26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Ikan Air Tawar Ogah Berenang di Lautan

Bicara Pidi Baiq adalah bicara absurditas. Ya, karakternya yang nyantai dan kocak penuh imajinasi dan apa adanya dalam melontarkan kalimat demi kalimat yang tanpa dibuat-buat membuat perbincangan kami penuh kesan santai tapi sesekali serius. Alias susah membedakan mana serius mana tidak.

Pidi Baiq
Pidi Baiq

Tapi Pidi yang suka menyebut dirinya Imam Besar The Panas Dalam ini punya pemikiran yang keluar dari jalur mainstream. Anti televisi, popularitas dan punya filosopi unik soal karya cipta dan seni. Berikut petikan wawancara awak Sumut Pos Doni Hermawan dan Syaifullah di Hotel Royal Perintis, Sabtu (16/3) malam usai konser.

The Panas Dalam punya cukup banyak “pengidap” di setiap daerah. Terkenal juga ya?

Sebenarnya kami tidak ingin terkenal, tapi ingin mengenal. Karena kami haus pengetahuan. Nanti kalau kami nyuri gampang dikenal.

Bang Pidi juga dikenal sebagai penulis buku. Dari mana awalnya menulis buku?

Aku memang sering nulis. Nulis banyak di Belanda dan sewaktu perjalanan ke Indonesia. Buku pertamaku itu dulu harusnya Al-Ashbun. Waktu mau pulang ke tanah air itu dari Belanda. Makanya itu judulnya mau di bawah perut garuda. Tapi kok kayak kitab. Dan aku juga ingin punya kitab dari dulu. Semacam Sutasoma mungkin. Tapi tidak kuterbitkan. Aku minta Drunken Monster dulu.

Tapi buku Drunken itu berbeda tata bahasanya dari buku-buku biasanya?

Aku itu orangnya gak pernah berpikir apa respon orang. Waktu itu aku datangin Mizan (penerbit buku-Red). Aku bilang terbitin kalo enggak aku musuhin. Mizan bilang ini gak EYD. Aku bilang bukan manusia sempurna gak pantas menggunakan EYD. Lalu sempat diedit dan aku gak mau. Aku bilang mau pilih mana yang salinan tulisan asli Soekarno  dengan print out yang indah atau tulisan asli Soekarno yang coret-coret?. Dia pilih yang coret-coret.
Lalu akhirnya diterbitkan, tapi dengan catatan hanya 3.500 buku. Rupanya dua minggu best seller. Bergeser pemikiran mereka soal marketing.

Drunken Monster sukses, kenapa hanya sampai empat seri?

Aku capek kalau ngikutin masyarakat. Masyarakat saja yang ngikutin aku. Itu lebih mudah. Mereka (Mizan-Red) minta lagi dan lagi. Sebetulnya bisa sampai 20 serial drunken. Tapi ya itu tadi kok jadi pasar. Aku hentikan sampai aku tidak cari uang dari The Panas Dalam atau buku.

Lalu apa pekerjaan utama Bang Pidi?

Aku skateboard sama Jumatan. Hehehe. Tapi aku pernah jadi dekan Art Internasional School.
Aku mundur karena tidak bisa menyamai habit mereka. Jadi aku memilih di rumah. Bekerja di alam semesta dengan bosnya Allah.

Siapa influence kalau bikin lagu?

Aku gak butuh insipirasi untuk bikin lagu. Aku cuma butuh hidup. Aku bikin lagu seenak aku ngomong aja. Bukan untuk masayarakat. Biar ada kerjaan. Aku berusaha untuk tidak menjadi locus of control eksternal. Seseorang yang diatur oleh tujuan. Tapi locus of Control internal dalam terminology Islam. Sejak awal aku bilang ini jelek. Jadi kalau ada yang bilang aku ini jelek itu bukan menghina tapi memperkuat omongan sebelumnya. Aku justru merasa hebat kalau bilang aku jelek. Tapi mendapatkan istri yang cantik.

Sekarang ini banyak karya yang dinilai dengan pasar. Orang menciptakan karya biar bisa diterima di pasar. Bagaimana menurut Bang Pidi?

Iya benar. Aku merasa malu dengan diriku sendiri ketika aku menciptakan sesuatu itu karena uang. Aku seperti menganggap remeh diriku bahwa segala sesuatu dinilai dengan uang. Anak-anakku mungkin butuh uang. Tapi anak-anakku juga butuh bangga siapa orang tuanya.

Untuk memenuhi kebutuhan perut aku bekerja. Untuk memenuhi kebutuhan jiwa aku berkarya. Aku harus memisahkan kedua itu. Jadi supaya aku bisa pulang malam. Aku harus banyak uang dulu jadi istriku gak cerewet lagi he he he.

Apa defenisi seni itu sendiri?

Seni untuk seni. Dalam kaitannya untuk aku  berkarya seni adalah untuk mengangkat derajat manusia .

Sempat ditawari manggung di acara TV, kok menolak?

Aku gak mau masuk TV. Ibaratnya seperti laut. Terlalu banyak ikan berenang  dan warna-warni. Aku ikan air tawar, begitu masuk kesana aku mati. Banyak yang nawari, malah untuk kami agar bikin program sendiri. Kalau karyamu diukur dengan banyaknya rating, maka kau bukan seniman tapi buruh seni. Maka kau akan berkarya dengan pamrih. Jika sudah pamrih akan penuh banyak pertimbangan ketika berkarya. Pernah sekali aku masuk TV karena suatu hal dan anakku marah-marah. Katanya “Ayah nanti penggemar Panas Dalam kecewa.” Aku suka anakku karena TV itu berguna untuk membuat kita tidak berguna.

Kesannya dengan Kota Medan?

Medan. Aku suka Medan. Aku mau jadi warga Medan jika ada wanita yang kunikahi ha ha ha. Medan aku lihat punya hati nurani. Gedung-gedungnya yang tua masih dipertahankan.

Soal Band Medan bagaimana pendapatnya?

Bagus. Tapi siap-siap Medan kalau terpengaruh  televisi kesenian Medan akan hancur. Kalau menjadi artis mungkin kita merasa akan mendapat sesuatu yang enak dari popularitas. Tetapi popularitas itu membuat kita tidak tentram. Kalau cuma mau terkenal Firaun juga terkenal tapi tenggelam di laut ha ha ha. (*)

Bicara Pidi Baiq adalah bicara absurditas. Ya, karakternya yang nyantai dan kocak penuh imajinasi dan apa adanya dalam melontarkan kalimat demi kalimat yang tanpa dibuat-buat membuat perbincangan kami penuh kesan santai tapi sesekali serius. Alias susah membedakan mana serius mana tidak.

Pidi Baiq
Pidi Baiq

Tapi Pidi yang suka menyebut dirinya Imam Besar The Panas Dalam ini punya pemikiran yang keluar dari jalur mainstream. Anti televisi, popularitas dan punya filosopi unik soal karya cipta dan seni. Berikut petikan wawancara awak Sumut Pos Doni Hermawan dan Syaifullah di Hotel Royal Perintis, Sabtu (16/3) malam usai konser.

The Panas Dalam punya cukup banyak “pengidap” di setiap daerah. Terkenal juga ya?

Sebenarnya kami tidak ingin terkenal, tapi ingin mengenal. Karena kami haus pengetahuan. Nanti kalau kami nyuri gampang dikenal.

Bang Pidi juga dikenal sebagai penulis buku. Dari mana awalnya menulis buku?

Aku memang sering nulis. Nulis banyak di Belanda dan sewaktu perjalanan ke Indonesia. Buku pertamaku itu dulu harusnya Al-Ashbun. Waktu mau pulang ke tanah air itu dari Belanda. Makanya itu judulnya mau di bawah perut garuda. Tapi kok kayak kitab. Dan aku juga ingin punya kitab dari dulu. Semacam Sutasoma mungkin. Tapi tidak kuterbitkan. Aku minta Drunken Monster dulu.

Tapi buku Drunken itu berbeda tata bahasanya dari buku-buku biasanya?

Aku itu orangnya gak pernah berpikir apa respon orang. Waktu itu aku datangin Mizan (penerbit buku-Red). Aku bilang terbitin kalo enggak aku musuhin. Mizan bilang ini gak EYD. Aku bilang bukan manusia sempurna gak pantas menggunakan EYD. Lalu sempat diedit dan aku gak mau. Aku bilang mau pilih mana yang salinan tulisan asli Soekarno  dengan print out yang indah atau tulisan asli Soekarno yang coret-coret?. Dia pilih yang coret-coret.
Lalu akhirnya diterbitkan, tapi dengan catatan hanya 3.500 buku. Rupanya dua minggu best seller. Bergeser pemikiran mereka soal marketing.

Drunken Monster sukses, kenapa hanya sampai empat seri?

Aku capek kalau ngikutin masyarakat. Masyarakat saja yang ngikutin aku. Itu lebih mudah. Mereka (Mizan-Red) minta lagi dan lagi. Sebetulnya bisa sampai 20 serial drunken. Tapi ya itu tadi kok jadi pasar. Aku hentikan sampai aku tidak cari uang dari The Panas Dalam atau buku.

Lalu apa pekerjaan utama Bang Pidi?

Aku skateboard sama Jumatan. Hehehe. Tapi aku pernah jadi dekan Art Internasional School.
Aku mundur karena tidak bisa menyamai habit mereka. Jadi aku memilih di rumah. Bekerja di alam semesta dengan bosnya Allah.

Siapa influence kalau bikin lagu?

Aku gak butuh insipirasi untuk bikin lagu. Aku cuma butuh hidup. Aku bikin lagu seenak aku ngomong aja. Bukan untuk masayarakat. Biar ada kerjaan. Aku berusaha untuk tidak menjadi locus of control eksternal. Seseorang yang diatur oleh tujuan. Tapi locus of Control internal dalam terminology Islam. Sejak awal aku bilang ini jelek. Jadi kalau ada yang bilang aku ini jelek itu bukan menghina tapi memperkuat omongan sebelumnya. Aku justru merasa hebat kalau bilang aku jelek. Tapi mendapatkan istri yang cantik.

Sekarang ini banyak karya yang dinilai dengan pasar. Orang menciptakan karya biar bisa diterima di pasar. Bagaimana menurut Bang Pidi?

Iya benar. Aku merasa malu dengan diriku sendiri ketika aku menciptakan sesuatu itu karena uang. Aku seperti menganggap remeh diriku bahwa segala sesuatu dinilai dengan uang. Anak-anakku mungkin butuh uang. Tapi anak-anakku juga butuh bangga siapa orang tuanya.

Untuk memenuhi kebutuhan perut aku bekerja. Untuk memenuhi kebutuhan jiwa aku berkarya. Aku harus memisahkan kedua itu. Jadi supaya aku bisa pulang malam. Aku harus banyak uang dulu jadi istriku gak cerewet lagi he he he.

Apa defenisi seni itu sendiri?

Seni untuk seni. Dalam kaitannya untuk aku  berkarya seni adalah untuk mengangkat derajat manusia .

Sempat ditawari manggung di acara TV, kok menolak?

Aku gak mau masuk TV. Ibaratnya seperti laut. Terlalu banyak ikan berenang  dan warna-warni. Aku ikan air tawar, begitu masuk kesana aku mati. Banyak yang nawari, malah untuk kami agar bikin program sendiri. Kalau karyamu diukur dengan banyaknya rating, maka kau bukan seniman tapi buruh seni. Maka kau akan berkarya dengan pamrih. Jika sudah pamrih akan penuh banyak pertimbangan ketika berkarya. Pernah sekali aku masuk TV karena suatu hal dan anakku marah-marah. Katanya “Ayah nanti penggemar Panas Dalam kecewa.” Aku suka anakku karena TV itu berguna untuk membuat kita tidak berguna.

Kesannya dengan Kota Medan?

Medan. Aku suka Medan. Aku mau jadi warga Medan jika ada wanita yang kunikahi ha ha ha. Medan aku lihat punya hati nurani. Gedung-gedungnya yang tua masih dipertahankan.

Soal Band Medan bagaimana pendapatnya?

Bagus. Tapi siap-siap Medan kalau terpengaruh  televisi kesenian Medan akan hancur. Kalau menjadi artis mungkin kita merasa akan mendapat sesuatu yang enak dari popularitas. Tetapi popularitas itu membuat kita tidak tentram. Kalau cuma mau terkenal Firaun juga terkenal tapi tenggelam di laut ha ha ha. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/