25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Penilaian Ombudsman RI Perwakilan Sumut: Faskes Rujukan BPJS Kesehatan Masih Buruk

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut Abyadi Siregar mengatakan, banyak pengaduan masyarakat yang mengeluhkan buruknya layanan faskes dalam melayani pasien peserta program Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Karena itu, perlunya faskes penyelenggaraan layanan kesehatan memiliki dan menerapkan standar layanan publik.

“Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) harus memiliki sekaligus menerapkan standar layanan publik. Seperti keterangan tentang penanganan pasien IGD, pasien rawat inap, pasien rawat jalan, biaya layanan, fasilitas yang diberikan dan lainnya,” ujar Abyadi baru-baru ini.

Faskes, kata Abyadi, tidak boleh membiarkan pasien menunggu lama. Apalagi sampai menelantarkan pasien yang ingin mendapatkan layanan kesehatan. “Ada masyarakat yang mengadukan rumah sakit swasta di Medan ke Ombudsman karena lamanya dalam menangani pasien rujukan dari daerah. Pasien itu harus menunggu berjam-jam dari pagi hingga siang, hanya untuk mendapat layanan cek darah. Bahkan, pasien itu juga harus menunggu lagi dari siang hingga malam hari di ruang tunggu yang padat dan sumpek untuk menunggu mendapatkan ruangan rawat inap,” ungkapnya.

Selain itu, lanjut Abyadi, menjelang lebaran Idul Fitri lalu, petugas di rumah sakit pemerintah meminta pasien untuk pulang, setelah sebelumnya menjalani rawat inap. Padahal, kondisi pasien belum sembuh. Kasus serupa juga terjadi pada salah satu rumah sakit di Tebing Tinggi, juga pernah dilaporkan ke Ombudsman.

Meski kondisinya belum sehat, tapi disuruh pulang setelah beberapa hari rawat inap. “Beberapa kasus itu sempat jadi perhatian kita karena kondisi yang belum stabil tapi harus pulang dan dirawat di rumah. Bahkan, ada pasien yang akhirnya meninggal,” terang Abyadi.

Kasus-kasus seperti ini, menurutnya, membuktikan bahwa potret layanan kesehatan di Sumut terhadap pasien peserta JKN-KIS masih buruk. Seolah pasien BPJS Kesehatan itu tidak bayar. Padahal, pasien peserta program JKN-KIS itu bukan gratis.

“Untuk BPJS Kesehatan sendiri juga masih banyak dikeluhkan masyarakat. Hal itu terkait kurangnya informasi mengenai layanan BPJS Kesehatan, adanya perbedaan pelayanan bagi peserta dengan pasien umum di faskes, kualitas obat BPJS Kesehatan dipertanyakan masyarakat, jangka waktu rawat bagi peserta juga dianggap kurang jelas. Ada pasien yang sudah disuruh pulang meski belum sembuh,” papar Abyadi.

Ia menegaskan, masyarakat sebagai peserta JKN-KIS tentu sangat mengharapkan FKRTL di Sumut dapat memberikan layanan kesehatan. Hal ini sebagaimana diamanahkan dalam Undang-undang Nomor 36 tahun 2019 tentang Kesehatan, yakni layanan kesehatan yang efisien, terjangkau dan merata, yang bermutu dan aman.

Abyadi mengingatkan, FKRTL juga harus menerapkan nilai-nilai perilaku pelaksanaan layanan publik sesuai pasal 34 Undang-undang Nomor 25 tahun 2009. Layanan kesehatan harus adil dan tidak diskriminatif, menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas, integritas, moralitas dan kejujuran, cermat, profesional, taat azas/norma dan tidak menyimpang dari prosedur.

“Untuk menjaga kualitas layanan kepada masyarakat, BPJS Kesehatan harus melakukan evaluasi dan pengawasan yang ketat terhadap unit-unit layanan kesehatan yang menjadi mitra kerjasama. BPJS Kesehatan harus berani dan tegas jika menemukan ada FKRTL yang menyimpang dan diskriminatif terhadap pasien JKN-KIS. Harus ada teguran atau bahkan pemutusan hubungan kerjasama bila pelanggraan yang dilakukan cukup parah,” cetus Abyadi.

Lebih lanjut dia mengatakan, karena masih buruknya layanan kesehatan di Sumut, banyak pasien yang berasal dari kalangan mampu akhirnya lebih memilih untuk berobat ke luar negeri, seperti ke Malaysia maupun Singapura. Data dari Malaysia Healthcare Travel Council (MHTC), setidaknya ada sekitar 670 ribu orang Indonesia yang berobat ke rumah sakit-rumah sakit di Malaysia tahun 2018. Kebanyakan dari Medan, Surabaya, Jakarta.

“Informasi dari Kepala Dinas Pariwisata Kota Medan beberapa waktu lalu menyebutkan, ada sekitar 300.000 warga Sumut berobat ke Penang, Malaysia. Apabila tiap orang membawa Rp25 juta ke Penang, maka ada Rp7,5 triliun uang warga Sumut pindah ke Malaysia. Lantas kenapa banyak warga Sumut berobat ke LN? Salah satu jawaban yang paling logis adalah karena kualitas layanan kesehatan di daerah ini yang belum baik,” pungkasnya. (ris/ila)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut Abyadi Siregar mengatakan, banyak pengaduan masyarakat yang mengeluhkan buruknya layanan faskes dalam melayani pasien peserta program Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Karena itu, perlunya faskes penyelenggaraan layanan kesehatan memiliki dan menerapkan standar layanan publik.

“Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) harus memiliki sekaligus menerapkan standar layanan publik. Seperti keterangan tentang penanganan pasien IGD, pasien rawat inap, pasien rawat jalan, biaya layanan, fasilitas yang diberikan dan lainnya,” ujar Abyadi baru-baru ini.

Faskes, kata Abyadi, tidak boleh membiarkan pasien menunggu lama. Apalagi sampai menelantarkan pasien yang ingin mendapatkan layanan kesehatan. “Ada masyarakat yang mengadukan rumah sakit swasta di Medan ke Ombudsman karena lamanya dalam menangani pasien rujukan dari daerah. Pasien itu harus menunggu berjam-jam dari pagi hingga siang, hanya untuk mendapat layanan cek darah. Bahkan, pasien itu juga harus menunggu lagi dari siang hingga malam hari di ruang tunggu yang padat dan sumpek untuk menunggu mendapatkan ruangan rawat inap,” ungkapnya.

Selain itu, lanjut Abyadi, menjelang lebaran Idul Fitri lalu, petugas di rumah sakit pemerintah meminta pasien untuk pulang, setelah sebelumnya menjalani rawat inap. Padahal, kondisi pasien belum sembuh. Kasus serupa juga terjadi pada salah satu rumah sakit di Tebing Tinggi, juga pernah dilaporkan ke Ombudsman.

Meski kondisinya belum sehat, tapi disuruh pulang setelah beberapa hari rawat inap. “Beberapa kasus itu sempat jadi perhatian kita karena kondisi yang belum stabil tapi harus pulang dan dirawat di rumah. Bahkan, ada pasien yang akhirnya meninggal,” terang Abyadi.

Kasus-kasus seperti ini, menurutnya, membuktikan bahwa potret layanan kesehatan di Sumut terhadap pasien peserta JKN-KIS masih buruk. Seolah pasien BPJS Kesehatan itu tidak bayar. Padahal, pasien peserta program JKN-KIS itu bukan gratis.

“Untuk BPJS Kesehatan sendiri juga masih banyak dikeluhkan masyarakat. Hal itu terkait kurangnya informasi mengenai layanan BPJS Kesehatan, adanya perbedaan pelayanan bagi peserta dengan pasien umum di faskes, kualitas obat BPJS Kesehatan dipertanyakan masyarakat, jangka waktu rawat bagi peserta juga dianggap kurang jelas. Ada pasien yang sudah disuruh pulang meski belum sembuh,” papar Abyadi.

Ia menegaskan, masyarakat sebagai peserta JKN-KIS tentu sangat mengharapkan FKRTL di Sumut dapat memberikan layanan kesehatan. Hal ini sebagaimana diamanahkan dalam Undang-undang Nomor 36 tahun 2019 tentang Kesehatan, yakni layanan kesehatan yang efisien, terjangkau dan merata, yang bermutu dan aman.

Abyadi mengingatkan, FKRTL juga harus menerapkan nilai-nilai perilaku pelaksanaan layanan publik sesuai pasal 34 Undang-undang Nomor 25 tahun 2009. Layanan kesehatan harus adil dan tidak diskriminatif, menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas, integritas, moralitas dan kejujuran, cermat, profesional, taat azas/norma dan tidak menyimpang dari prosedur.

“Untuk menjaga kualitas layanan kepada masyarakat, BPJS Kesehatan harus melakukan evaluasi dan pengawasan yang ketat terhadap unit-unit layanan kesehatan yang menjadi mitra kerjasama. BPJS Kesehatan harus berani dan tegas jika menemukan ada FKRTL yang menyimpang dan diskriminatif terhadap pasien JKN-KIS. Harus ada teguran atau bahkan pemutusan hubungan kerjasama bila pelanggraan yang dilakukan cukup parah,” cetus Abyadi.

Lebih lanjut dia mengatakan, karena masih buruknya layanan kesehatan di Sumut, banyak pasien yang berasal dari kalangan mampu akhirnya lebih memilih untuk berobat ke luar negeri, seperti ke Malaysia maupun Singapura. Data dari Malaysia Healthcare Travel Council (MHTC), setidaknya ada sekitar 670 ribu orang Indonesia yang berobat ke rumah sakit-rumah sakit di Malaysia tahun 2018. Kebanyakan dari Medan, Surabaya, Jakarta.

“Informasi dari Kepala Dinas Pariwisata Kota Medan beberapa waktu lalu menyebutkan, ada sekitar 300.000 warga Sumut berobat ke Penang, Malaysia. Apabila tiap orang membawa Rp25 juta ke Penang, maka ada Rp7,5 triliun uang warga Sumut pindah ke Malaysia. Lantas kenapa banyak warga Sumut berobat ke LN? Salah satu jawaban yang paling logis adalah karena kualitas layanan kesehatan di daerah ini yang belum baik,” pungkasnya. (ris/ila)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/