31 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Bahasa Ibu Mulai Punah, Aksara Hangeul Jadi Pengganti

 DITERIMA: Abidin di depan sekolahnya, SMAN 6 Bau-Bau. Papan sekolah itu sebagian menggunakan aksara Hangeul untuk menyebut nama sekolah. F-Sekaring Ratri/JAWA POS

DITERIMA: Abidin di depan sekolahnya, SMAN 6 Bau-Bau. Papan sekolah itu sebagian menggunakan aksara Hangeul untuk menyebut nama sekolah. F-Sekaring Ratri/JAWA POS

Suku Cia-Cia di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, menghadapi problem serius. Bahasa ibu mereka kini terancam punah karena jumlah penuturnya yang terus tergerus. Menariknya, untuk menyiasati problem itu, suku Cia-Cia menggunakan aksara bahasa Korea sebagai aksara bahasa mereka. Kok bisa?

SEKARING RATRI A., Bau-Bau

Demam K-Pop ternyata tidak hanya menjangkiti anak-anak muda di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Budaya dari dataran Korea Selatan itu juga melanda kota kecil bernama Bau-Bau di Kepulauan Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra). Bedanya, bukan hanya K-Pop-nya yang digandrungi, tapi juga aksara Korea, Hangeul, yang diterapkan dalam bahasa asli suku Cia-Cia di Bau-Bau.

Mayoritas suku Cia-Cia yang berada di Kota Bau-Bau bermukim di Kecamatan Sorawalio. Kecamatan itu berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan darat dari pusat kota. Jalannya cukup menantang: naik turun gunung dan bergelombang. Kecamatan Sorawolio dikelilingi hutan dan lembah. Rumah-rumah penduduk berdampingan dengan lahan pertanian.

Meski belum banyak tersentuh modernisasi, nama-nama jalan, nama sekolah, atau instansi pemerintah lainnya ditulis dengan dua aksara. Yakni, latin dan Hangeul. Misalnya, Sekolah Dasar Negeri Karya Baru dan SMA Negeri 6 Bau-Bau. Bagaimana mungkin kota terpencil di Sulteng itu bisa welcome terhadap salah satu budaya dari Negeri Ginseng tersebut” Bahkan, aksara Korea sampai dimanfaatkan untuk menuliskan bahasa suku Cia-Cia di Bau-Bau.

Itu semua, rupanya, bermula dari hubungan kerja sama antara Pemerintah Kota Bau-Bau dan Kota Seoul, ibu kota Korsel. Dua kota tersebut menyepakati nota kesepahaman yang menjadikan mereka sister city (kota kembar).

Menurut Abidin, salah seorang perintis aksara Korea di Sorawolio, pada 2005 Wali Kota Bau-Bau (kala itu) Amirul Tamim bertemu Prof Chun Thai Yun dalam Simposium Penaskahan Budaya Internasional. Kepada Chun Thai, Amirul bercerita bahwa suku Cia-Cia di Bau-Bau terancam kehilangan bahasa ibu mereka. Mereka juga tidak memiliki aksara untuk menuliskan bahasa pergaulan masyarakat itu.

“Mendengar soal bahasa Cia-Cia tersebut, Prof Chun Thai Yun tertarik untuk mempelajarinya,” papar guru bahasa Inggris di SMA Negeri 6 Bau-Bau tersebut, Selasa (22/10).

Ancaman kepunahan bahasa Cia-Cia itu kemudian diceritakan guru besar di Hankuk University for Foreign Studies tersebut kepada kawan-kawan akademisinya di Korsel. Antara lain, seorang ahli fonetik di Seoul National University Prof Lee Ho Young. Singkat cerita, setelah itu, Desember 2008, Prof Chun Thai Yun mulai melakukan penelitian soal kebahasaan tersebut di Kecamatan Sorawolio.

Berkat bantuan Prof Chun Thai Yun, sebuah yayasan nonprofit di Korsel, Hunmingjongeum Institute, bersedia memberikan beasiswa pendidikan bahasa Korea selama enam bulan kepada guru sekolah di Bau-Bau. Wali Kota Amirul pun diminta mengirimkan dua guru asli Cia-Cia untuk belajar bahasa di Seoul National University (SNU).

“Yang dipilih adalah dua guru bahasa Inggris, saya, dan seorang teman dari SMA Negeri 1,” ujar Abidin.

Pada 1 Desember 2008, Abidin dan kawannya sudah berada di Seoul. Bahkan, mereka langsung belajar di SNU. Kebetulan bertepatan dengan musim dingin. Keduanya pun sangat tersiksa dengan kondisi cuaca yang amat dingin itu. Mereka juga bermasalah dengan makanan Korea.

“Kami terheran-heran dengan musim dingin di sana. Makanannya tidak ada yang cocok dengan perut kami. Serbasusah penyesuaiannya pada awalnya,” kenang guru 38 tahun itu.

Kesulitan beradaptasi tersebut ternyata berlangsung agak lama. Bahkan, kawan Abidin akhirnya tumbang. Dia tidak kuat dengan cuaca dingin yang menusuk tulang. Bahkan, dia tidak bisa makan hingga badannya kurus kering.

“Badannya sampai kurus sekali. Melihat kondisinya, saya jadi khawatir. Dia bilang, kalau terus di Korea, dia bisa game (over),” kata Abidin.

Kawan Abidin itu akhirnya hanya bisa bertahan selama 45 hari. Jadilah Abidin sendirian di Korea. “Kalau dibilang ingin pulang, ya memang ingin. Tapi, saya kasihan kepada Pak Wali Kota karena beliau yang merintis program itu. Saya tidak ingin membuat malu wali kota,” papar ayah tiga anak tersebut.

Abidin pun meneruskan pendidikan bahasa Korea-nya dengan segala upaya. Meski dingin, dia makin giat dan antusias. Selain Prof Chun Thai Yun, guru besar Prof Lee Ho Young dari SNU tampak sangat tertarik terhadap upaya pelestarian bahasa Cia-Cia.

Jadilah Abidin sebagai salah seorang objek penelitian Lee Ho Young. Setiap minggu dia diminta mengucapkan ribuan kata dalam bahasa Cia-Cia, lalu direkam. Abidin juga membantu menerjemahkan ribuan kata bahasa Cia-Cia ke dalam bahasa Inggris.

“Akhirnya, dia beri kesimpulan bahwa bahasa Cia-Cia bisa menggunakan aksara Hangeul. Saya pun senang sekali kalau bahasa Cia-Cia akan terdokumentasikan dan bisa dilestarikan dengan aksara Hangeul,” paparnya.

Namun, Abidin sadar, aksara Hangeul tidak bisa sepenuhnya diadopsi untuk bahasa Cia-Cia. Karena itu, dia melakukan sejumlah penyesuaian. Dia menguraikan, aksara Hangeul memiliki 40 karakter yang terdiri atas 19 konsonan dan 21 vokal. Sementara itu, yang dinilai sesuai dengan bahasa Cia-Cia hanya 27 karakter.

“Jadi, kami tidak mengadopsi, tapi mengadaptasi. Sebab, tidak bisa persis sama,” jelas Abidin.

Guna memudahkan pelajaran aksara Hangeul untuk bahasa Cia-Cia, Abidin bersama Lee Ho Young (kawan Prof Chun Thai Yun) dan dibantu seorang asisten, Ho Young, membikin buku pelajaran bahasa Cia-Cia dengan aksara Korea tersebut. Karena itu, begitu kembali ke Indonesia pada 2009, Abidin langsung mengajar.

Di SMA Negeri 6 Bau-Bau, Abidin mulai mengajarkan bahasa Korea kepada para siswa. Sementara itu, untuk pengajaran aksara Hangeul, dia menularkannya kepada para siswa di SD Negeri Karya Baru. Ternyata, setelah diperkenalkan, para pelajar, khususnya siswa SD Negeri Karya Baru, mudah menyerap pelajaran tersebut. Hanya dalam 2″3 pertemuan mereka sudah bisa membaca dan menulis bahasa Cia-Cia dengan aksara Hangeul.

“Mungkin karena sehari-hari mereka terbiasa berbahasa Cia-Cia di rumah. Jadi, ada kemudahan buat anak-anak untuk proses transfer huruf Hangeulnya,” ujar Abidin.

Setahun kemudian, permintaan dari berbagai sekolah berdatangan. Yakni, dari SD Negeri Bugi 1 dan SD Negeri Bugi 2 untuk diajari huruf Hangeul. Hal tersebut didukung penuh komunitas Cia-Cia yang bermukim di Kecamatan Sorawolio. Namun, Abidin mulai kewalahan karena dirinya juga memiliki jadwal mengajar full di SMA Negeri 6 Bau-Bau.

Karena itu, dia pun menggelar pelatihan penulisan aksara Hangeul untuk bahasa Cia-Cia bagi beberapa guru SD dan SMP.

“Saya mengajar mereka satu minggu dua kali pertemuan. Saya minta mereka membantu saya mengajar di sekolah-sekolah,” ujarnya. (ken/c5/ari/ bersambung)

 DITERIMA: Abidin di depan sekolahnya, SMAN 6 Bau-Bau. Papan sekolah itu sebagian menggunakan aksara Hangeul untuk menyebut nama sekolah. F-Sekaring Ratri/JAWA POS

DITERIMA: Abidin di depan sekolahnya, SMAN 6 Bau-Bau. Papan sekolah itu sebagian menggunakan aksara Hangeul untuk menyebut nama sekolah. F-Sekaring Ratri/JAWA POS

Suku Cia-Cia di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, menghadapi problem serius. Bahasa ibu mereka kini terancam punah karena jumlah penuturnya yang terus tergerus. Menariknya, untuk menyiasati problem itu, suku Cia-Cia menggunakan aksara bahasa Korea sebagai aksara bahasa mereka. Kok bisa?

SEKARING RATRI A., Bau-Bau

Demam K-Pop ternyata tidak hanya menjangkiti anak-anak muda di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Budaya dari dataran Korea Selatan itu juga melanda kota kecil bernama Bau-Bau di Kepulauan Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra). Bedanya, bukan hanya K-Pop-nya yang digandrungi, tapi juga aksara Korea, Hangeul, yang diterapkan dalam bahasa asli suku Cia-Cia di Bau-Bau.

Mayoritas suku Cia-Cia yang berada di Kota Bau-Bau bermukim di Kecamatan Sorawalio. Kecamatan itu berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan darat dari pusat kota. Jalannya cukup menantang: naik turun gunung dan bergelombang. Kecamatan Sorawolio dikelilingi hutan dan lembah. Rumah-rumah penduduk berdampingan dengan lahan pertanian.

Meski belum banyak tersentuh modernisasi, nama-nama jalan, nama sekolah, atau instansi pemerintah lainnya ditulis dengan dua aksara. Yakni, latin dan Hangeul. Misalnya, Sekolah Dasar Negeri Karya Baru dan SMA Negeri 6 Bau-Bau. Bagaimana mungkin kota terpencil di Sulteng itu bisa welcome terhadap salah satu budaya dari Negeri Ginseng tersebut” Bahkan, aksara Korea sampai dimanfaatkan untuk menuliskan bahasa suku Cia-Cia di Bau-Bau.

Itu semua, rupanya, bermula dari hubungan kerja sama antara Pemerintah Kota Bau-Bau dan Kota Seoul, ibu kota Korsel. Dua kota tersebut menyepakati nota kesepahaman yang menjadikan mereka sister city (kota kembar).

Menurut Abidin, salah seorang perintis aksara Korea di Sorawolio, pada 2005 Wali Kota Bau-Bau (kala itu) Amirul Tamim bertemu Prof Chun Thai Yun dalam Simposium Penaskahan Budaya Internasional. Kepada Chun Thai, Amirul bercerita bahwa suku Cia-Cia di Bau-Bau terancam kehilangan bahasa ibu mereka. Mereka juga tidak memiliki aksara untuk menuliskan bahasa pergaulan masyarakat itu.

“Mendengar soal bahasa Cia-Cia tersebut, Prof Chun Thai Yun tertarik untuk mempelajarinya,” papar guru bahasa Inggris di SMA Negeri 6 Bau-Bau tersebut, Selasa (22/10).

Ancaman kepunahan bahasa Cia-Cia itu kemudian diceritakan guru besar di Hankuk University for Foreign Studies tersebut kepada kawan-kawan akademisinya di Korsel. Antara lain, seorang ahli fonetik di Seoul National University Prof Lee Ho Young. Singkat cerita, setelah itu, Desember 2008, Prof Chun Thai Yun mulai melakukan penelitian soal kebahasaan tersebut di Kecamatan Sorawolio.

Berkat bantuan Prof Chun Thai Yun, sebuah yayasan nonprofit di Korsel, Hunmingjongeum Institute, bersedia memberikan beasiswa pendidikan bahasa Korea selama enam bulan kepada guru sekolah di Bau-Bau. Wali Kota Amirul pun diminta mengirimkan dua guru asli Cia-Cia untuk belajar bahasa di Seoul National University (SNU).

“Yang dipilih adalah dua guru bahasa Inggris, saya, dan seorang teman dari SMA Negeri 1,” ujar Abidin.

Pada 1 Desember 2008, Abidin dan kawannya sudah berada di Seoul. Bahkan, mereka langsung belajar di SNU. Kebetulan bertepatan dengan musim dingin. Keduanya pun sangat tersiksa dengan kondisi cuaca yang amat dingin itu. Mereka juga bermasalah dengan makanan Korea.

“Kami terheran-heran dengan musim dingin di sana. Makanannya tidak ada yang cocok dengan perut kami. Serbasusah penyesuaiannya pada awalnya,” kenang guru 38 tahun itu.

Kesulitan beradaptasi tersebut ternyata berlangsung agak lama. Bahkan, kawan Abidin akhirnya tumbang. Dia tidak kuat dengan cuaca dingin yang menusuk tulang. Bahkan, dia tidak bisa makan hingga badannya kurus kering.

“Badannya sampai kurus sekali. Melihat kondisinya, saya jadi khawatir. Dia bilang, kalau terus di Korea, dia bisa game (over),” kata Abidin.

Kawan Abidin itu akhirnya hanya bisa bertahan selama 45 hari. Jadilah Abidin sendirian di Korea. “Kalau dibilang ingin pulang, ya memang ingin. Tapi, saya kasihan kepada Pak Wali Kota karena beliau yang merintis program itu. Saya tidak ingin membuat malu wali kota,” papar ayah tiga anak tersebut.

Abidin pun meneruskan pendidikan bahasa Korea-nya dengan segala upaya. Meski dingin, dia makin giat dan antusias. Selain Prof Chun Thai Yun, guru besar Prof Lee Ho Young dari SNU tampak sangat tertarik terhadap upaya pelestarian bahasa Cia-Cia.

Jadilah Abidin sebagai salah seorang objek penelitian Lee Ho Young. Setiap minggu dia diminta mengucapkan ribuan kata dalam bahasa Cia-Cia, lalu direkam. Abidin juga membantu menerjemahkan ribuan kata bahasa Cia-Cia ke dalam bahasa Inggris.

“Akhirnya, dia beri kesimpulan bahwa bahasa Cia-Cia bisa menggunakan aksara Hangeul. Saya pun senang sekali kalau bahasa Cia-Cia akan terdokumentasikan dan bisa dilestarikan dengan aksara Hangeul,” paparnya.

Namun, Abidin sadar, aksara Hangeul tidak bisa sepenuhnya diadopsi untuk bahasa Cia-Cia. Karena itu, dia melakukan sejumlah penyesuaian. Dia menguraikan, aksara Hangeul memiliki 40 karakter yang terdiri atas 19 konsonan dan 21 vokal. Sementara itu, yang dinilai sesuai dengan bahasa Cia-Cia hanya 27 karakter.

“Jadi, kami tidak mengadopsi, tapi mengadaptasi. Sebab, tidak bisa persis sama,” jelas Abidin.

Guna memudahkan pelajaran aksara Hangeul untuk bahasa Cia-Cia, Abidin bersama Lee Ho Young (kawan Prof Chun Thai Yun) dan dibantu seorang asisten, Ho Young, membikin buku pelajaran bahasa Cia-Cia dengan aksara Korea tersebut. Karena itu, begitu kembali ke Indonesia pada 2009, Abidin langsung mengajar.

Di SMA Negeri 6 Bau-Bau, Abidin mulai mengajarkan bahasa Korea kepada para siswa. Sementara itu, untuk pengajaran aksara Hangeul, dia menularkannya kepada para siswa di SD Negeri Karya Baru. Ternyata, setelah diperkenalkan, para pelajar, khususnya siswa SD Negeri Karya Baru, mudah menyerap pelajaran tersebut. Hanya dalam 2″3 pertemuan mereka sudah bisa membaca dan menulis bahasa Cia-Cia dengan aksara Hangeul.

“Mungkin karena sehari-hari mereka terbiasa berbahasa Cia-Cia di rumah. Jadi, ada kemudahan buat anak-anak untuk proses transfer huruf Hangeulnya,” ujar Abidin.

Setahun kemudian, permintaan dari berbagai sekolah berdatangan. Yakni, dari SD Negeri Bugi 1 dan SD Negeri Bugi 2 untuk diajari huruf Hangeul. Hal tersebut didukung penuh komunitas Cia-Cia yang bermukim di Kecamatan Sorawolio. Namun, Abidin mulai kewalahan karena dirinya juga memiliki jadwal mengajar full di SMA Negeri 6 Bau-Bau.

Karena itu, dia pun menggelar pelatihan penulisan aksara Hangeul untuk bahasa Cia-Cia bagi beberapa guru SD dan SMP.

“Saya mengajar mereka satu minggu dua kali pertemuan. Saya minta mereka membantu saya mengajar di sekolah-sekolah,” ujarnya. (ken/c5/ari/ bersambung)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/