28 C
Medan
Thursday, November 21, 2024
spot_img

Membentuk Komunitas Brand

MARKETING SERIES (36)

Ada dua cara bagi sebuah brand untuk berkomunitas. Pertama, masuk komunitas yang sudah ada. Kedua, membuat komunitas brand sendiri.
Tapi, berbagai mitos yang tidak sama dengan realitas mengakibatkan kegagalan.

Pertama, pembentukan komunitas brand dianggap sebagai strategi pemasaran. Yang mengurusi biasanya hanya departemen marketing. Padahal, itu strategi bisnis. Jadi, CEO yang harus turun tangan.

Ketika Harley-Davidson menetapkan brotherhood sebagai dasar komunitasnya, itu adalah keputusan bisnis, bukan pemasaran. Karena itulah, brotherhood tidak hanya terjadi di eksternal tapi juga pada internal customers. Harley Owners Group atau HOG adalah organisasi komunitas brand yang langsung melapor pada CEO!

Kedua, komunitas brand ada untuk mendukung bisnis. Padahal, komunitas brand itu diadakan untuk melayani orang-orang di dalamnya. Kalau anggota komunitas tersebut tidak merasa mendapat apa-apa di situ, komunitas akan rapuh. Orang-orang itu juga minta dikenal, dihargai, dan diikutsertakan dalam berbagai hal. Barulah mereka merasa betah dan terikat pada komunitas brand tersebut.

Ketiga, ketika brand dibangun, komunitas akan mengikuti. Dulu orang mengagumi brand yang kuat, gagah, dan perkasa. Orang lantas membentuk fans club untuk berkumpul dan bersama-sama mengagumi. Sekarang sebaliknya! Orang semakin tidak mau, brand tertentu tidak peduli komunitasnya. Semakin brand peduli pada komunitasnya, semakin kuat brand itu didukung oleh komunitas. Buatlah komunitas jadi kuat, maka brand akan kuat juga.

Keempat, adu argumen tentang sebuah brand adalah sesuatu yang baik. Itu pertanda ada perhatian dari anggota komunitas yang sama-sama peduli terhadap brand. Ketika sabun Dove melakukan kampanye tentang the real beauty, banyak perdebatan di kalangan perempuan dengan beragam tipe. Perempuan muda, perempuan kurus, perempuan estewe alias setengah tua, yang berkulit hitam, yang gemuk, semua ingin mendefinisikan the real beauty. Itu menunjukkan letupan jiwa atau anxiety and desire para perempuan tersebut bahwa mereka pun ingin bisa mencapai tingkat itu.

Kelima, opinion leader akan bisa membangun komunitas secara kuat. Kenyataannya, komunitas yang kuat adalah yang memberikan kesempatan kepada semua anggotanya untuk mengambil peranan atau role. Lihat saja Mark Zuckerberg yang mendirikan Facebook, dulunya juga nobody. Tetapi, dia tahu bagaimana membuat semua orang bisa mendirikan komunitas pribadi dengan menggunakan platform-nya. Komunitas tidak boleh dimonopoli eksekutive brand, walaupun mereka adalah pendirinya. Ajak anggota untuk berperan walaupun tetap dengan pengarahan.

Keenam, media sosial kini jadi kunci kesuksesan sebuah komunitas. Tapi, dia tak lebih dari sekadar alat, bukan strategi komunitas. Sebuah komunitas online akan rapuh tanpa ada kopi darat. Justru pertemuan-pertemuan off-line itulah yang membuat antarpersonal dalam komunitas makin kuat.
Bagaimana pendapat Anda?(*)

MARKETING SERIES (36)

Ada dua cara bagi sebuah brand untuk berkomunitas. Pertama, masuk komunitas yang sudah ada. Kedua, membuat komunitas brand sendiri.
Tapi, berbagai mitos yang tidak sama dengan realitas mengakibatkan kegagalan.

Pertama, pembentukan komunitas brand dianggap sebagai strategi pemasaran. Yang mengurusi biasanya hanya departemen marketing. Padahal, itu strategi bisnis. Jadi, CEO yang harus turun tangan.

Ketika Harley-Davidson menetapkan brotherhood sebagai dasar komunitasnya, itu adalah keputusan bisnis, bukan pemasaran. Karena itulah, brotherhood tidak hanya terjadi di eksternal tapi juga pada internal customers. Harley Owners Group atau HOG adalah organisasi komunitas brand yang langsung melapor pada CEO!

Kedua, komunitas brand ada untuk mendukung bisnis. Padahal, komunitas brand itu diadakan untuk melayani orang-orang di dalamnya. Kalau anggota komunitas tersebut tidak merasa mendapat apa-apa di situ, komunitas akan rapuh. Orang-orang itu juga minta dikenal, dihargai, dan diikutsertakan dalam berbagai hal. Barulah mereka merasa betah dan terikat pada komunitas brand tersebut.

Ketiga, ketika brand dibangun, komunitas akan mengikuti. Dulu orang mengagumi brand yang kuat, gagah, dan perkasa. Orang lantas membentuk fans club untuk berkumpul dan bersama-sama mengagumi. Sekarang sebaliknya! Orang semakin tidak mau, brand tertentu tidak peduli komunitasnya. Semakin brand peduli pada komunitasnya, semakin kuat brand itu didukung oleh komunitas. Buatlah komunitas jadi kuat, maka brand akan kuat juga.

Keempat, adu argumen tentang sebuah brand adalah sesuatu yang baik. Itu pertanda ada perhatian dari anggota komunitas yang sama-sama peduli terhadap brand. Ketika sabun Dove melakukan kampanye tentang the real beauty, banyak perdebatan di kalangan perempuan dengan beragam tipe. Perempuan muda, perempuan kurus, perempuan estewe alias setengah tua, yang berkulit hitam, yang gemuk, semua ingin mendefinisikan the real beauty. Itu menunjukkan letupan jiwa atau anxiety and desire para perempuan tersebut bahwa mereka pun ingin bisa mencapai tingkat itu.

Kelima, opinion leader akan bisa membangun komunitas secara kuat. Kenyataannya, komunitas yang kuat adalah yang memberikan kesempatan kepada semua anggotanya untuk mengambil peranan atau role. Lihat saja Mark Zuckerberg yang mendirikan Facebook, dulunya juga nobody. Tetapi, dia tahu bagaimana membuat semua orang bisa mendirikan komunitas pribadi dengan menggunakan platform-nya. Komunitas tidak boleh dimonopoli eksekutive brand, walaupun mereka adalah pendirinya. Ajak anggota untuk berperan walaupun tetap dengan pengarahan.

Keenam, media sosial kini jadi kunci kesuksesan sebuah komunitas. Tapi, dia tak lebih dari sekadar alat, bukan strategi komunitas. Sebuah komunitas online akan rapuh tanpa ada kopi darat. Justru pertemuan-pertemuan off-line itulah yang membuat antarpersonal dalam komunitas makin kuat.
Bagaimana pendapat Anda?(*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/