26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Dalam Lipatan Seragam

Puuih! Semburan cairan merah meluncur deras dari sela-sela gigi nenekku. Percikan cairan merah itu mengenai kakiku, meninggalkan bekas seperti totol-totol berwarna merah. “Kamu itu harus jadi Pe-eN-eS!”  kata nenekku berapi-api dengan pengejaan yang terpatah-patah.

Cerpen  Anggraini Noor

Lalu puuihh! Semburan cairan merah itu kembali meluncur deras dari sela-sela giginya yang juga ikut memerah disebabkan sirih pinang yang dikunyahnya. Kedua tangannya bekerja keras mengambil sedikit tembakau hitam dari dalam plastik kecil berwarna merah. Tangan kirinya menekan plastik sedang tangan kanannya menarik sedikit demi sedikit tembakau dari  tumpukannya, lalu ia gunakan untuk menggosok-gosok giginya yang beberapa gerahamnya sudah tanggal. Aku menggerutu kesal sebab percikan cairan merah tadi kembali mengenai kakiku. Kuhentak-hentakkan kakiku bermaksud protes sebab tingkah nenek, namun nenek hanya terkekeh menyaksikan ulahku.

Warna kemerahan itu perlahan memudar, digantikan sembulan deretan mutiara putih mengilat, gigi nenekku yang telah dibersihkan dengan tembakau hitam tadi. Sering kudengar, nenek menyebutnya tembakau susut. Rupanya persis sama dengan tembakau yang dipakai untuk merokok, hanya saja warnanya lebih cokelat kehitaman dan teksturnya sedikit agak keras.

Setiap kali aku pulang dan bertamu ke rumah nenek, selalu saja itu yang ia bicarakan. Bahwa aku harus menjadi PNS. Tak pernah ia bertanya kapan kuliahku selesai. Ah! Barangkali saja nenekku pun tak tahu apa itu kuliah. Nenekku hanya tahu bahwa aku bersekolah tinggi dan tentunya kelak akan menjadi PNS. Bahwa katanya, dengan menjadi PNS, masa depan gilang gemilang menanti di depan mata. Tak perlu susah payah mencari pekerjaan lain lagi. Penampilan necis dengan seragam rapi. Santai namun seumur hidup akan terjamin.

“Kalau kamu tua nanti, kamu sudah ada uang pensiunan,” jelasnya suatu ketika. Bisa kukatakan ia sok tahu. Sebab, aku tahu nenekku tak pernah mengenyam bangku sekolah. Pekerjaannya sehari-hari hanya menganyam tikar pandan di beranda rumahnya, yang pandannya ia dapat dari kebun peninggalan almarhum kakek yang tak seberapa luasnya. Hasilnya ia jual dengan cara menitipkannya kepada tetangga yang kebetulan sedang ke pasar. Atau ia gunakan sendiri sebagai alas tidur. Kadang pula ia berikan sebagai alas untuk mengaji anak-anak di musholla sebelah rumahnya. Pengetahuannya tentang seluk beluk PNS hanya dari mulut ke mulut. Bahwa anaknya Bu Lale sudah lulus tes penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) lalu sekarang sudah menikah dan hidupnya mapan. Sedang anak Bu Ida baru saja lulus. Lalu ada juga anak Bu Ating yang sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti tes.

“Lihat si Sarkum,” tunjuk nenekku kemudian, dengan anggukan kepala melihat ke rumah di seberang jalan sempit depan rumah nenek. Aku tak menyahut. Kuarahkan pandanganku menuju arah anggukan kepala nenek. Di sana, kulihat si Sarkum, kakak kelasku waktu SD dulu, yang kini bekerja sebagai tenaga honorer di sebuah sekolah, sedang mematut-matut diri di depan kaca jendela rumahnya, merapikan kerah kemeja kotak-kotaknya. Kualihkan pandanganku pada nenek,  ia tengah tersenyum-senyum sendiri. Wajahnya sumringah. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum manis hingga pipinya makin terlihat peyot.

Alisku mengernyit bermaksud menanyakan perihal si Sarkum pada nenek.

“Itu enaknya jadi Pe-eN-eS. Setiap saat selalu rapi dengan dandanan necis,” sahut nenekku sambil terus tersenyum.  Dahiku semakin mengkerut demi mendengar ucapan nenek. Ia mengira bahwa setiap orang yang berseragam rapi pasti seorang PNS. “Makanya, kamu sekolah tinggi-tinggi biar jadi Pe-eN-eS seperti si Sarkum,” lanjutnya  sambil terus menyaksikan gelagat Sarkum di seberang jalan sempit itu.
***

“Aku pengen jadi penulis, Nek,” bantahku suatu kali sebab tak tahan dengan tuntutan nenek yang memintaku untuk menjadi seorang PNS. Tak pernah sedikitpun terbersit niat untuk menjadi seorang pegawai negeri. Selain karena aku tak suka dengan keterikatan, aku pun tak punya link untuk bisa secepatnya memenuhi permintaan nenek jika kelak kuliahku usai seperti sering kudengar dari teman-temanku. “Biar cepet lulus, kamu harus punya jaringan,” kata temanku yang kini telah jadi PNS. Meski dia sendiri mengaku bahwa lolosnya dalam tes CPNS adalah murni hasil jerih payahnya, tanpa campur tangan pihak tertentu. Aku sendiri tak tahu menahu soal adanya campur tangan atau tidak, sebab aku memang tak pernah mau tahu tentang hal itu.

“Jadi, kamu belum bisa nulis sampai sekarang? Waah, gawat. Bisa-bisa kamu tidak diterima jadi Pe-eN-eS “ seketika, raut wajah nenek berubah panik demi mendengar tuturanku. Tembakau susutnya  menyembul keluar dari sela-sela kedua bibirnya, membuat bibirnya terlihat sedikit jontor. Matanya memelototiku, keningnya mengerut membuat lipatan-lipatan di pelipisnya semakin banyak bermunculan. “Apa gunanya kamu sekolah tinggi kalau menulis saja tidak bisa? Kakekmu saja yang cuma lulusan Sekolah Rakyat tulisannya bagus,” nenek membrondongku dengan nada penuh dakwaan. Matanya menatapku tajam. Kali ini ia berkacak pinggang meski dalam posisi sedang duduk selonjoran dengan kaki menyilang. Melihat reaksi nenek yang sedemikian hebatnya, aku hanya bisa tertunduk lesu. Tak sedikitpun bermaksud membela diri. Bisa fatal akibatnya kalau aku berani memotong atau sekedar menimpali omongan nenek.

Sebenarnya tak jadi soal buatku kalau saja aku tak menghiraukan permintaan nenek. Toh juga nenek sudah tua. Barangkali saja itu hanya bentuk sifat nenek yang kembali kekanakan sebab umurnya yang telah lebih dari setengah abad. Kata orang, orang tua akan kembali menjadi seperti anak-anak kalau sudah berumur. Mereka cenderung cerewet dan sering ngambekan. Jika permintaan mereka tak dituruti maka mereka akan ngambek layaknya anak kecil. Hanya saja, untuk kasus nenekku ini sedikit berbeda. Permintaannya terhadapku agar menjadi PNS tak sekali ini saja ia utarakan. Setiap kali aku pulang sepanjang masa kuliahku, selalu saja hal itu yang ia bahas pertama kali. Bahkan menurut ibuku, jauh sebelum aku masuk sekolah dasar, nenek sudah berpesan agar aku disekolahkan setinggi-tingginya agar kelak bisa jadi seorang pegawai negeri. Tak seperti ayah yang cuma jadi buruh gara-gara tak bersekolah tinggi.

“Percuma kamu sekolah tinggi kalau tak bisa jadi Pe-eN-eS,” celetuk nenek. Kedua tangannya telah kembali ke posisi semula, melanjutkan anyaman tikar pandannya yang baru setengah jadi. Suaranya sudah mulai melunak, wajahnya tak lagi terlihat tegang. Hanya saja raut wajahnya seperti menyiratkan perasaan tak suka.

Sejak peristiwa itu, kurasakan sikap nenek sedikit berubah terhadapku. Ia tak lagi cerewet, tak lagi bercerita panjang lebar tentang seorang PNS seperti yang kerap ia ceritakan kepadaku. Wajahnya sering terlihat murung. Ia lebih menikmati anyaman tikar pandannya daripada sekadar mengobrol denganku. Keberadaanku seolah tak dihiraukannya. Pengakuanku sepertinya membuat ia begitu terpukul. Baginya, pengakuanku kala itu merupakan penolakan secara halus terhadap keinginannnya.

***
Pikiranku masih terus digelayuti oleh sebuah kata yang tersusun dari 3 huruf. PNS. Ya, Pegawai Negeri Sipil, keinginan terbesar nenekku. Lalu wajah periang nenek yang kini telah berubah murung. Aku sebagai satu-satunya cucu kebanggaan dan kesayangan  nenek kini telah menorehkan luka yang mendalam baginya. Aku teringat bagaimana nenek bersusah payah mencari uang membantu orang tuaku, demi menyekolahkanku setinggi mungkin. Ia tak ingin hidupku menderita. Sebab, pekerjaan yang layak hanya diperoleh dengan bersekolah yang tinggi, kata nenekku. Dan dengan memiliki pekerjaan yang layaklah hidup akan terjamin dan dihormati. Namun yang aku tak habis pikir, kenapa harus PNS? Toh masih banyak pekerjaan lain yang gajinya lebih tinggi. Meski aku sendiri tak sepakat bahwa bersekolah hanya demi mendapat pekerjaan yang layak, seperti anggapan nenekku. Tak lebih dari itu. Namun begitulah adanya. Dan menjadi PNS adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa membuat hidup menjadi lebih enak. Membuat status sosial di mata masyarakat menjadi lebih terhormat. Setidaknya itu yang bisa sedikit kusimpulkan dari anggapan orang-orang di sekitarku, sebuah desa terpencil di sebuah kabupaten yang baru lahir. Hingga setiap tahunnya, ribuan orang  berlomba-lomba untuk bisa lolos menjadi PNS.

Hubunganku dengan nenek makin terasa renggang. Meski sering kuhabiskan waktuku di rumahnya semenjak kuliahku rampung, sikapnya tak sedikitpun berubah terhadapku. Dingin. Aku merindukan kicauan nenek tentang PNS-nya. Juga percikan cairan merah dari kunyahan sirih pinangnya saat menganyam tikar pandan di beranda rumah. Lalu ia terkekeh manakala melihat wajahku berubah cemberut sambil menggerutu sebab kesal dengan percikan merah yang mengenai kakiku.

Hingga suatu ketika, secara tak sengaja aku menemukan sepasang seragam berwarna cokelat di lemari kayu tua milik nenekku. Seragam khas seperti sering dipakai Pak Deden, salah seorang bekas pegawai kecamatan yang kini telah menjadi seorang pensiunan PNS. Di dalam lipatan seragam itu juga kutemukan selembar kertas yang rupanya adalah surat keputusan (SK) pengangkatan menjadi seorang PNS.

“Itu milik kakekmu, ia dapat sehari sebelum kecelakaan mautnya,” suara nenek yang masuk secara tiba-tiba membuatku gelagapan. Kulihat matanya berawan, lalu perlahan genangan air mata memenuhi pelupuk mata tuanya. Sesungging senyum menghias di kedua sudut bibirnya. Lalu, puuih! Percikan semburan cairan merah memenuhi kakiku. Dan nenek kembali terkekeh.

Mataram, 2 Mei 2012

Puuih! Semburan cairan merah meluncur deras dari sela-sela gigi nenekku. Percikan cairan merah itu mengenai kakiku, meninggalkan bekas seperti totol-totol berwarna merah. “Kamu itu harus jadi Pe-eN-eS!”  kata nenekku berapi-api dengan pengejaan yang terpatah-patah.

Cerpen  Anggraini Noor

Lalu puuihh! Semburan cairan merah itu kembali meluncur deras dari sela-sela giginya yang juga ikut memerah disebabkan sirih pinang yang dikunyahnya. Kedua tangannya bekerja keras mengambil sedikit tembakau hitam dari dalam plastik kecil berwarna merah. Tangan kirinya menekan plastik sedang tangan kanannya menarik sedikit demi sedikit tembakau dari  tumpukannya, lalu ia gunakan untuk menggosok-gosok giginya yang beberapa gerahamnya sudah tanggal. Aku menggerutu kesal sebab percikan cairan merah tadi kembali mengenai kakiku. Kuhentak-hentakkan kakiku bermaksud protes sebab tingkah nenek, namun nenek hanya terkekeh menyaksikan ulahku.

Warna kemerahan itu perlahan memudar, digantikan sembulan deretan mutiara putih mengilat, gigi nenekku yang telah dibersihkan dengan tembakau hitam tadi. Sering kudengar, nenek menyebutnya tembakau susut. Rupanya persis sama dengan tembakau yang dipakai untuk merokok, hanya saja warnanya lebih cokelat kehitaman dan teksturnya sedikit agak keras.

Setiap kali aku pulang dan bertamu ke rumah nenek, selalu saja itu yang ia bicarakan. Bahwa aku harus menjadi PNS. Tak pernah ia bertanya kapan kuliahku selesai. Ah! Barangkali saja nenekku pun tak tahu apa itu kuliah. Nenekku hanya tahu bahwa aku bersekolah tinggi dan tentunya kelak akan menjadi PNS. Bahwa katanya, dengan menjadi PNS, masa depan gilang gemilang menanti di depan mata. Tak perlu susah payah mencari pekerjaan lain lagi. Penampilan necis dengan seragam rapi. Santai namun seumur hidup akan terjamin.

“Kalau kamu tua nanti, kamu sudah ada uang pensiunan,” jelasnya suatu ketika. Bisa kukatakan ia sok tahu. Sebab, aku tahu nenekku tak pernah mengenyam bangku sekolah. Pekerjaannya sehari-hari hanya menganyam tikar pandan di beranda rumahnya, yang pandannya ia dapat dari kebun peninggalan almarhum kakek yang tak seberapa luasnya. Hasilnya ia jual dengan cara menitipkannya kepada tetangga yang kebetulan sedang ke pasar. Atau ia gunakan sendiri sebagai alas tidur. Kadang pula ia berikan sebagai alas untuk mengaji anak-anak di musholla sebelah rumahnya. Pengetahuannya tentang seluk beluk PNS hanya dari mulut ke mulut. Bahwa anaknya Bu Lale sudah lulus tes penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) lalu sekarang sudah menikah dan hidupnya mapan. Sedang anak Bu Ida baru saja lulus. Lalu ada juga anak Bu Ating yang sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti tes.

“Lihat si Sarkum,” tunjuk nenekku kemudian, dengan anggukan kepala melihat ke rumah di seberang jalan sempit depan rumah nenek. Aku tak menyahut. Kuarahkan pandanganku menuju arah anggukan kepala nenek. Di sana, kulihat si Sarkum, kakak kelasku waktu SD dulu, yang kini bekerja sebagai tenaga honorer di sebuah sekolah, sedang mematut-matut diri di depan kaca jendela rumahnya, merapikan kerah kemeja kotak-kotaknya. Kualihkan pandanganku pada nenek,  ia tengah tersenyum-senyum sendiri. Wajahnya sumringah. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum manis hingga pipinya makin terlihat peyot.

Alisku mengernyit bermaksud menanyakan perihal si Sarkum pada nenek.

“Itu enaknya jadi Pe-eN-eS. Setiap saat selalu rapi dengan dandanan necis,” sahut nenekku sambil terus tersenyum.  Dahiku semakin mengkerut demi mendengar ucapan nenek. Ia mengira bahwa setiap orang yang berseragam rapi pasti seorang PNS. “Makanya, kamu sekolah tinggi-tinggi biar jadi Pe-eN-eS seperti si Sarkum,” lanjutnya  sambil terus menyaksikan gelagat Sarkum di seberang jalan sempit itu.
***

“Aku pengen jadi penulis, Nek,” bantahku suatu kali sebab tak tahan dengan tuntutan nenek yang memintaku untuk menjadi seorang PNS. Tak pernah sedikitpun terbersit niat untuk menjadi seorang pegawai negeri. Selain karena aku tak suka dengan keterikatan, aku pun tak punya link untuk bisa secepatnya memenuhi permintaan nenek jika kelak kuliahku usai seperti sering kudengar dari teman-temanku. “Biar cepet lulus, kamu harus punya jaringan,” kata temanku yang kini telah jadi PNS. Meski dia sendiri mengaku bahwa lolosnya dalam tes CPNS adalah murni hasil jerih payahnya, tanpa campur tangan pihak tertentu. Aku sendiri tak tahu menahu soal adanya campur tangan atau tidak, sebab aku memang tak pernah mau tahu tentang hal itu.

“Jadi, kamu belum bisa nulis sampai sekarang? Waah, gawat. Bisa-bisa kamu tidak diterima jadi Pe-eN-eS “ seketika, raut wajah nenek berubah panik demi mendengar tuturanku. Tembakau susutnya  menyembul keluar dari sela-sela kedua bibirnya, membuat bibirnya terlihat sedikit jontor. Matanya memelototiku, keningnya mengerut membuat lipatan-lipatan di pelipisnya semakin banyak bermunculan. “Apa gunanya kamu sekolah tinggi kalau menulis saja tidak bisa? Kakekmu saja yang cuma lulusan Sekolah Rakyat tulisannya bagus,” nenek membrondongku dengan nada penuh dakwaan. Matanya menatapku tajam. Kali ini ia berkacak pinggang meski dalam posisi sedang duduk selonjoran dengan kaki menyilang. Melihat reaksi nenek yang sedemikian hebatnya, aku hanya bisa tertunduk lesu. Tak sedikitpun bermaksud membela diri. Bisa fatal akibatnya kalau aku berani memotong atau sekedar menimpali omongan nenek.

Sebenarnya tak jadi soal buatku kalau saja aku tak menghiraukan permintaan nenek. Toh juga nenek sudah tua. Barangkali saja itu hanya bentuk sifat nenek yang kembali kekanakan sebab umurnya yang telah lebih dari setengah abad. Kata orang, orang tua akan kembali menjadi seperti anak-anak kalau sudah berumur. Mereka cenderung cerewet dan sering ngambekan. Jika permintaan mereka tak dituruti maka mereka akan ngambek layaknya anak kecil. Hanya saja, untuk kasus nenekku ini sedikit berbeda. Permintaannya terhadapku agar menjadi PNS tak sekali ini saja ia utarakan. Setiap kali aku pulang sepanjang masa kuliahku, selalu saja hal itu yang ia bahas pertama kali. Bahkan menurut ibuku, jauh sebelum aku masuk sekolah dasar, nenek sudah berpesan agar aku disekolahkan setinggi-tingginya agar kelak bisa jadi seorang pegawai negeri. Tak seperti ayah yang cuma jadi buruh gara-gara tak bersekolah tinggi.

“Percuma kamu sekolah tinggi kalau tak bisa jadi Pe-eN-eS,” celetuk nenek. Kedua tangannya telah kembali ke posisi semula, melanjutkan anyaman tikar pandannya yang baru setengah jadi. Suaranya sudah mulai melunak, wajahnya tak lagi terlihat tegang. Hanya saja raut wajahnya seperti menyiratkan perasaan tak suka.

Sejak peristiwa itu, kurasakan sikap nenek sedikit berubah terhadapku. Ia tak lagi cerewet, tak lagi bercerita panjang lebar tentang seorang PNS seperti yang kerap ia ceritakan kepadaku. Wajahnya sering terlihat murung. Ia lebih menikmati anyaman tikar pandannya daripada sekadar mengobrol denganku. Keberadaanku seolah tak dihiraukannya. Pengakuanku sepertinya membuat ia begitu terpukul. Baginya, pengakuanku kala itu merupakan penolakan secara halus terhadap keinginannnya.

***
Pikiranku masih terus digelayuti oleh sebuah kata yang tersusun dari 3 huruf. PNS. Ya, Pegawai Negeri Sipil, keinginan terbesar nenekku. Lalu wajah periang nenek yang kini telah berubah murung. Aku sebagai satu-satunya cucu kebanggaan dan kesayangan  nenek kini telah menorehkan luka yang mendalam baginya. Aku teringat bagaimana nenek bersusah payah mencari uang membantu orang tuaku, demi menyekolahkanku setinggi mungkin. Ia tak ingin hidupku menderita. Sebab, pekerjaan yang layak hanya diperoleh dengan bersekolah yang tinggi, kata nenekku. Dan dengan memiliki pekerjaan yang layaklah hidup akan terjamin dan dihormati. Namun yang aku tak habis pikir, kenapa harus PNS? Toh masih banyak pekerjaan lain yang gajinya lebih tinggi. Meski aku sendiri tak sepakat bahwa bersekolah hanya demi mendapat pekerjaan yang layak, seperti anggapan nenekku. Tak lebih dari itu. Namun begitulah adanya. Dan menjadi PNS adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa membuat hidup menjadi lebih enak. Membuat status sosial di mata masyarakat menjadi lebih terhormat. Setidaknya itu yang bisa sedikit kusimpulkan dari anggapan orang-orang di sekitarku, sebuah desa terpencil di sebuah kabupaten yang baru lahir. Hingga setiap tahunnya, ribuan orang  berlomba-lomba untuk bisa lolos menjadi PNS.

Hubunganku dengan nenek makin terasa renggang. Meski sering kuhabiskan waktuku di rumahnya semenjak kuliahku rampung, sikapnya tak sedikitpun berubah terhadapku. Dingin. Aku merindukan kicauan nenek tentang PNS-nya. Juga percikan cairan merah dari kunyahan sirih pinangnya saat menganyam tikar pandan di beranda rumah. Lalu ia terkekeh manakala melihat wajahku berubah cemberut sambil menggerutu sebab kesal dengan percikan merah yang mengenai kakiku.

Hingga suatu ketika, secara tak sengaja aku menemukan sepasang seragam berwarna cokelat di lemari kayu tua milik nenekku. Seragam khas seperti sering dipakai Pak Deden, salah seorang bekas pegawai kecamatan yang kini telah menjadi seorang pensiunan PNS. Di dalam lipatan seragam itu juga kutemukan selembar kertas yang rupanya adalah surat keputusan (SK) pengangkatan menjadi seorang PNS.

“Itu milik kakekmu, ia dapat sehari sebelum kecelakaan mautnya,” suara nenek yang masuk secara tiba-tiba membuatku gelagapan. Kulihat matanya berawan, lalu perlahan genangan air mata memenuhi pelupuk mata tuanya. Sesungging senyum menghias di kedua sudut bibirnya. Lalu, puuih! Percikan semburan cairan merah memenuhi kakiku. Dan nenek kembali terkekeh.

Mataram, 2 Mei 2012

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/