Niat hati menjadi transmigran adalah untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Apa daya… daerah transmigran ternyata jauh dari bayangan awal. Jalan poros susah dilalui, tanaman sayur dan padi tidak terjual. Fasilitas umum belum ada. Kehidupan begitu sukar hingga para pria tidak tahan dan memilih merantau kembali ke daerah lain. Dua belas tahun kemudian, barulah ‘kisah pahit’ itu berubah manis.
—————————————–
Dame Ambarita, Palembang
—————————————–
“Kisah ini kisah nyata… bukan kisah dibuat-buat,” kata H. Mudarisun, akrab dipanggil Pak Daris, saat memulai cerita tentang kisah hidupnya: seorang transmigran yang bermimpi memperbaiki hidup di negeri orang. Mimpi yang menempuh jalan berliku sebelum menjadi kenyataan.
Tahun 1991 lalu, atas permintaan istri, ia mendaftar menjadi transmigran dari Bantul, Jogjakarta. Tujuannya Muara Kelingi, Musi Rawas, Sumatera Selatan. Saat itu mereka terpikat tawaran memeroleh lahan trans 2,5 hektare per KK, di lokasi transmigrasi. Lahan yang cukup luas dibandingkan lahan yang mereka miliki di Bantul.
Demikianlah… ia memboyong istri dan anaknya ke Muara Kelingi. Menerima lahan masing-masing 2,5 hektare, ia dan para transmigran lainnya penuh semangat mengerjakan jatah lahan masing-masing. Tanam sayur, palawija, padi, dan sebagainya. Bertekad secepatnya menyejahterakan keluarga.
Tetapi kenyataan tak semulus mimpi. Daerah transmigran ternyata tak mudah ditaklukkan. Akses jalan di lahan trans susah dilalui. Lahan tidak terlalu subur. Rumah yang disediakan tergolong sangat sederhana, kecil berdinding papan dan berlantai tanah. Sekolah dan fasilitas kesehatan tidak memadai. Sayur dan padi yang dihasilkan sulit terjual, karena sulitnya akses transportasi. Alat transportasi hanya sepeda kayuh, itupun tidak semua punya.
“Kehidupan begitu sukar hingga para pria kebanyakan merantau ke daerah lain,” kata pria yang tampak masih bugar di usianya yang sudah 64 ini, mengenang getir hidup saat itu.
Meski sulit, Pak Daris yang sempat tiga tahun menjadi Da’i Transmigrasi itu tetap bertahan mengerjakan lahannya.
Waktu terus bergulir, para transmigran sepakat membuka koperasi unit desa untuk kesejahteraan anggota. Namanya KUD Pandawa Sakti. Anggotanya mencapai ratusan orang. KUD menandatangani MoU menjadi petani plasma perusahaan Sinarmas Group.
Namun ‘kesaktian’ KUD Pandawa Sakti hanya bertahan lima tahun. Panah-panah curiga tentang perusahaan yang bakal mengambil alih lahan petani, ditebar ke sana sini.
Buntutnya, pengurus KUD secara sepihak membatalkan MoU.
Akibat pembatalan itu, anggota terbelah. Antara yang setuju, ada yang ingin tetap bermitra. Yang ingin tetap bermitra, membentuk KUD baru. Namanya KUD Sadar Sejahtera. Pak Daris menjadi ketua.
“Setengah dari anggota KUD lama pindah ke KUD baru. KUD baru ini meneruskan MoU dengan Sinarmas Group. Pelan-pelan anggota koperasi Sadar Sejahtera terus bertambah hingga saat ini mencapai 2.493 orang. Koperasi lama tinggal 39 anggota, itupun tidak aktif lagi,” cetusnya.
Lewat kemitraan dengan Sinarmas Group, KUD SS membangun kebun plasma. Dari 4 tahap, saat ini total lahan kebun yang diplasmakan mencapai 2.474 hektare.
“Konsepnya Pola Kemitraan Satu Atap, atau full manage. Semua pengelolaan kebun, baik organisasi kerja, administrasi, pengupahan, program kerja, standar kerja pengadaan pupuk dan obat-obatan, dilakukan perusahaan secara penuh,” jelasnya.
Keuntungannya, kebun milik anggota koperasi dikelola dengan standar inti. Pendapatan petani optimal. Suplai pupuk dan obat-obatan pertanian diperoleh dengan harga inti. Usia produksi tanaman diperpanjang. Dan petani tidak perlu memikirkan biaya pupuk, obat-obatan, tenaga kerja, dll.
Pengurus koperasi tinggal menghitung berapa hasil produksi, dikali harga jual saat itu, dipotong biaya operasional koperasi. Hasilnya dibagi ke anggota sesuai jatah kebun masing-masing.
“Jadi hanya ongkang-ongkang kaki pun, tiap bulan anggota koperasi mendapat hasil dari kebun plasmanya. Rata-rata bersih Rp2,4 juta per hektare per bulan,” ungkapnya.
Kuncinya, kata Pak Daris, adalah saling percaya, saling membantu, dan saling menguntungkan, yang dibungkus dalam prinsip keterbukaan dan kesinambungan.
Saat ini, petani plasma sawit yang dulunya adalah para transmigran itu, sudah menikmati manisnya hasil perjuangan.
“Sebelum bermitra dengan perusahaan, kami adalah kaum elit (ekonomi sulit) dan mewah (mepet sawah = rumah dempet dengan sawah). Kalau sekarang, kami adalah kaum harmonis (hari-hari monoton manis) dan romantis (rokok, makan, minum gratis),” kekehnya.
Jika dulu para transmigran naik sepeda dan tinggal di rumah trans berlantai tanah, sekarang naik Pajero Sport dan tinggal di rumah permanen bertingkat. Bunga-bunga pun bermekaran dan ditata bak taman-taman di halaman rumah.
“Jika dulu kami hanya lulusan SD dan SMP, sekarang anak-anak kami kuliah di Jawa,” kata lulusan SMA yang sempat mengenyam kuliah di IAIN ini, tanpa bermaksud menyombongkan diri.
Desa mereka saat ini memiliki masjid yang cukup megah, Pasar Beliti Jaya dengan bangunan permanen, dan berbagai fasilitas lainnya.
Manager Kebun Pandawa Estate Sinar Mas, yang mengelola kebun plasma milik KUD Sadar Sejahtera, Adi Prasetia, juga mengakui perubahan itu. Katanya, jika orang berkunjung ke desa-desa di Musi Rawas, “Akan terasa yang mana desa plasma dan mana yang tidak, dari tingkat kesejahteraan penduduknya.”
Tak heran, belakangan ini banyak warga desa lain yang ngebet mendaftar masuk menjadi desa plasma. Bahkan beralih dari petani karet menjadi petani sawit.
“Kelompok tani pemilik 500 hektare lahan sawit, baru-baru ini bahkan meminta izin agar diterima menjadi kebun plasma, di bawah naungan KUD SS. Koperasi sampai menolak karena lahan mereka sudah sangat luas. Itulah fakta yang terjadi di lapangan,” kata Adi.
Saat ini, lahan sawit milik KUD Sadar Sejahtera yang diplasmakan mencapai 2.400 hektare.
Sebagai pengurus KUD, H Mudarisun mengaku senang bisa mendongkrak perekonomian anggota koperasi. “Meski awal-awalnya menjadi pengurus koperasi itu kayak bak sampah, menerima lemparan segala macam perkataan, yang baik maupun buruk, tapi rasanya sangat senang semua anggota semakin sejahtera,” ungkapnya.
Satu pesannya pada para petani plasma: saat menerima hasil yang banyak, menabunglah! Agar saat pada musim panen sedang lesu atau harga TBS sedang turun, tabungan bisa menutupi biaya-biaya darurat. Seperti sakit atau biaya kuliah anak.
“Tabungan juga bisa untuk biaya replanting dan kredit multiguna, untuk mengurangi beban saat pelaksanaan replanting,” katanya.
Beberapa tantangan yang saat ini dihadapi KUD SS, yakni kenaikan upah karyawan tidak berimbang dengan kenaikan harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit. Juga ada tantangan sosial masyarakat, yakni kecemburuan dari desa non plasma, atas naiknya tingkat kesejahteraan petani plasma. Juga ada tantangan mengenai keamanan TBS yang rentan dicuri ninja sawit. Dan kendala akses jalan produksi yang panjang dan sering rusak. Namun ia ogah khawatir.
“Betapapun, tantangan adalah peluang untuk maju,” katanya sambil tersenyum percaya diri. (Mea)