30 C
Medan
Monday, May 27, 2024

Menjadi Kaya karena Tega

Kalau begitu, Ray Kroc bukan founder McDonald’s dong?

Saya jadi ingat waktu SMP dulu, ada seorang guru saya yang dengan lantang bertanya kepada semua murid di kelas: ’’Ada yang tahu bagaimana caranya supaya jadi kaya?’’

Waktu itu, satu kelas diam.

Sang guru lantas menulis di papan dalam bahasa Jawa: ’’Mentolo’’.

Saya bukan jago bahasa Jawa, nilai bahasa Jawa saya waktu SMP itu hanya 6 (walau bahasa Indonesia dan Inggris sama-sama 9). Tapi, itu artinya kira-kira ’’Tega’’. Kurang lebih, guru saya bilang bahwa kita harus berani tega –dengan nada negatif– untuk menjadi kaya.

Mungkin ucapan guru saya itu ada benarnya. Tapi, rasanya kejam ya? Mungkin, ada sejumlah orang yang mencapai kekayaan dengan cara seperti itu. Tapi, saya tahu betul, banyak juga yang mencapainya dengan cara yang lebih menenangkan hati.

Kalau mengikuti cerita, Ray Kroc memang melakukan beberapa manuver untuk kemudian bisa mengklaim diri sebagai ’’founder’’ McDonald’s.

Saya tidak akan menceritakan secara detail, karena Anda bisa menonton sendiri filmnya atau meriset sendiri ceritanya. Tapi, pada akhirnya ’’McDonald’s’’ adalah milik Kroc. Sedangkan Dick dan Mac tersisih, bahkan tidak boleh menggunakan nama ’’McDonald’s’’, yang notabene nama keluarga mereka sendiri.

Dalam diskusi bersama tim, tentu dengan mudah kita menilai kalau Kroc itu ’’mentolo’’. Namun, saya mengajak teman-teman berpikir, mencoba melihat dari sisi yang lain. Bahwa sebenarnya Kroc melakukan langkah-langkah itu karena ’’terpaksa’’. Kalau tidak, dia tidak bisa berkembang, dan McDonald’s tidak bisa berkembang.

Bisa dibilang Kroc lebih persistent, lebih ngotot, dalam mengembangkan McDonald’s daripada Dick dan Mac.

Menurut saya, berdasar cerita itu, ada tiga kesalahan yang dilakukan Dick dan Mac sehingga mereka ’’kehilangan nama sendiri’’.

Satu, mereka memang inovatif dan ’’genius’’, tapi mereka tidak berani mengambil risiko lebih besar. Ketika upaya pertama menerapkan sistem franchise berujung mengecewakan, mereka langsung menyerah. ’’Punya satu restoran hebat lebih baik daripada punya banyak tapi berantakan.’’ Begitu pemikiran mereka.

Ray Kroc lantas muncul sebagai orang yang bertekad mengembangkan pola hebat McDonald’s ini ke seluruh Amerika. Dengan meneken kontrak pengembangan bersama Dick dan Mac.

Pada perjalanannya, Kroc menyadari kalau pembagian pihaknya –dan sebenarnya pihak Dick dan Mac– tidaklah cukup untuk mengembangkan secara cepat. Plus ada banyak prinsip yang sebenarnya menghalangi pengembangan.

Kroc mencoba menawarkan solusi-solusi kepada Dick dan Mac, sekaligus meminta jatah sedikit lebih besar. Dari total 1,9 persen untuk Kroc, Dick, dan Mac, menjadi angka 3–4 persen.

Tapi, Dick dan Mac berkali-kali bilang ’’Tidak’’ untuk usulan-usulan itu. Alasannya, mereka ingin para pemegang franchise tidak dirugikan, dan standar-standar makanan serta pelayanan McDonald’s tidak diubah sedikit pun. Walaupun perubahan yang diajukan sebenarnya belum tentu menurunkan kualitas, dan belum tentu merugikan pemilik gerai.

Itu adalah kesalahan kedua Dick dan Mac. Mereka telah mempertahankan kebijakan yang justru ’’anti-growth’’.

Kalau begitu, Ray Kroc bukan founder McDonald’s dong?

Saya jadi ingat waktu SMP dulu, ada seorang guru saya yang dengan lantang bertanya kepada semua murid di kelas: ’’Ada yang tahu bagaimana caranya supaya jadi kaya?’’

Waktu itu, satu kelas diam.

Sang guru lantas menulis di papan dalam bahasa Jawa: ’’Mentolo’’.

Saya bukan jago bahasa Jawa, nilai bahasa Jawa saya waktu SMP itu hanya 6 (walau bahasa Indonesia dan Inggris sama-sama 9). Tapi, itu artinya kira-kira ’’Tega’’. Kurang lebih, guru saya bilang bahwa kita harus berani tega –dengan nada negatif– untuk menjadi kaya.

Mungkin ucapan guru saya itu ada benarnya. Tapi, rasanya kejam ya? Mungkin, ada sejumlah orang yang mencapai kekayaan dengan cara seperti itu. Tapi, saya tahu betul, banyak juga yang mencapainya dengan cara yang lebih menenangkan hati.

Kalau mengikuti cerita, Ray Kroc memang melakukan beberapa manuver untuk kemudian bisa mengklaim diri sebagai ’’founder’’ McDonald’s.

Saya tidak akan menceritakan secara detail, karena Anda bisa menonton sendiri filmnya atau meriset sendiri ceritanya. Tapi, pada akhirnya ’’McDonald’s’’ adalah milik Kroc. Sedangkan Dick dan Mac tersisih, bahkan tidak boleh menggunakan nama ’’McDonald’s’’, yang notabene nama keluarga mereka sendiri.

Dalam diskusi bersama tim, tentu dengan mudah kita menilai kalau Kroc itu ’’mentolo’’. Namun, saya mengajak teman-teman berpikir, mencoba melihat dari sisi yang lain. Bahwa sebenarnya Kroc melakukan langkah-langkah itu karena ’’terpaksa’’. Kalau tidak, dia tidak bisa berkembang, dan McDonald’s tidak bisa berkembang.

Bisa dibilang Kroc lebih persistent, lebih ngotot, dalam mengembangkan McDonald’s daripada Dick dan Mac.

Menurut saya, berdasar cerita itu, ada tiga kesalahan yang dilakukan Dick dan Mac sehingga mereka ’’kehilangan nama sendiri’’.

Satu, mereka memang inovatif dan ’’genius’’, tapi mereka tidak berani mengambil risiko lebih besar. Ketika upaya pertama menerapkan sistem franchise berujung mengecewakan, mereka langsung menyerah. ’’Punya satu restoran hebat lebih baik daripada punya banyak tapi berantakan.’’ Begitu pemikiran mereka.

Ray Kroc lantas muncul sebagai orang yang bertekad mengembangkan pola hebat McDonald’s ini ke seluruh Amerika. Dengan meneken kontrak pengembangan bersama Dick dan Mac.

Pada perjalanannya, Kroc menyadari kalau pembagian pihaknya –dan sebenarnya pihak Dick dan Mac– tidaklah cukup untuk mengembangkan secara cepat. Plus ada banyak prinsip yang sebenarnya menghalangi pengembangan.

Kroc mencoba menawarkan solusi-solusi kepada Dick dan Mac, sekaligus meminta jatah sedikit lebih besar. Dari total 1,9 persen untuk Kroc, Dick, dan Mac, menjadi angka 3–4 persen.

Tapi, Dick dan Mac berkali-kali bilang ’’Tidak’’ untuk usulan-usulan itu. Alasannya, mereka ingin para pemegang franchise tidak dirugikan, dan standar-standar makanan serta pelayanan McDonald’s tidak diubah sedikit pun. Walaupun perubahan yang diajukan sebenarnya belum tentu menurunkan kualitas, dan belum tentu merugikan pemilik gerai.

Itu adalah kesalahan kedua Dick dan Mac. Mereka telah mempertahankan kebijakan yang justru ’’anti-growth’’.

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/