MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pengamat Hukum Sangap Surbakti SH MH berpendapat kasus yang menimpa Adelin Lis atas vonis sangkaan melakukan pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara, merupakan utang besar dunia hukum Indonesia yang harus dibayar atau diselesaikan.
“Kasus yang menimpa Adelin Lis mantan Direktur Keuangan/Umum PT KeangNam Development Indonesia merupakan preseden buruk hukum Indonesia. Sebab yang bersangkutan menjadi korban ketidakadilan, menjalani hukuman yang tidak sepantasnya diterima. Karena itu Mahkamah Agung bahkan Presiden pantas memberi perhatian khusus, meluluskan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya beserta pihak keluarga,” ujar Sangap saat dihubungi terkait masih hangatnya pembicaraan soal kasus Adelin Lis, Minggu (3/9).
Sangap, putra asal Sumut yang kini berprofesi di Jakarta menegaskan, vonis yang dijatuhkan pada Adelin Lis banyak menimbulkan kejanggalan. Bahkan terkesan bagai akrobat hukum.
Dikatakan demikian karena Adelin Lis yang sempat divonis bebas tahun 2007, akhirnya dihukum 10 tahun penjara pada oleh PN Medan setelah Jaksa melakukan kasasi. Dia dinyatakan bersalah melakukan penebangan kayu di luar blok Rencana Kerja Tahunan (RKT). Padahal lokasi penebangan itu masih dalam areal izin milik HPH/IUPHHK PT KeangNam.
Menurut Sangap, vonis terhadap Adelin Lis dengan sangkaan melakukan penebangan liar jelas keliru. Sebab yang bersangkutan adalah Direktur Keuangan yang tugasnya sebatas mengatur lalulintas keuangan dan cash flow perusahaan yang bertanggungjawab kepada Dirut perusahaan, bukan soal tebang menebang pohon atau lahan.
Sementara terhadap organ/perseorangan di tubuh perusahaan yang berhubungan dengan lahan, malah terbebas dari hukuman meski awalnya sempat menjalani pemeriksaan dengan berkas dibuat terpisah. Sebut saja seperti Manajer Camp dinyatakan bebas oleh PN Madina karena dinilai bukan perkara pidana melainkan hanya pelanggara sanksi administrasi saja.
Demikian juga terhadap Direktur Produksi/Perencanaan Washington Pane dinyatakan bebas oleh PN Madina, dengan alasan yang sama seperti Manager Camp. Terhadap Dirut Ir Oscar A Sipayung hanya sampai proses penyidikan. Sementara kepada Komisaris Ir Harsono justru tidak ada penyelidikan sama sekali. Sedangkan Komisaris Utama Adenan Lis bebas karena mendapat SP3 dari Poldasu.
“Inilah yang disebut akrobat hukum tadi. Sebab terhadap kasus yang sama hanya satu orang yang bertanggungjawab menjalani hukuman yakni Adelin Lis,” ujar Sangap.
Sisi anehnya lagi dalam kasus ini, tambah Sangap, vonis terhadap Adelin Lis adalah penebangan kayu di luar blok Rencana Kerja Tahunan (RKT). Sangap berpendapat, vonis yang dituduhkan ini tidak pantas menjadikan Adelin Lis harus menjalani hukuman pidana selama 10 tahun. Sebab lokasi penebangan itu masih dalam areal izin milik HPH/IUPHHK PT KeangNam. Artinya yang dilakukan bukan pembalakan liar atau illegal logging.
Sebelumnya, mantan Menteri Kehutanan MS Kaban yang sempat menjadi saksi dalam kasus ini, dan ia juga pernah berbicara dalam salah satu podcast terkait hal ini, ditegaskan bahwa yang disebut Illegal Logging adalah penebangan yang dilakukan tanpa izin dari Pemerintah.
Sementara PT KeangNam Development Indonesia adalah perusahaan yang mendapat izin resmi, dan juga memiliki izin memiliki penebangan dari Pemerintah. Bahkan, PT Keangnam Dev Indonesia adalah perusahaan berpatungan dengan BUMN PT Inhutani IV .”Jadi kalaupun ada kesalahan seperti amar putusan, tidak lebih daripada kesalahan administrasi,” tambah Sangap.
Ketika disinggung apakah vonis terhadap Adelin Lis semata-mata karena bentuk kekesalan atau kedongkolan aparat hukum karena menilai terpidana sebelumnya sengaja melarikan diri dan sempat dinyatakan DPO? Sangap menegaskan, hal tersebut juga sangat tidak pantas untuk menjadi dasar atas alasan menjatuhkan hukuman.
“Kalau hal ini benar dijadikan sebagai alasan, justru lebih mencoreng harkat dan martabat hukum di tanah air. Sebab seseorang dinyatakan bersalah harus sesuai dengan tindak kejahatannya,dan dihukum berdasarkan pasal maupun aturan yang berlaku,” ujarnya.
“Hukum di Indonesia sudah melakukan kesalahan bahkan dosa besar terhadap Adelin Lis dan juga keluarganya. Sama seperti yang pernah terjadi di era 1970-an di tanah air yang dikenal dengan kasus Sengkon-Karta, yang akhirnya terpidana dinyatakan bebas,” sebutnya.
Sebab itu Sangap menilai, demi tegaknya marwah dan wibawa di hukum di Republik Indonesia yang berdaulat ini, para petinggi hukum harus menebus hutang kesalahan yang dilakukan terhadap Adelin Lis dengan menerima PK yang telah diajukan.
“Sebab memperbaiki kesalahan untuk kebenaran bukan hal memalukan, melainkan perbuatan mulia, sehingga di masa mendatang kasus ini tidak menjadi preseden buruk hukum Indonesia di mata anak cucu kita,” pungkasnya. (rel/dek)