30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Tanpa Mistis, Andalkan Kekuatan Pembarong

Eksistensi Reog Ponorogo di Medan

Sekalipun bentuknya menyeramkan, tak membuat anak-anak takut. Justru sorak gembira mereka mengiringi arak-arakan Reog Ponorogo di Pasar V Sembada Medan, Minggu (12/6).

Yudi, bocah berusia 6 tahun, terlihat begitu antusias berjalan mengiringi barisan Reog Ponorogo tersebut. Tak bosan dia melihat ke arah Dadak Merak, yakni sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai bulu burung merak setinggi dua meter. Berayun seiring dengan gerak pembarong (pemain reog, Red) “Lucu, kepalanya besar kali,” kagum Yudi.

Yudi tidak sendiri, masih banyak teman sebayanya yang turut dalam iringan menuju halaman di mana telah berdiri tenda dan deretan tempat duduk bagi para undangan khitanan rasul yang dilaksanakan seorang warga sekitar. Begitu juga ketika Dadak Merak tadi dibuka dan diletakkan di tanah, mereka berkerumun mengelilingi topeng, dengan ekspresi kekaguman.

Musik keyboard yang mengiringi dua biduan di atas panggung pun disambut sepi. Pancaran mata yang tak lekang dari topeng itu seolah tak sabar menunggu sang reog kembali beraksi. Hingga selompret yang menyuarakan nada slendro dan pelog diikuti tabuhan dari instrumen seperti gendang besar, gendang kecil, kenong, gong, dan angklung memunculkan atmosfir mistis, unik, eksotis serta membangkitkan semangat.

Diawali penampilan ronggeng, dua orang penari wanita yang menunggang kuda anyaman dilanjutkan dengan penampilan ganongan dan ditutup dengan penampilan topeng reog. Dagelan atau celoteh di sela-sela penampilan kian menghangatkan suasana yang ada. “Itu hanya kreatiftias pemain untuk membuat hiburan bagi penonton,” ucap pimpinan sanggar Pasar Gunung, Katirun (53) kepada wartawan Sumut Pos.

Menurut Katirun yang juga guru di sanggar Pasar Gunung, Kecamatan Cangang, Kabupaten Langkat ini, kesenian Reog Ponorogo yang digelar tidak menggunakan kekuatan-kekuatan mistis seperti kesenian tradisional Kuda Kepang. Melainkan mengandalkan pada kekuatan pembarong dalam mengangkat ‘Dadak Merak’ seberat 70 kilogram. Kususnya pada kekuatan gigi.

Meskipun begitu, sebelum memulai penampilan, Katirun terlebih dahulu menggelar ritual berupa pembakaran kemenyan, penaburan bunga, kopi, cendol (dawet). Semua itu dilakukan untuk menghormati dan izin dari para danyang atau mahluk halus yang diyakini penunggu dimana lokasi pertunjukan berada. “Di Pasar V ini penunggunya cewek. Kita permisi biar tidak diganggu, tapi permainan murni dengan tenaga dalam. Tidak ada kerasukannya,” tegas Katirun.

Untuk itu, lanjutnya para pemain Reog Ponorogo harus menjalani pelatihan sejak usia dini. Pada umumnya pelatihan sudah dimulai di usia 10 tahun dengan mempelajari tiga tarian dasar yaitu tari cadilan, pucang ganong, dan tari reog sendiri. Hanya dengan keseriusan dan pantang menyerah seorang bisa menjadi pembarong yang baik. Seorang pembarong haruslah memiliki kekuatan rahang yang baik, untuk menahan beban Dadak Merak dengan gigitannya.

Menurut Koordinator Perkumpulan Masyarakat Ponorogo Padang Bulan Medan Supardi (48), Reog Ponorogo merupakan ciri khas seni budaya Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Dengan legenda yang terkandung di dalamnya, Reog Ponorogo ini pun kerap ditampilkan pada beberapa kegiatan masyarakat pemiliknya. Seperti hajatan kithanan, pernikahan, mau pun acara-acara resmi dari pemerintah maupun swasta.

Di Sumut sendiri Reog Ponorogo sudah hadir sekitar 1950-an yang dibawa oleh perantau asal Ponorogo yang tersebar di perkebunan-perkebunan. Sejak itu pewarisan pun dilakukan terus menerus pada sanggar Reog Ponorogo Pasar Gunung pimpinan Katirun. “Sementara ini semua perlengkapan untuk Reog ini didatangkan dari Ponorogo seperti bulu merak dan bambu lunak penyanggah Dedak Merak. Untuk melestarikan budaya ini, kita mewajibkan setiap warga asal Ponorogo menampilkan kesenian ini di setiap hajatan yang digelar,” beber Supardi.

Supardi yang merupakan generasi IV yang membawa Reog Ponorogo ke Sumut, Reog Ponorogo mengandung legenda yang dating dari beberapa versi. Meskipun begitu seiring perkembangannya, Reog dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran komunikasi yang efektif bagi penyebaran agama Islam di Ponorogo. (*)

Eksistensi Reog Ponorogo di Medan

Sekalipun bentuknya menyeramkan, tak membuat anak-anak takut. Justru sorak gembira mereka mengiringi arak-arakan Reog Ponorogo di Pasar V Sembada Medan, Minggu (12/6).

Yudi, bocah berusia 6 tahun, terlihat begitu antusias berjalan mengiringi barisan Reog Ponorogo tersebut. Tak bosan dia melihat ke arah Dadak Merak, yakni sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai bulu burung merak setinggi dua meter. Berayun seiring dengan gerak pembarong (pemain reog, Red) “Lucu, kepalanya besar kali,” kagum Yudi.

Yudi tidak sendiri, masih banyak teman sebayanya yang turut dalam iringan menuju halaman di mana telah berdiri tenda dan deretan tempat duduk bagi para undangan khitanan rasul yang dilaksanakan seorang warga sekitar. Begitu juga ketika Dadak Merak tadi dibuka dan diletakkan di tanah, mereka berkerumun mengelilingi topeng, dengan ekspresi kekaguman.

Musik keyboard yang mengiringi dua biduan di atas panggung pun disambut sepi. Pancaran mata yang tak lekang dari topeng itu seolah tak sabar menunggu sang reog kembali beraksi. Hingga selompret yang menyuarakan nada slendro dan pelog diikuti tabuhan dari instrumen seperti gendang besar, gendang kecil, kenong, gong, dan angklung memunculkan atmosfir mistis, unik, eksotis serta membangkitkan semangat.

Diawali penampilan ronggeng, dua orang penari wanita yang menunggang kuda anyaman dilanjutkan dengan penampilan ganongan dan ditutup dengan penampilan topeng reog. Dagelan atau celoteh di sela-sela penampilan kian menghangatkan suasana yang ada. “Itu hanya kreatiftias pemain untuk membuat hiburan bagi penonton,” ucap pimpinan sanggar Pasar Gunung, Katirun (53) kepada wartawan Sumut Pos.

Menurut Katirun yang juga guru di sanggar Pasar Gunung, Kecamatan Cangang, Kabupaten Langkat ini, kesenian Reog Ponorogo yang digelar tidak menggunakan kekuatan-kekuatan mistis seperti kesenian tradisional Kuda Kepang. Melainkan mengandalkan pada kekuatan pembarong dalam mengangkat ‘Dadak Merak’ seberat 70 kilogram. Kususnya pada kekuatan gigi.

Meskipun begitu, sebelum memulai penampilan, Katirun terlebih dahulu menggelar ritual berupa pembakaran kemenyan, penaburan bunga, kopi, cendol (dawet). Semua itu dilakukan untuk menghormati dan izin dari para danyang atau mahluk halus yang diyakini penunggu dimana lokasi pertunjukan berada. “Di Pasar V ini penunggunya cewek. Kita permisi biar tidak diganggu, tapi permainan murni dengan tenaga dalam. Tidak ada kerasukannya,” tegas Katirun.

Untuk itu, lanjutnya para pemain Reog Ponorogo harus menjalani pelatihan sejak usia dini. Pada umumnya pelatihan sudah dimulai di usia 10 tahun dengan mempelajari tiga tarian dasar yaitu tari cadilan, pucang ganong, dan tari reog sendiri. Hanya dengan keseriusan dan pantang menyerah seorang bisa menjadi pembarong yang baik. Seorang pembarong haruslah memiliki kekuatan rahang yang baik, untuk menahan beban Dadak Merak dengan gigitannya.

Menurut Koordinator Perkumpulan Masyarakat Ponorogo Padang Bulan Medan Supardi (48), Reog Ponorogo merupakan ciri khas seni budaya Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Dengan legenda yang terkandung di dalamnya, Reog Ponorogo ini pun kerap ditampilkan pada beberapa kegiatan masyarakat pemiliknya. Seperti hajatan kithanan, pernikahan, mau pun acara-acara resmi dari pemerintah maupun swasta.

Di Sumut sendiri Reog Ponorogo sudah hadir sekitar 1950-an yang dibawa oleh perantau asal Ponorogo yang tersebar di perkebunan-perkebunan. Sejak itu pewarisan pun dilakukan terus menerus pada sanggar Reog Ponorogo Pasar Gunung pimpinan Katirun. “Sementara ini semua perlengkapan untuk Reog ini didatangkan dari Ponorogo seperti bulu merak dan bambu lunak penyanggah Dedak Merak. Untuk melestarikan budaya ini, kita mewajibkan setiap warga asal Ponorogo menampilkan kesenian ini di setiap hajatan yang digelar,” beber Supardi.

Supardi yang merupakan generasi IV yang membawa Reog Ponorogo ke Sumut, Reog Ponorogo mengandung legenda yang dating dari beberapa versi. Meskipun begitu seiring perkembangannya, Reog dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran komunikasi yang efektif bagi penyebaran agama Islam di Ponorogo. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/