Gedung ini dibangun pada masa kekuasaan Sultan Ma’mun Al Rasyid Alamsyah pada tahun 1906. Gedung Balai Kerapatan terletak didepan Istana Maimun, tepatnya sekarang di Jalan Brigjen Katamso, namun gedung ini sudah rata dengan tanah pada tahun 2004.

Sedangkan berdasarkan cerita Yahya, Kepala Lingkungan VIII, Kelurahan Aur Medan Maimun, lahan kosong itu merupakan lahan yang dulunya berdiri bangunan sejarah. “Lahan kosong itu sudah dibeli pihak swasta. Mungkin lahan itu sudah dijual oleh keluarga kesultanan pada saat itu,” ujarnya.

Dia mengaku, ada tiga pembeli lahan kosong itu, yakni Erlin Sani Lau, Lippo Bank dan Bank Central Dagang. “Saya kurang tahu kapan dijual,” ujarnya.

Yahya bilang, luas tanah itu panjangnya 120 meter dan  lebarnya 47 meter. “Saya berharap lahan itu bisa dibeli pemerintah setempat karena memiliki nilai sejarah,” harapannya.

Sedangkan Kepling II Pantai Burung Kelurahaan Aur, Bustamam Pohan mengatakan, ia tidak tahu kapan terjadi jual-beli lahan itu. Namun ia memastikan lahan itu awalnya milik Sultan Deli.

Nah, menurut kajian Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (Pusis Unimed) Phil Ichwan Azhari, dalam buku sejarah Medan Tempoe Doeloe oleh Tengku Luckman Sinar, memang saat itu ada sebuah bangunan di lahan kosong itu yang diberi nama Kerapatan Deli. “Tepat pada hari Senin 5 Mei 1913 silam pukul 08.00 WIB di pindahkanlah Mahkama Kerapatan Kerajaan Deli yang didirikan oleh Landschap (kerajaan) Deli dari lokasi itu, tapi gak tahu pindah ke mana,” ujarnya.

Pada masa pemerintahan saat itu yang diserahkan oleh tanah kerajaan Deli untuk menjadi “GEMEETE” (Kota Praja)
Medan berdasarkan akte notaris 30 November 1918 no.97 dengan Wali Kota Medan pertama, Daniel Baron Mackay.
“Struktur konstruksi bangunan sejarah itu mempunyai dua tembok tinggi dengan lantai cor beton, atap dari kayu dan mempunyai kolam berenang dengan ketinggian bangunan berlataikan dua,” tambahnya.

“Tapi saya kurang tahu alasannya kenapa kantor Deli Serdang ada di tempat itu dan kapan sudah tidak dipergunakan lagi. Yang  pasti mungkin ada kedekatannya dengan Istana Maimun atau kerajaan Deli di Medan,” terangnya.

Ia mengatakan, bangunan ini sebagai situs sejarah yang penting karena sebagai saksi sejarah Kerajaan Deli. Walaupun sudah hancur, kata Ichwan, tempat itu bisa dibangun sebagai bangunan sejarah. “Misalkan saja bangunan-bangunan sejarah di Eropa saat perang dulu hancur karena kena ledakan bom atau penghancuran lainnya. Tapi kemudian bisa dibangun sebagai bangunan sejarah yang seperti di Eropa tersebut,” ucapnya.

Menurut Ichwan, jika lahan itu sudah dibeli pihak swasta, sebaiknya Pemko Medan mau membelinya kembali untuk menyelamatkan bangunan sejarah. “Pemko Medan tidak boleh memberikanIzin Membangun Bagunan di tempat lahan kosong yang bersejarah itu.  Sebab, tindakan itu sebagai penyelamatan cagar budaya Kota Medan. Ada sekitar 20-an bangunan sejrah yang suda hilang, termasuk papengger (prasasti) atau situs sejarah,” ungkapnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/