26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Di Mana Sumber Air Itu?

Jakarta kebanjiran,” nyaring teriak Benyamin S dalam lagunya yang berjudul ‘Kompor Meleduk’. Sementara di tempat lain, di Gunung Kidul-Jogjakarta, dalam waktu yang panjang, sekian waktu orang berteriak kekeringan. Saya di Medan, malas mencari warung yang menjual aqua galonan (maaf jika menyebut merek, tapi merek ini memang sudah begitu identik).

Ini tentang hari Sabtu kemarin. Tanpa sadar, empat galon aqua di rumah saya sudah kosong. Artinya, saya harus membelinya. Tapi, rasa malas begitu mengemuka. Pasalnya, di kawasan tempat tinggal saya sekarang tak ada jasa yang menawarkan air aqua galon. Kalau pun ada, galon air mineral isi ulang yang tak jelas sumbernya.

Tentu saja saya tak berani mencoba air itu. Bukan maksud sombong atau apapun istilahnya, tapi saya punya anak bayi. Saya butuh sesuatu yang membuat saya yakin. Dan, aqua hingga saat ini masih membuat saya yakin.
Maka dengan rasa malas yang masih menggunung, saya bawa dua galon kosong. Beruntung saya sekarang memakai sepeda motor matik, jadi saya tak perlu repot harus bolak-balik dua kali hanya untuk membeli dua galon. Tak perlu lama, setelah mesin dinyalakan, saya letakan dua galon itu di tempat kaki; satu di kiri dan satu lagi di kanan.

Sialnya, seperti yang sudah saya duga, aqua galon di sepanjang Jalan Panglima Denai— dari Terminal Amplas hingga pertigaan Jalan Menteng 7 – sulit ditemui. Mini market memang ada di situ, namun yang dijual bukan aqua tapi produk mereka sendiri. Dan, jika membeli itu, berarti saya harus membeli galonnya juga bukan? Ya, sudah, saya tajamkan mata; melihat kiri kanan, mencari tahu jika ada warung yang menjual aqua galon.

Hingga di persimpangan Jalan Lukah, tepatnya di seberang masjid besar, ternyata ada warung yang menyediakan seperti yang saya mau. Warung itu agak masuk ke dalam sedikit, masih di Jalan Panglima Denai tapi dia tertutup pohon dan halamannya yang agak luas. Langsung saja saya belokan sepeda motor saya.

Begitu parkir, saya angkat dua galon kosong itu. Saya serahkan pada penjaga warung. Tapi, saya merasa tersinggung. Penjaga itu bolak-balik memeriksa dua galon saya. Dipukul-pukulnya pantat galon. Lalu, dia pun angkat galon itu di atas kepalanya sambil memperhatikan dengan seksama.

“Maaf Bang, banyak juga galon yang palsu,” begitu katanya sebelum saya makin tersinggung.

Ya sudah, saya maklum. “Payah kali nyari aqua di sini ya?” tanya saya daripada bengong.

Eh, dia malah bercerita – tentunya sambil memeriksa dua galon saya. Katanya, memesan aqua galon memang agak sulit. Warung harus memesan 60 galon, baru mau diantar sama distribusi aqua yang ada di Helvetia. Selain itu, oknum aqua juga kadang nakal. Mereka minta uang capek. Kalau angka kecil, mungkin tidak begitu masalah. Tapi, oknum itu bisa meminta uang capek hingga dua ratus ribu rupiah. “Makanya jarang ada aqua di sini Bang,” kata si penjaga warung. Saat mengucapkan kalimatnya, dia sudah meletakkan galon saya. Dia pun sudah mengelap dua aqua galon yang berisi.
Tak lama kemudian dia mengambil dua tisu aqua. “Satu galon empat belas ribu, ya, Bang,” katanya.

Busyet, bukankah biasanya tiga belas ribu? “Kami ambil langsung ke Helvetia, Bang. Makanya, di warung kami aqua selalu ada,” tambahnya.
Saya terhenyak. Bukan karena harganya lebih mahal, tapi lebih pada ‘perjuangan’ warung ini untuk menjaga pelanggan. “Banyak permintaan di sini, Bang, sayang kalau dibiarkan,” tambah penjaga itu.
“Ya, juga. Lumayan kan, bisa naikkan harga dibanding harga normal,” balas saya.

Sang penjaga tak marah. Dia malah tertawa. “Namanya juga dagang, Bang, daripada tak ada aqua?”

Saya ikut-ikutan tertawa. Kurang ajar. Tapi bagaimana lagi, air di rumah saya telah kandas. Saya harus tetap membeli aqua itu juga kan. Mungkin, bisa saja saya tolak. Saya pun bisa pergi ke kawasan Simpang Limun seperti biasanya kalau saya tak menemukan aqua galon di lingkungan tempat tinggal saya. Tapi, bukankah ke Simpang Limun juga menghabiskan rupiah. Ayolah, bensin beli pakai rupiah juga kan?
Jadi, hitung-hitungan saya, seribu rupiah lebih mahal, bukan masalah bukan? Okay, saya ambil aqua itu. Deal!

Sang penjaga langsung mengangkat aqua yang dilapnya tadi ke sepeda motor. Saya sudah mantap di atas sepeda motor. Dia letakkan galon tempat kaki; satu di kiri dan satunya lagi di kanan. Seimbang. Saya starter sepeda motor dan langsung tancap gas. Selesai.

Sepanjang jalan hingga rumah saya berpikir; bukankah seharusnya saya tak perlu tergantung dengan aqua galon. Ya, bukankah saya bisa memasak air? Jika ingin tetap panas kan tinggal dimasukkan dalam termos. “Gak praktis. Bikin susu itu kan sewaktu-waktu, nanti bisa saja air sudah dingin anak kita baru minta susu. Kalau pakai aqua yang diletakkan di dispenser kan praktis. Tinggal tekan tombolnya, selesai,” jawab otak saya yang lain. Bah. Iya juga ya.

Ah, sudahlah. Yang penting saat ini saya sudah punya dua galon aqua yang penuh. Tinggal dua lagi yang kosong. Hm, besok sajalah saya beli lagi. He he he he. (*)

Jakarta kebanjiran,” nyaring teriak Benyamin S dalam lagunya yang berjudul ‘Kompor Meleduk’. Sementara di tempat lain, di Gunung Kidul-Jogjakarta, dalam waktu yang panjang, sekian waktu orang berteriak kekeringan. Saya di Medan, malas mencari warung yang menjual aqua galonan (maaf jika menyebut merek, tapi merek ini memang sudah begitu identik).

Ini tentang hari Sabtu kemarin. Tanpa sadar, empat galon aqua di rumah saya sudah kosong. Artinya, saya harus membelinya. Tapi, rasa malas begitu mengemuka. Pasalnya, di kawasan tempat tinggal saya sekarang tak ada jasa yang menawarkan air aqua galon. Kalau pun ada, galon air mineral isi ulang yang tak jelas sumbernya.

Tentu saja saya tak berani mencoba air itu. Bukan maksud sombong atau apapun istilahnya, tapi saya punya anak bayi. Saya butuh sesuatu yang membuat saya yakin. Dan, aqua hingga saat ini masih membuat saya yakin.
Maka dengan rasa malas yang masih menggunung, saya bawa dua galon kosong. Beruntung saya sekarang memakai sepeda motor matik, jadi saya tak perlu repot harus bolak-balik dua kali hanya untuk membeli dua galon. Tak perlu lama, setelah mesin dinyalakan, saya letakan dua galon itu di tempat kaki; satu di kiri dan satu lagi di kanan.

Sialnya, seperti yang sudah saya duga, aqua galon di sepanjang Jalan Panglima Denai— dari Terminal Amplas hingga pertigaan Jalan Menteng 7 – sulit ditemui. Mini market memang ada di situ, namun yang dijual bukan aqua tapi produk mereka sendiri. Dan, jika membeli itu, berarti saya harus membeli galonnya juga bukan? Ya, sudah, saya tajamkan mata; melihat kiri kanan, mencari tahu jika ada warung yang menjual aqua galon.

Hingga di persimpangan Jalan Lukah, tepatnya di seberang masjid besar, ternyata ada warung yang menyediakan seperti yang saya mau. Warung itu agak masuk ke dalam sedikit, masih di Jalan Panglima Denai tapi dia tertutup pohon dan halamannya yang agak luas. Langsung saja saya belokan sepeda motor saya.

Begitu parkir, saya angkat dua galon kosong itu. Saya serahkan pada penjaga warung. Tapi, saya merasa tersinggung. Penjaga itu bolak-balik memeriksa dua galon saya. Dipukul-pukulnya pantat galon. Lalu, dia pun angkat galon itu di atas kepalanya sambil memperhatikan dengan seksama.

“Maaf Bang, banyak juga galon yang palsu,” begitu katanya sebelum saya makin tersinggung.

Ya sudah, saya maklum. “Payah kali nyari aqua di sini ya?” tanya saya daripada bengong.

Eh, dia malah bercerita – tentunya sambil memeriksa dua galon saya. Katanya, memesan aqua galon memang agak sulit. Warung harus memesan 60 galon, baru mau diantar sama distribusi aqua yang ada di Helvetia. Selain itu, oknum aqua juga kadang nakal. Mereka minta uang capek. Kalau angka kecil, mungkin tidak begitu masalah. Tapi, oknum itu bisa meminta uang capek hingga dua ratus ribu rupiah. “Makanya jarang ada aqua di sini Bang,” kata si penjaga warung. Saat mengucapkan kalimatnya, dia sudah meletakkan galon saya. Dia pun sudah mengelap dua aqua galon yang berisi.
Tak lama kemudian dia mengambil dua tisu aqua. “Satu galon empat belas ribu, ya, Bang,” katanya.

Busyet, bukankah biasanya tiga belas ribu? “Kami ambil langsung ke Helvetia, Bang. Makanya, di warung kami aqua selalu ada,” tambahnya.
Saya terhenyak. Bukan karena harganya lebih mahal, tapi lebih pada ‘perjuangan’ warung ini untuk menjaga pelanggan. “Banyak permintaan di sini, Bang, sayang kalau dibiarkan,” tambah penjaga itu.
“Ya, juga. Lumayan kan, bisa naikkan harga dibanding harga normal,” balas saya.

Sang penjaga tak marah. Dia malah tertawa. “Namanya juga dagang, Bang, daripada tak ada aqua?”

Saya ikut-ikutan tertawa. Kurang ajar. Tapi bagaimana lagi, air di rumah saya telah kandas. Saya harus tetap membeli aqua itu juga kan. Mungkin, bisa saja saya tolak. Saya pun bisa pergi ke kawasan Simpang Limun seperti biasanya kalau saya tak menemukan aqua galon di lingkungan tempat tinggal saya. Tapi, bukankah ke Simpang Limun juga menghabiskan rupiah. Ayolah, bensin beli pakai rupiah juga kan?
Jadi, hitung-hitungan saya, seribu rupiah lebih mahal, bukan masalah bukan? Okay, saya ambil aqua itu. Deal!

Sang penjaga langsung mengangkat aqua yang dilapnya tadi ke sepeda motor. Saya sudah mantap di atas sepeda motor. Dia letakkan galon tempat kaki; satu di kiri dan satunya lagi di kanan. Seimbang. Saya starter sepeda motor dan langsung tancap gas. Selesai.

Sepanjang jalan hingga rumah saya berpikir; bukankah seharusnya saya tak perlu tergantung dengan aqua galon. Ya, bukankah saya bisa memasak air? Jika ingin tetap panas kan tinggal dimasukkan dalam termos. “Gak praktis. Bikin susu itu kan sewaktu-waktu, nanti bisa saja air sudah dingin anak kita baru minta susu. Kalau pakai aqua yang diletakkan di dispenser kan praktis. Tinggal tekan tombolnya, selesai,” jawab otak saya yang lain. Bah. Iya juga ya.

Ah, sudahlah. Yang penting saat ini saya sudah punya dua galon aqua yang penuh. Tinggal dua lagi yang kosong. Hm, besok sajalah saya beli lagi. He he he he. (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/