26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

BPOM Akui Tak Pernah Lakukan Uji Cemaran EG dan DEG, Kemenkes Sudah Simpulkan Penyebab AKI

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – PRESIDEN Joko Widodo kemarin (24/10), memanggil Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mengetahui perkembangan kasus acute kidney injury (AKI) atau gangguan ginjal akut misterus. Dalam kesempatan itu, Kemenkes membeberkan bahwa telah melakukan berbagai upaya untuk mengetahui penyebab penyakit ini.

Usai bertemu Presiden, Budi menjelaskan, jumlah kasus tersebut sudah mulai naik sejak Agustus lalu. Meski sudah mulai ada laporan sejak Januari. Sejak ada lonjakan kasus, Kemenkes sudah melakukan reviu dengan cara patologi atau mengetahui bagaimana penyakit tersebut terjadi. “Jadi kami lakukan (penelitian) laboratoium patologi,” tuturnya.

Hal ini dikarenakan ada kecurigaan AKI disebabkan virus, bakteri, atau parasit. Tes patologi berlangsung sampai September. Tes ini dilakukan pada pasien yang teridentifikasi memiliki gejala serupa. Leptospira dan Covid-19 mulanya diduga menjadi biang. Namun hasilnya, kecil sekali disebabkan virus atau bakteri.

Pada 5 Oktober, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan surat yang isinya peringatan kasus di Gambia, Afrika. Setelah membaca peringatan WHO itu, ada sedikit titik terang. Sebab WHO telah menyebut ada dugaan anak-anak di Gambia meninggal karena AKI pasca minum obat yang mengandung etilena glikol (EG) atau dietilena glikol (DEG). “Sesudah itu kami komunikasi dengan WHO dan Pemerintah Gambia,” ujar Budi.

Kementerian Kesehatan lalu melakukan analisa toksikologi untuk melihat dampak buruk dari zat kimia yang masuk dalam tubuh. Setelah dilakukan pengujian pada darah sepuluh anak yang terpapar AKI, ada tujuh yang mengandung EG dan DEG. Kemenkes juga memeriksa pasien yang meninggal dengan cara biopsi atau pengambilan sampel. Yang diambil adalah ginjalnya. “Setelah kami cek, 100 persen memang terjadi kerusakan ginjal sesuai ciri ciri yang disebabkan zat kimia ini,” kata Budi.

Upaya lainnya, Kemenkes mendatangi rumah pasien yang memiliki gejala AKI. Ini untuk melihat obat apa yang digunakan atau pernah diminum. “Di rumah pasien, ditemukan sebagian besar obat-obatan yang mengandung senyawa itu,” ucapnya.

Dengan beberapa langkah yang sudah dilakukan Kemenkes, Budi menyimpulkan, obat yang mengandung EG dan DEG menjadi biangnya. EG dan DEG ini merupakan cemaran dari propilena glikol, polietilena glikol, sorbitol, dan gliserin atau gliserol. Sebenarnya cemaran EG dan DEG tidak bisa dinolkan. Namun sesuai dengan Farmakope dan standar baku nasional, ambang batas aman atau tolerable daily intake (TDI) untuk cemaran EG dan DEG adalah 0,5 mg/kg berat badang perhari.

Kementerian Kesehatan beberapa hari lalu telah melarang menggunakan seluruh obat yang berbentuk sirup. Menurut Budi larangan ini efektif. Sebab ada penurunan jumlah pasien yang masuk ke rumah sakit.

Kepala BPOM Penny K Lukito pada kesempatan yang sama menyatakan, lembaganya telah melakukan pengujian obat-obatan yang diduga ada cemaran EG dan DEG. Selanjutnya Penny membeberkan lembaganya sudah mendapatkan dua industri farmasi yang akan ditindaklanjuti ke ranah pidana.

Artinya, ada tindakan yang menyebabkan cemaran EG dan DEG lebih dari ambang batas. Bahkan Penny menyebut kandungan EG dan DEG sangat tinggi dan bisa menyebabkan kerusakan ginjal akut. “Jadi kedeputian IV bidang penindakan sudah kami tugaskan untuk masuk ke industri farmasi tersebut berkerja sama dengan kepolisian,” ungkapnya. Penyelidikan yang merujuk pada pidana pun segera dilakukan.

Penny menyatakan, lembaganya mengambil sampel secara rutin. Saat registrasi produk obat, bahan baku yang digunakan harus dilaporkan. Pelaku usaha menurut Penny juga harus dilakukan pengujian sampel secara mandiri. “Nah khusus untuk cemaran EG dan DEG sampai saat ini di dunia internasional belum ada standar yang untuk mengatakan untuk diuji. Itulah kenapa kita tidak pernah menguji,” ujar Penny.

Dia juga juga sudah meminta untuk penarikan obat yang mengandung EG dan DEG yang tidak sesuai dengan batas aman. Penarikan dilakukan oleh produsen dan dilaporkan ke BPOM.

Seret Industri Nakal ke Bui

Sementara Kadivhumas POlri Irjen Dedi Prasetyo menuturkan, tim gabungan telah bekerja untuk mendalami hasil laboratorium terhadpa berbagai obat yang diduga menjadi penyebab gagal ginjal akut. Posisinya saat ini sudah mendapatkan sampel dari Kementerian Kesehatan. Seperti urine, darah dan sampel obat. “Semua sampel dari Kemenkes ya,” paparnya.

Penyidik kasus tersebut gabungan dari Direktorat Tindak Pidana Narkoba (Dittipid Narkoba), Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter), Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus), dan Direktorat Tindak PIdana Umum (Dittipidum). Serta, dari Pusat Laboratorium Forensik (Pulabfor). “Kasus dalam status penyelidikan,” terangnya.

Menurutnya, bila kasus tersebut naik status dari penyelidikan ke penyidikan, tentnya akan kembali diinformasikan. Yang pasti menyelidikan kemungkinan adanya kelalaian dalam kasus tersebut. “Begitu dulu ya,” paparnya di kantor Divhumas Polri kemarin.

Terpisah, kematian 141 anak akibat AKI turut mendapat perhatian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Meski mengapresiasi langkah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam upaya penanganan kasus, KemenPPPA tetap mendesak adanya investigasi menyeluruh terhadap kasus ini.

Sehingga, dapat dipastikan penyebab penyakit misterius ini dan tak ada lagi korban. “Dan dapat dijatuhkan sanksi tegas apabila ada kelalaian atau pelanggaran dalam kasus ini,” ujar Plt Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA Rini Handayani, di Jakarta, Senin (24/10).

Rini juga menegaskan perlunya mengusut tuntas dari hulu ke hilir penyebab kejadian ini. Dengan begitu, dapat dijadikan bahan evaluasi sekaligus menjamin produksi dan peredaran obat-obatan sesuai aturan.

Ia mengingatkan, bahwa sesuai dengan amanat Undang – Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak wajib dilindungi agar terpenuhi hak-haknya untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal. Selaras dengan Konvensi Hak Anak sebagaimana termuat pada pasal 24, yang menyatakan anak berhak untuk menikmati status kesehatan tertinggi yang dapat dicapai untuk memperoleh sarana-sarana perawatan penyakit dan pemulihan kesehatan. “Pemerintah akan terus melakukan langkah-langkah penanganan terbaik terhadap kasus gagal ginjal akut ini,” tuturnya.

Masyarakat, terutama orang tua turut diimbau untuk tidak panik dan mengikuti perkembangan terbaru mengenai penyakit ini melalui kana-kanal resmi pemerintah. Selain itu, orang tua diharapkan selalu menjaga kesehatan anak dan memberikan gizi terbaik bagi anak sebagai upaya preventif agar anak tidak mudah terserang penyakit. “Kami juga menghimbau masyarakat pro-aktif melaporkan jika ada kasus anak yang mengalami gagal ginjal di lingkungannya,” katanya.

Termasuk, jika mengetahui adanya apotik atau layanan kesehatan yang masih mengedarkan obat-obat sirup terlarang. Laporan dapat melalui 245 Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) yang tersebar di 218 kab/kota.

Selain itu, masyarakat juga dapat memanfaatkan layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) melalui hotline 021-129 atau WhatsApp 08111-129-129 yang siap menerima informasi keluhan masyarakat dan menindaklanjuti koordinasi dengan Kemenkes. (mia/lum/idr/lyn/jpg)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – PRESIDEN Joko Widodo kemarin (24/10), memanggil Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mengetahui perkembangan kasus acute kidney injury (AKI) atau gangguan ginjal akut misterus. Dalam kesempatan itu, Kemenkes membeberkan bahwa telah melakukan berbagai upaya untuk mengetahui penyebab penyakit ini.

Usai bertemu Presiden, Budi menjelaskan, jumlah kasus tersebut sudah mulai naik sejak Agustus lalu. Meski sudah mulai ada laporan sejak Januari. Sejak ada lonjakan kasus, Kemenkes sudah melakukan reviu dengan cara patologi atau mengetahui bagaimana penyakit tersebut terjadi. “Jadi kami lakukan (penelitian) laboratoium patologi,” tuturnya.

Hal ini dikarenakan ada kecurigaan AKI disebabkan virus, bakteri, atau parasit. Tes patologi berlangsung sampai September. Tes ini dilakukan pada pasien yang teridentifikasi memiliki gejala serupa. Leptospira dan Covid-19 mulanya diduga menjadi biang. Namun hasilnya, kecil sekali disebabkan virus atau bakteri.

Pada 5 Oktober, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan surat yang isinya peringatan kasus di Gambia, Afrika. Setelah membaca peringatan WHO itu, ada sedikit titik terang. Sebab WHO telah menyebut ada dugaan anak-anak di Gambia meninggal karena AKI pasca minum obat yang mengandung etilena glikol (EG) atau dietilena glikol (DEG). “Sesudah itu kami komunikasi dengan WHO dan Pemerintah Gambia,” ujar Budi.

Kementerian Kesehatan lalu melakukan analisa toksikologi untuk melihat dampak buruk dari zat kimia yang masuk dalam tubuh. Setelah dilakukan pengujian pada darah sepuluh anak yang terpapar AKI, ada tujuh yang mengandung EG dan DEG. Kemenkes juga memeriksa pasien yang meninggal dengan cara biopsi atau pengambilan sampel. Yang diambil adalah ginjalnya. “Setelah kami cek, 100 persen memang terjadi kerusakan ginjal sesuai ciri ciri yang disebabkan zat kimia ini,” kata Budi.

Upaya lainnya, Kemenkes mendatangi rumah pasien yang memiliki gejala AKI. Ini untuk melihat obat apa yang digunakan atau pernah diminum. “Di rumah pasien, ditemukan sebagian besar obat-obatan yang mengandung senyawa itu,” ucapnya.

Dengan beberapa langkah yang sudah dilakukan Kemenkes, Budi menyimpulkan, obat yang mengandung EG dan DEG menjadi biangnya. EG dan DEG ini merupakan cemaran dari propilena glikol, polietilena glikol, sorbitol, dan gliserin atau gliserol. Sebenarnya cemaran EG dan DEG tidak bisa dinolkan. Namun sesuai dengan Farmakope dan standar baku nasional, ambang batas aman atau tolerable daily intake (TDI) untuk cemaran EG dan DEG adalah 0,5 mg/kg berat badang perhari.

Kementerian Kesehatan beberapa hari lalu telah melarang menggunakan seluruh obat yang berbentuk sirup. Menurut Budi larangan ini efektif. Sebab ada penurunan jumlah pasien yang masuk ke rumah sakit.

Kepala BPOM Penny K Lukito pada kesempatan yang sama menyatakan, lembaganya telah melakukan pengujian obat-obatan yang diduga ada cemaran EG dan DEG. Selanjutnya Penny membeberkan lembaganya sudah mendapatkan dua industri farmasi yang akan ditindaklanjuti ke ranah pidana.

Artinya, ada tindakan yang menyebabkan cemaran EG dan DEG lebih dari ambang batas. Bahkan Penny menyebut kandungan EG dan DEG sangat tinggi dan bisa menyebabkan kerusakan ginjal akut. “Jadi kedeputian IV bidang penindakan sudah kami tugaskan untuk masuk ke industri farmasi tersebut berkerja sama dengan kepolisian,” ungkapnya. Penyelidikan yang merujuk pada pidana pun segera dilakukan.

Penny menyatakan, lembaganya mengambil sampel secara rutin. Saat registrasi produk obat, bahan baku yang digunakan harus dilaporkan. Pelaku usaha menurut Penny juga harus dilakukan pengujian sampel secara mandiri. “Nah khusus untuk cemaran EG dan DEG sampai saat ini di dunia internasional belum ada standar yang untuk mengatakan untuk diuji. Itulah kenapa kita tidak pernah menguji,” ujar Penny.

Dia juga juga sudah meminta untuk penarikan obat yang mengandung EG dan DEG yang tidak sesuai dengan batas aman. Penarikan dilakukan oleh produsen dan dilaporkan ke BPOM.

Seret Industri Nakal ke Bui

Sementara Kadivhumas POlri Irjen Dedi Prasetyo menuturkan, tim gabungan telah bekerja untuk mendalami hasil laboratorium terhadpa berbagai obat yang diduga menjadi penyebab gagal ginjal akut. Posisinya saat ini sudah mendapatkan sampel dari Kementerian Kesehatan. Seperti urine, darah dan sampel obat. “Semua sampel dari Kemenkes ya,” paparnya.

Penyidik kasus tersebut gabungan dari Direktorat Tindak Pidana Narkoba (Dittipid Narkoba), Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter), Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus), dan Direktorat Tindak PIdana Umum (Dittipidum). Serta, dari Pusat Laboratorium Forensik (Pulabfor). “Kasus dalam status penyelidikan,” terangnya.

Menurutnya, bila kasus tersebut naik status dari penyelidikan ke penyidikan, tentnya akan kembali diinformasikan. Yang pasti menyelidikan kemungkinan adanya kelalaian dalam kasus tersebut. “Begitu dulu ya,” paparnya di kantor Divhumas Polri kemarin.

Terpisah, kematian 141 anak akibat AKI turut mendapat perhatian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Meski mengapresiasi langkah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam upaya penanganan kasus, KemenPPPA tetap mendesak adanya investigasi menyeluruh terhadap kasus ini.

Sehingga, dapat dipastikan penyebab penyakit misterius ini dan tak ada lagi korban. “Dan dapat dijatuhkan sanksi tegas apabila ada kelalaian atau pelanggaran dalam kasus ini,” ujar Plt Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA Rini Handayani, di Jakarta, Senin (24/10).

Rini juga menegaskan perlunya mengusut tuntas dari hulu ke hilir penyebab kejadian ini. Dengan begitu, dapat dijadikan bahan evaluasi sekaligus menjamin produksi dan peredaran obat-obatan sesuai aturan.

Ia mengingatkan, bahwa sesuai dengan amanat Undang – Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak wajib dilindungi agar terpenuhi hak-haknya untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal. Selaras dengan Konvensi Hak Anak sebagaimana termuat pada pasal 24, yang menyatakan anak berhak untuk menikmati status kesehatan tertinggi yang dapat dicapai untuk memperoleh sarana-sarana perawatan penyakit dan pemulihan kesehatan. “Pemerintah akan terus melakukan langkah-langkah penanganan terbaik terhadap kasus gagal ginjal akut ini,” tuturnya.

Masyarakat, terutama orang tua turut diimbau untuk tidak panik dan mengikuti perkembangan terbaru mengenai penyakit ini melalui kana-kanal resmi pemerintah. Selain itu, orang tua diharapkan selalu menjaga kesehatan anak dan memberikan gizi terbaik bagi anak sebagai upaya preventif agar anak tidak mudah terserang penyakit. “Kami juga menghimbau masyarakat pro-aktif melaporkan jika ada kasus anak yang mengalami gagal ginjal di lingkungannya,” katanya.

Termasuk, jika mengetahui adanya apotik atau layanan kesehatan yang masih mengedarkan obat-obat sirup terlarang. Laporan dapat melalui 245 Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) yang tersebar di 218 kab/kota.

Selain itu, masyarakat juga dapat memanfaatkan layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) melalui hotline 021-129 atau WhatsApp 08111-129-129 yang siap menerima informasi keluhan masyarakat dan menindaklanjuti koordinasi dengan Kemenkes. (mia/lum/idr/lyn/jpg)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/