29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Mencari Uang, tapi Tidak Mengurusi Keuangan

MOMENTUM DAHLAN

Sosok direktur utama mungkin bisa menimbulkan kesan sangat berkuasa di perusahaan. Termasuk berkuasa memerintahkan keluarnya uang. Memang ada yang begitu. Tapi ada juga Dirut yang kalah kuasa dengan pemilik perusahaan.

Masih ada lagi jenis Dirut yang lain. Yakni yang justru tidak mau melibatkan diri dalam proses di keuangan. Saya tergolong Dirut yang terakhir itu. Tidak mau mengurus manajemen keuangan.

Sudah sejak di Jawa Pos begitu. Begitu juga di PT PWU. Dan juga kemudian di PT PLN. Mengapa? Saya ini menyadari sesadar-sadarnya bahwa background saya adalah wartawan. Background sebelum itu adalah aktivis kampus. Saya tidak pernah mendalami masalah keuangan. Tidak ahli keuangan. Saya hanya sebatas mengerti keuangan. Karena itu, saya tidak pernah mau ikut menandatangani cheque, tidak pernah mau membubuhkan acc di proses pencairan uang dan selalu minta bagian atau direktorat keuangan untuk mandiri dari intervensi, termasuk intervensi dari atasan.

Memang saya kadang membubuhkan disposisi di proses pengajuan dokumen permintaan uang. Tapi itu sebatas disposisi agar diproses. Bukan disposisi agar dicairkan. Untuk pencairan dana (atau pengeluaran cek), harus ada satu proses berikutnya: verifikasi dokumen, kebenarannya, prioritas atau bukan, ada dana atau tidak dan seterusnya. Semua proses ini ada di direktorat keuangan. Baru uang bisa keluar atau ditolak.

Seandainya uang kemudian keluar, tugas bagian keuangan juga untuk menagih dokumen administrasi pertanggungjawabannya. Saya tidak pernah mau melibatkan diri di proses ini. Dirut yang seperti itu kadang harus malu. Kadang diejek: Dirut apa itu kok tidak berkuasa. Tapi saya memang memilih tidak terlihat berkuasa. Tidak apa-apa.

Di PWU konsentrasi saya penuh untuk bidang yang paling sulit: bagaimana pabrik yang bobrok-bobrok itu bisa diperbaiki. Tidak mudah. Memerlukan ide, kiat, kerja keras, dan kontrol yang terus-menerus. Siang dan malam.

Hampir setiap malam, setelah bekerja di Jawa Pos, saya keliling pabrik-pabrik milik PT PWU. Pabrik karet, pabrik kulit, pabrik genting, pabrik es, pabrik kain kasa, dan banyak lagi. Yang semuanya sulit: mesinnya kuno, tenaganya menua, fisik pabriknya reyot, dan produksinya tidak bisa bersaing.

Pabrik karet di Ngagel, misalnya, kumuhnya bukan main. Keuangannya begitu sulit. Karyawannya begitu banyak. Kualitas produksinya begitu menyedihkan. Jam 01.00 tengah malam saya ke sana. Sedih sekali. Gelap.

MOMENTUM DAHLAN

Sosok direktur utama mungkin bisa menimbulkan kesan sangat berkuasa di perusahaan. Termasuk berkuasa memerintahkan keluarnya uang. Memang ada yang begitu. Tapi ada juga Dirut yang kalah kuasa dengan pemilik perusahaan.

Masih ada lagi jenis Dirut yang lain. Yakni yang justru tidak mau melibatkan diri dalam proses di keuangan. Saya tergolong Dirut yang terakhir itu. Tidak mau mengurus manajemen keuangan.

Sudah sejak di Jawa Pos begitu. Begitu juga di PT PWU. Dan juga kemudian di PT PLN. Mengapa? Saya ini menyadari sesadar-sadarnya bahwa background saya adalah wartawan. Background sebelum itu adalah aktivis kampus. Saya tidak pernah mendalami masalah keuangan. Tidak ahli keuangan. Saya hanya sebatas mengerti keuangan. Karena itu, saya tidak pernah mau ikut menandatangani cheque, tidak pernah mau membubuhkan acc di proses pencairan uang dan selalu minta bagian atau direktorat keuangan untuk mandiri dari intervensi, termasuk intervensi dari atasan.

Memang saya kadang membubuhkan disposisi di proses pengajuan dokumen permintaan uang. Tapi itu sebatas disposisi agar diproses. Bukan disposisi agar dicairkan. Untuk pencairan dana (atau pengeluaran cek), harus ada satu proses berikutnya: verifikasi dokumen, kebenarannya, prioritas atau bukan, ada dana atau tidak dan seterusnya. Semua proses ini ada di direktorat keuangan. Baru uang bisa keluar atau ditolak.

Seandainya uang kemudian keluar, tugas bagian keuangan juga untuk menagih dokumen administrasi pertanggungjawabannya. Saya tidak pernah mau melibatkan diri di proses ini. Dirut yang seperti itu kadang harus malu. Kadang diejek: Dirut apa itu kok tidak berkuasa. Tapi saya memang memilih tidak terlihat berkuasa. Tidak apa-apa.

Di PWU konsentrasi saya penuh untuk bidang yang paling sulit: bagaimana pabrik yang bobrok-bobrok itu bisa diperbaiki. Tidak mudah. Memerlukan ide, kiat, kerja keras, dan kontrol yang terus-menerus. Siang dan malam.

Hampir setiap malam, setelah bekerja di Jawa Pos, saya keliling pabrik-pabrik milik PT PWU. Pabrik karet, pabrik kulit, pabrik genting, pabrik es, pabrik kain kasa, dan banyak lagi. Yang semuanya sulit: mesinnya kuno, tenaganya menua, fisik pabriknya reyot, dan produksinya tidak bisa bersaing.

Pabrik karet di Ngagel, misalnya, kumuhnya bukan main. Keuangannya begitu sulit. Karyawannya begitu banyak. Kualitas produksinya begitu menyedihkan. Jam 01.00 tengah malam saya ke sana. Sedih sekali. Gelap.

Artikel Terkait

Dulu PWU Gabungan Perusahaan Sakit

Korupsikah Saya di PT PWU Jatim?

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/