29 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Menjadi Kaya karena Tega

Oleh: AZRUL ANANDA

Mendengarkan ceramah bisa boring. Membaca buku belum tentu ada waktu. Mungkin, belajar bisnis paling enak adalah lewat film. Tema hari ini: Sejarah McDonald’s ala film The Founder.

***

Baru-baru ini, saya mengajak manajer-manajer muda di salah satu perusahaan saya nonton film bareng di ruang meeting. Judulnya The Founder, sebuah film yang belum lama ini beredar, mengisahkan awal mula dan berkembangnya McDonald’s.

Aktor kaliber Oscar, Michael Keaton, memerankan Ray Kroc, sang ’’founder’’ alias ’’pendiri’’ perusahaan tersebut.

Mengapa mengajak nonton film itu? Tujuannya tidak muluk-muluk. Bukan untuk sekadar menginspirasi, karena hanya segelintir orang di dunia ini yang akan bisa seperti Ray Kroc itu.

Tujuan utama saya adalah untuk mengajak para manajer agar bisa berpikir praktis. Mencari solusi-solusi yang sederhana dan praktis dalam menghadapi masalah sehari-hari.

Karena berdasar pengalaman saya pribadi memegang perusahaan selama bertahun-tahun, tidak banyak lulusan Indonesia ini yang bisa berpikir praktis. Bahkan tidak banyak pula orang Indonesia lulusan luar negeri yang bisa berpikir praktis.

Yang jago dalam hal teori belum tentu bisa kerja. Yang jago bekerja belum tentu bisa berpikir lebih besar.

Mohon maaf, bukan maksud saya menyinggung perasaan, tapi itu berdasar pengalaman saya pribadi.

Di film itu, memang digambarkan betapa McDonald’s dimulai dengan cara berpikir praktis. Pada 1955, Ray Kroc adalah seorang salesman keliling, rajin naik mobil jualan mixer milk shake ke restoran-restoran di berbagai wilayah Amerika.

Di era itu, belum ada yang namanya ’’fast food’’. Kalau pesan burger dan kentang, bisa menunggu hingga setengah jam.

Dia lantas mengunjungi sebuah restoran, bernama McDonald’s, di San Bernardino, dekat Los Angeles, California. Restoran itu milik Richard (Dick) dan Maurice (Mac) McDonald’s, kakak beradik pengusaha restoran yang sangat inovatif.

Tidak harus menunggu 30 menit. Burger, kentang, dan minum bisa disajikan dalam 30 detik. Dengan rasa dan standar yang konsisten.

Dick adalah seorang ’’genius’’. Dialah konseptor cepat saji itu (dia menyebutnya Speedee System). Caranya? Dengan berpikir praktis!

Dia tidak menyewa konsultan mahal. Tidak melakukan banyak rapat dan diskusi. Dia sama sekali tidak berpikir terbang ke langit.

Yang dia lakukan, mengajak karyawannya ke sebuah lapangan tenis. Dia lalu menggambar layout dapur restoran baru menggunakan kapur, lalu meminta karyawannya untuk ’’pura-pura’’ bekerja menggunakan layout tersebut.

Ketika ada masalah, gambarnya dihapus. Lalu, ada layout dapur versi kedua, dan para karyawan kembali melakukan simulasi kerja.

Meski sudah dianggap jalan, Dick minta semua menunggu lagi, dan dia menggambar lagi versi ketiga. Voila! Jadilah sistem cepat saji dengan kualitas konsisten.

Total enam jam mereka habiskan untuk menggambar dan menyimulasi pola kerja. Benar-benar pola yang efisien. ’’Symphony of efficiency. Tidak ada gerakan-gerakan yang mubazir,’’ kata mereka.

Dick dan Mac pun memesan peralatan dapur secara custom, menyesuaikan dengan layout yang dia rancang di atas lapangan tenis.

Selamat datang era fast food! Makanan bisa tersaji dalam 30 detik!

(Mengapa saya suka contoh ini? Karena saya dan teman-teman perintis liga basket SMA DBL pada 2007 dulu melakukan simulasi serupa, sebelum mengembangkan kompetisi itu ke seluruh Indonesia.)

***

Oleh: AZRUL ANANDA

Mendengarkan ceramah bisa boring. Membaca buku belum tentu ada waktu. Mungkin, belajar bisnis paling enak adalah lewat film. Tema hari ini: Sejarah McDonald’s ala film The Founder.

***

Baru-baru ini, saya mengajak manajer-manajer muda di salah satu perusahaan saya nonton film bareng di ruang meeting. Judulnya The Founder, sebuah film yang belum lama ini beredar, mengisahkan awal mula dan berkembangnya McDonald’s.

Aktor kaliber Oscar, Michael Keaton, memerankan Ray Kroc, sang ’’founder’’ alias ’’pendiri’’ perusahaan tersebut.

Mengapa mengajak nonton film itu? Tujuannya tidak muluk-muluk. Bukan untuk sekadar menginspirasi, karena hanya segelintir orang di dunia ini yang akan bisa seperti Ray Kroc itu.

Tujuan utama saya adalah untuk mengajak para manajer agar bisa berpikir praktis. Mencari solusi-solusi yang sederhana dan praktis dalam menghadapi masalah sehari-hari.

Karena berdasar pengalaman saya pribadi memegang perusahaan selama bertahun-tahun, tidak banyak lulusan Indonesia ini yang bisa berpikir praktis. Bahkan tidak banyak pula orang Indonesia lulusan luar negeri yang bisa berpikir praktis.

Yang jago dalam hal teori belum tentu bisa kerja. Yang jago bekerja belum tentu bisa berpikir lebih besar.

Mohon maaf, bukan maksud saya menyinggung perasaan, tapi itu berdasar pengalaman saya pribadi.

Di film itu, memang digambarkan betapa McDonald’s dimulai dengan cara berpikir praktis. Pada 1955, Ray Kroc adalah seorang salesman keliling, rajin naik mobil jualan mixer milk shake ke restoran-restoran di berbagai wilayah Amerika.

Di era itu, belum ada yang namanya ’’fast food’’. Kalau pesan burger dan kentang, bisa menunggu hingga setengah jam.

Dia lantas mengunjungi sebuah restoran, bernama McDonald’s, di San Bernardino, dekat Los Angeles, California. Restoran itu milik Richard (Dick) dan Maurice (Mac) McDonald’s, kakak beradik pengusaha restoran yang sangat inovatif.

Tidak harus menunggu 30 menit. Burger, kentang, dan minum bisa disajikan dalam 30 detik. Dengan rasa dan standar yang konsisten.

Dick adalah seorang ’’genius’’. Dialah konseptor cepat saji itu (dia menyebutnya Speedee System). Caranya? Dengan berpikir praktis!

Dia tidak menyewa konsultan mahal. Tidak melakukan banyak rapat dan diskusi. Dia sama sekali tidak berpikir terbang ke langit.

Yang dia lakukan, mengajak karyawannya ke sebuah lapangan tenis. Dia lalu menggambar layout dapur restoran baru menggunakan kapur, lalu meminta karyawannya untuk ’’pura-pura’’ bekerja menggunakan layout tersebut.

Ketika ada masalah, gambarnya dihapus. Lalu, ada layout dapur versi kedua, dan para karyawan kembali melakukan simulasi kerja.

Meski sudah dianggap jalan, Dick minta semua menunggu lagi, dan dia menggambar lagi versi ketiga. Voila! Jadilah sistem cepat saji dengan kualitas konsisten.

Total enam jam mereka habiskan untuk menggambar dan menyimulasi pola kerja. Benar-benar pola yang efisien. ’’Symphony of efficiency. Tidak ada gerakan-gerakan yang mubazir,’’ kata mereka.

Dick dan Mac pun memesan peralatan dapur secara custom, menyesuaikan dengan layout yang dia rancang di atas lapangan tenis.

Selamat datang era fast food! Makanan bisa tersaji dalam 30 detik!

(Mengapa saya suka contoh ini? Karena saya dan teman-teman perintis liga basket SMA DBL pada 2007 dulu melakukan simulasi serupa, sebelum mengembangkan kompetisi itu ke seluruh Indonesia.)

***

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/