Oleh: AZRUL ANANDA
Pelajaran apa yang paling Anda kenang dari sekolah?
Belasan tahun kita sekolah, tidak banyak yang kita ingat. Mungkin tidak banyak pula yang bisa kita gunakan untuk keperluan sehari-hari.
Bukan berarti sekolah tidak ada gunanya. Sebab, kita tetap butuh ijazahnya untuk bekerja dan lain sebagainya. Apalagi sekarang semakin susah cari ijazah palsu atau instan.
Dan tentu saja, sekolah punya banyak kegunaan lain untuk hidup.
Misalnya, mencari pacar, yang ada kemungkinan kelak jadi pasangan hidup. Atau, mencari teman dan sahabat, yang mungkin kelak jadi partner bisnis atau bekerja.
Tanya saja kepada mereka yang ketika mulai bekerja belum punya pacar. Rasanya lebih susah mencarinya di kehidupan nyata pasca-sekolah.
Mencari teman atau sahabat sejati juga butuh waktu dan pembuktian-pembuktian kesetiaan. Dan itu akan lebih teruji kalau memang sudah kenal sejak sekolah.
Untungnya, banyak guru/dosen yang menyampaikan disclaimer ini pada awal semester/tahun: Bahwa kita tidak akan mengingat semua pelajaran yang mereka berikan.
Malahan, ada yang menyatakan bahwa kita hanya mengingat 20 persen dari segala pelajaran yang kita dapat hari ini. Ya, itu berarti keesokan harinya sudah lupa 80 persen!
Coba pikir baik-baik, mengenang masa sekolah dulu. Kita akan lebih ingat cara-cara atau trik kita menyontek daripada pelajaran yang sebenarnya diberikan”
***
Tentu saja, 20 persen yang kita ingat itu bisa sangat berguna.
Pelajaran apa yang paling Anda kenang?
Kalau saya: Satu semester keyboarding saat SMA di Kansas.
Ketika SMP, memang ada pelajaran mengetik di sekolah saya di Surabaya. Tapi, lebih banyak teorinya di papan tulis dan ujiannya tertulis. Bukan benar-benar duduk di depan meja belajar mengetik sepuluh jari menggunakan mesin ketik (zaman itu).
Baru ketika SMA (1994) saya benar-benar belajar keyboarding. Menggunakan komputer dengan keyboard beneran.
Itu kelas yang sangat menyenangkan. Di minggu pertama, kita dihajar teori. Menghafalkan letak huruf-huruf dan jari yang harus digunakan untuk menekannya.
Minggu kedua, kami semua datang dapat kejutan: Semua keyboard di kelas sudah dibuat “kosongan”. Tidak ada huruf, angka, atau karakternya sama sekali.
Kami menggunakan buku program dari Cortez W. Peters Sr. Orang kulit hitam asal Washington DC yang “memopulerkan” ilmu mengetik. Dia menjadi juara dunia mengetik cepat pada 1925, mampu mengetik 141 kata semenit menggunakan mesin ketik zaman itu.
Rekor dunia lain yang dia buat: Bisa mengetik 148 kata per menit nonstop selama 60 menit, tanpa satu pun kesalahan. Dan itu termasuk waktu yang hilang karena harus mengganti kertas di mesin ketik!
Anaknya, Cortez Peters Jr., ikut jadi juara dunia. Karena hidup dalam era teknologi mesin ketik lebih canggih, sang anak bisa mengetik hingga 225 kata per menit tanpa satu pun kesalahan. Itu rata-rata 18,75 “ketukan” per detik!
Walau terkesan sepele, tidak mudah untuk mencapai yang mereka capai. Dan mereka benar-benar populer, sering tur keliling Amerika, menampilkan kemampuan mengetik mereka seperti sirkus. Kemudian, mampu mendirikan sekolah bisnis, dan lain-lain.
Keluarga Cortez punya tiga resep sederhana untuk meraih kesuksesan tersebut: Determination (tekad), Inspiration (inspirasi), dan Perspiration (keringat).
Maksudnya, bertekad untuk tidak membiarkan siapa pun menghalangi mereka mencapai impian, terinspirasi untuk melakukan apa saja guna mencapai impian, dan siap banting tulang untuk mewujudkan impian tersebut.
Kelas keyboarding gaya Cortez ini mengasyikkan sekali. Seperti main game setiap hari. Sebuah naskah terpampang di monitor, lalu kami harus mengetik menirukannya secepat mungkin, berlomba dengan ikan yang makin ngebut “memakan” huruf-hurufnya (seperti Pacman).
Walau bahasa Inggris saya masih patah-patah, kayaknya saya termasuk bakat mengetik. Kata sang guru, yang bisa mengetik 144 kata per menit, jari-jari saya panjang alias “piano fingers”. Jadi, seharusnya bisa sangat cepat.
Benar saja, pada akhir semester, saya termasuk yang tercepat di kelas. Rekor pribadi saya 96 kata per menit. Juara kelas waktu itu sampai 114 kata per menit.
Ujian-ujiannya juga seru. Misalnya, sang guru keliling. Ketika sampai ke komputer saya, dia minta saya mengetik nama depan saya (Azrul) secepat mungkin. Harus selesai secepat dia menepukkan tangan dua kali! Plok plok!
***
Di Amerika, pelajaran keyboarding rupanya masih ditekankan. Malah sudah ada yang mengajarkannya di kelas 4 SD. Padahal, sudah ada smartphone dan tablet, yang membantu kecepatan mengetik menggunakan program-program prediktif.
Rupanya, keyboarding tetap merupakan jalan tercepat menyambungkan isi pikiran ke tulisan. Mengetik pakai smartphone atau tablet (touch screen), rupanya, maksimal hanya di kisaran 40 kata per menit.
Secara pribadi, karena kerja saya di media dan hampir tiap hari mengetik, kemampuan mengetik sepuluh jari ini memang sangat efektif.
Misalnya, saya bisa menulis kolom ini hanya dalam 45 menit. Kerangka tulisan sudah saya pikirkan sebelumnya, lalu ketika duduk di depan komputer bisa langsung “melampiaskannya” dalam ketukan cepat.
Coba menulis dengan “sebelas” jari (dua jari telunjuk) atau jempol di touch screen. Kadang kita harus “pause pikiran” karena kecepatan jari kita tidak bisa mengimbangi isi kepala.
Dan di deretan wartawan/penulis baru, saya selalu melihat mereka yang bisa mengetik sepuluh jari selalu berkembang lebih cepat daripada yang memakai metode lain.
***
Saya menyadari, kelak mungkin ilmu mengetik sepuluh jari ini tidak akan lagi berguna. Bahkan mungkin dalam waktu tidak lama lagi.
Sama seperti ilmu memotret pakai kamera manual dan film yang juga saya pelajari saat SMA. Sekarang semua skill itu sudah digantikan program canggih. Kamera iPhone sudah bisa mengambil gambar lebih bagus dan lebih cepat daripada kamera Nikon FM2 saya dulu.
Nantinya, kemampuan keyboarding ini digantikan teknologi di mana tanpa menggerakkan satu organ tubuh pun kita bisa “mengetik”. Dari isi kepala langsung ke layar monitor atau ke kertas. Kalau sudah begitu, cepat atau tidak bergantung kemampuan isi kepala kita berpikir dan merangkai kata-kata… Bukan lagi kemampuan jari bergerak.
Sambil menunggu era baru itu tiba, saya akan terus menikmati ilmu keyboarding yang saya dapat dari SMA ini.
Sebelum menulis kolom ini, saya sempat mencoba tes mengetik online. Menguji kecepatan saya saat ini. Ternyata masih masuk kategori “Fast”, hanya satu setrip di bawah kategori “Pro”.
Hepi juga rasanya. Minimal, ada satu ilmu zaman SMA yang masih saya kuasai saat ini. Matematika, fisika, biologi, banyak yang sudah lupa atau tidak pernah saya terapkan hehehe.
Nah, pelajaran apa yang paling berkenang dan berguna buat Anda? (*)