Anak itu merasa gamang. Langkahnya terhenti. Dia tampak gugup. Di
depannya eskalator atawa tangga jalan terus berputar. Dia tak berani
meletakan kakinya di anak tangga yang terus berputar itu.
Begitulah, Sabtu siang kemarin saya melihat anak itu di pusat perbelanjaan yang berada di seberang Masjid Raya Medan. Dia tidak sendirian. Dia berdua dengan temannya. Dan, dia tertinggal di lantai tiga: tepat di hadapannya eskalator yang terus bergerak. Temannya, yang berkostum sama dengannya — sama-sama baju merah —telah berada di lantai dua. Temannya itu tertawa. “Ayo cepat!” teriak temannya itu. Anak itu tidak juga bergerak. Pandangannya benar-benar menunjukan rasa takut. Sempat terlihat dia berusaha nekat; mencoba melangkahkan kaki kanannya di anak tangga yang bergerak, tapi dia urungkan. Dia kembali bersikap siap ala tentara yang sedang apel pagi. Dia kemudian melirik kanan-kiri. Saat itulah mata kami beradu. Saya memang berada di lantai dua, di sebuah tempat jualan minuman dan makanan ringan, tepat di sisi eskalator itu. Begitu mata kami beradu, saya melihat dia makin salah tingkah. Sumpah saya tidak mengejeknya atau menertawakan ketakutannya itu. Saya merasa iba. Sayang, apa yang saya rasakan pastinya tak sampai ke otaknya.
Anak itu kemudian berteriak pada rekannya yang berada di bawah. Tak jelas apa yang diucapkannya, sepertinya dia berteriak tidak dengan sungguh-sungguh. Mungkin, dia tak ingin teriakannya itu didengar orang lain; mungkin takut terdengar oleh saya. Temannya yang berada di bawah tertawa. Tidak sekadar tawa, temannya itu terpingkal. Sumpah, melihat adegan itu saya merasa kasihan. Terbayang dalam otak saya seperti apa panik yang menghinggapi anak yang tak berani naik eskalator itu.
Sekali lagi sumpah, saya paham dengan penderitaan itu. Dulu, ketika masih kecil, ketika masih tinggal di Langsa, saya pun pernah merasakan hal yang sama. Ceritanya, saat itu orangtua sering mengajak saya ke Medan. Dan, setiap ke Medan, kami biasanya ke sebuah plasa yang pada zaman itu cukup populer: Deli Plasa. Awal-awal kunjungan ke plasa yang kini tinggal bangkainya itu saya tak berani menaiki eskalator. Entahlah…, sepertinya tangga jalan itu bak monster dalam novel-novel Ghostbump karya RL Stine. Ya, tangga-tangga itu sepertinya bisa menelan saya dan kemudian membawa saya ke dunia lain yang memiliki kerumitan tersendiri.
Beruntung saat itu saya ditemani orangtua. Ada yang menuntun saya dan memberikan motivasi. Setelah dua kali kunjungan ke plasa itu, akhirnya saya berani melangkah sendiri di atas anak tangga yang terus bergerak tersebut. Hore!
Kembali ke anak tadi, dia makin pucat. Kawannya terus terpingkal. Saya perhatikan, adegan itu berjalan selama tiga sampai limat menit. Fiuh,sebuah waktu yang panjang untuk menikmati rasa panik bukan?
Eits, kawan anak itu bergerak naik. Sigap dia lompati anak tangga. Dia bergerak ke atas sambil tertawa. Sementara anak yang tak berani melangkah melihat temannya itu dengan suntuk, sama sekali tidak ada tatapan takjub melihat atraksi yang ditunjukan rekannya. Dan, sesaat kemudian mereka berdua telah berdampingan di lantai tiga. Si anak yang panik langsung memukul kawannya. Sang kawan tertawa. Setelah basa-basi panik tadi, mereka berdua langsung berjalan. Melewati supermarket yang berada di lantai tiga itu. Ya, di dekat situ memang ada tangga turun: tangga yang tidak bergerak. Mereka turun dengan langkah yang nyaman. Ujung tangga itu tepat di dekat ‘kafe’ tempat saya duduk. Mata anak yang takut tadi beradu lagi dengan mata saya. Dia salah tingkah lagi. Tapi, salah tingkahnya beda, tidak salah tingkah panik. Kali ini salah tingkah menjurus ke arah malu: bak gadis remaja yang baru terlihat celana dalamnya oleh seorang lelaki sebaya. Hm….
Dan, kedua anak itu langsung cicing. Berputar melewati barisan baju-baju wanita yang dipajang. Lalu, menuruni tangga yang tak bergerak sambil berlari. Ya, sama sekali tak ada rasa sungkan yang terlihat dari gerak mereka ketika menuruni tangga menuju lantai satu itu: tangga yang berada tepat di depan saya. Setelah itu, mereka pun hilang dari pandangan. Fiuh…
Pengalaman kemarin cukup membuat otak saya bekerja. Bagaimana tidak. nKetika zaman yang telah begitu majunya, ternyata masih ada anak yang ketakutan menikmati kemudahan yang diberikan teknologi. Apa yang salah? Apakah ini menunjukan ketidakseragaman nikmat yang dirasakan setiap anak di Medan ini? Ayolah, eskalator bukan lagi benda yang aneh dan baru bukan?
Ketakutan yang dirasakan anak tadi bagi saya bukanlah buah dari trauma. Maksud saya, ketika seseorang pernah merasakan sesuatu yang menakutkan, maka dia akan menolak untuk melakukan sesuatu yang bisa menimbulkan ketakutan yang sama bukan? Nah, anak tadi saya duga bukan karena trauma pada eskalator, tapi lebih pada jarang menggunakan alatitu. Sementara kawannya sudah sangat sering: saya menduga temannya itu yang mengajaknya dan ingin menunjukan padanya soal eskalator tersebut.
Tapi sudahlah, peristiwa sejatinya sangat wajar. Saya tak berusaha menyalahkan siapapun. Saya hanya berpikir, ketika semua anak memiliki kesempatan yang sama, maka hal itu sangat mungkin tidak terjadi bukan? Jadi, pertanyaannya, kenapa kedua anak itu tidak memiliki kesempatan yang sama, sementara mereka sebaya. Apakah latar belakang ekonomi keluarga mereka bisa dijadikan penentu? Hm, bisa saja. Semakin kaya seseorang, kesempatan untuk pergi ke pusat perbelanjaan akan semakin banyak kan? Nah, tentunya semakin sering menggunakan eskalator.
Tapi, darimana saya tahu latar belakang ekonomi mereka, orangtua mereka saja tak terlihat? Tapi, bukankah ketidaksamaan mereka juga bisa dilihat dari berbagai sisi. Ya, tidak sekadar urusan ekonomi meski lokasi kejadian berada di pusat perbelanjaan. Bisa saja ini menyangkut mental, latar belakang karakter, hingga sosial budayatempat mereka tinggal.
Entahlah… Yang jelas, kedua anak tadi memang mengajak saya berpikir tentang itu. Ya, tentang masa kecil yang menyenangkan. Nanti, ketika anak tadi besar, dia pasti terkenang dengan ketakutannya itu. Ya, seperti saya saat ini yang dengan nyantainya melantunkan kejadian tersebut. Semoga saja dia mampu menuliskan itu di masa mendatang. Dan, makin menyenangkan kalau tulisannya itu memasukan sosok saya yang mungkin dianggapnya sebagai tokoh pengganggu usahanya belajar menaiki eskalator. Yeahhhh. (*)