LONDON, INGGRIS — Larangan masuk bagi warga tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim yang dikeluarkan Presiden AS Donald Trump telah membuat negara-negara Eropa memberi tanggapan beragam.
Larangan itu menjadi dilema besar bagi negara-negara Eropa, yang di satu sisi terdesak dengan perkembangan pesat jumlah warga Muslim, sementara di sisi lain ada peningkatan sentimen nasionalis dari kelompok yang menentang imigrasi warga Muslim.
Hubungan baik yang sedang dijalin Inggris dan Amerika terganggu. Lawatan Perdana Menteri Inggris Theresa May ke Amerika dinilai berhasil karena menyebabkan Presiden Donald Trump menyatakan dukungannya pada NATO. Tetapi kecaman keras juga menunggunya pasca lawatan ke Washington DC itu. May menghadapi kecaman dari kelompok sayap kiri karena tidak bersikap cukup tegas menentang larangan yang diberlakukan Donald Trump.
Walikota London Sadiq Khan mengatakan, “Pesan saya sebagai walikota London jelas dan tegas. Saya kira larangan itu kejam dan memalukan, dan perdana menteri kita seharusnya mengutuk hal itu.”
Langkah Trump itu memicu berbagai pernyataan negara-negara di Eropa. Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Marc Ayrault mengatakan, “Menyambut pengungsi yang melarikan diri dari perang dan penindasan merupakan bagian dari tugas kita. Kita harus memastikan hal itu terjadi secara fair, benar dan juga didasarkan pada solidaritas. Dan memastikan cara kita melaksanakannya – itulah sebabnya dialog Eropa dan solidaritas Eropa harus terus memainkan peranan – jadi masyarakat tidak bingung, tapi justru memenuhi komitmen mereka dan setia kepada nilai-nilai kita”.
Pertempuran nilai-nilai ini menimbulkan konflik di antara mereka yang mengedepankan multikulturalisme dan humanitarianisme dengan mereka yang menilai budaya dan identitas nasional mereka berada dalam bahaya.