29 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Listrik Mati, Tak Ada Dokter, Bom Berdesing di Atas Rumah

Foto: Zalzulatul Hikmia/Jawa Pos Bahagia: Rinawati bersama sang suami, Ahmad Yahya Ibrahim Skaik dan dua putranya.
Foto: Zalzulatul Hikmia/Jawa Pos
Bahagia: Rinawati bersama sang suami, Ahmad Yahya Ibrahim Skaik dan dua putranya.

Bagaimana rasanya melahirkan di tengah kecamuk perang di Jalur Gaza? Itulah yang dialami Rinawati, warga negara Indonesia, yang 1,5 tahun tinggal di Palestina bersama suami dan anak pertama mereka. Rina ‘terpaksa’ melahirkan anak kedua ketika Gaza digempur Israel.

 

ZALZULATUL HIKMIA, Cianjur

 

Siang itu (18/9) Rinawati sedang menggendong putra keduanya, Yassin Ahmad Yahya Skaik, yang baru berusia dua bulan di rumah kakaknya di Dusun Kareok, Desa Panembong, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Sembari menimang Yassin, perempuan 35 tahun itu sesekali bercengkerama dengan sanak saudara dan tetangga. Tak jauh dari kerumunan tersebut terlihat seorang pria berparas Timur Tengah tersenyum melihat pemandangan di depan matanya. Dia adalah Ahmad Yahya Ibrahim Skaik (34) suami Rina.

Ya, sudah dua pekan ini Rina kembali ke tanah air. Sebelumnya dia tinggal di Palestina bersama suami dan anak pertama mereka, Yahya Ahmad Yahya Skaik, 5. Keluarga kecil itu mengontrak rumah di Jalan Wahda, Gaza Tengah. Rumah tersebut hanya sekitar sepuluh menit dari Jalur Gaza yang menjadi lokasi pertempuran pejuang Hamas dan Israel.

Pada awalnya keluarga Rina hidup tenang dan bahagia meski sederhana. Kebahagiaan mereka bertambah ketika Rina mengandung anak kedua. Tapi, siapa sangka, saat warga asli Cianjur itu tengah hamil tua, konflik di perbatasan Gaza kembali meletus. Meski mengaku telah menyiapkan diri dengan kemungkinan tersebut sejak awal, Rina sempat syok begitu mendengar dentuman bom dan rentetan tembakan berdesingan di sekitar tempat tinggalnya.

“Rasanya dekat sekali suara itu. Saya sempat waswas karena kehamilan saya sudah tua,” tutur dia.

Rina sempat menghentikan ceritanya sejenak. Dia menghampiri suaminya dan berbicara dalam bahasa Arab. Beberapa saat kemudian sang suami tersenyum dan menganggukkan kepala. Rupanya suami Rina minta apa yang diceritakan Rina kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos) diterjemahkan.

Rina lalu mengingat-ingat kembali detik-detik kelahiran putra keduanya, Yassin Ahmad Yahya Skaik. Saat itu, 8 Juli 2014, konflik Palestina-Israel mulai berkecamuk. Situasi tersebut membuat kehidupan keluarga Rina terancam. Hampir seluruh kegiatan masyarakat Gaza mati suri. Toko-toko makanan tutup. Listrik mati gara-gara bom yang dijatuhkan tentara Israel. Imbasnya, tak ada penerangan dan tak ada penyaluran air bersih ke rumah-rumah. Hidup keluarga Rina pun jadi sulit.

Sepuluh hari bertahan dalam kondisi seperti itu membuat Rina stres. Meski fisiknya masih kuat berdiri, secara psikis Rina mulai lemah. Dia menjadi tidak bernafsu makan. Padahal, janin di kandungannya membutuhkan nutrisi. “Ada sih bantuan berupa makanan siap saji. Tapi, saya jadi gak napsu makan,” ujar Rina dengan logat Sunda kentalnya.

Puncaknya, Senin pagi, 11 Juli 2014, dia merasakan mual hebat dan nyeri di perut. Dia pun dilarikan ke rumah sakit. Namun, dokter hanya memberinya obat penghilang rasa sakit dan menyuruhnya kembali ke rumah. Dia didiagnosis belum akan melahirkan karena usia kandungannya baru masuk delapan bulan.

Sayang, obat yang diberikan dokter pagi itu tidak berpengaruh lama. Setiba di rumah, Rina masih mengeluhkan rasa nyeri di perut kepada suaminya, Ahmad Yahya. Ahmad pun tidak bisa berbuat banyak karena malam dia mendapat giliran untuk berjaga di sekitar tempat tinggalnya.

“Tentu saya khawatir (melihat istri seperti itu). Tapi, saya berpesan kepadanya untuk selalu membaca syahadat sebelum tidur dan berserah diri kepada Allah. Agar apa pun yang terjadi, jika ditakdirkan meninggal, dalam keadaan husnulkhatimah,” tutur Ahmad.

Kekhawatiran Ahmad benar-benar jadi kenyataan. Pria kelahiran Arab Saudi itu akhirnya pulang lebih cepat, sekitar pukul 01.00. Dia mendapati istrinya sedang kesakitan dan meminta dibawa ke rumah sakit.

Ahmad bergegas menghubungi rumah sakit untuk meminta dikirimi ambulans. Tapi, tak ada ambulans yang stand by. Seluruh ambulans dipakai untuk mengangkut korban meninggal dan luka-luka karena gempuran Israel. Tak putus asa, Ahmad mengontak satu per satu operator taksi di sana. Tapi, lagi-lagi tak ada taksi yang beroperasi di tengah perang seperti itu.

Sementara itu, rasa nyeri perut Rina semakin menjadi. Pengalaman melahirkan anak pertama membuat dia yakin yang dirasakannya adalah kontraksi. Rina pun lalu memanggil sang suami. Dia meminta Ahmad untuk membantunya melahirkan karena sudah tidak bisa menahan lagi.

Lalu, dia mulai mengejan untuk mengeluarkan sang bayi dari perut. Ahmad yang panik bukannya membantu sang istri melahirkan, tapi malah mondar-mandir keluar rumah mencari pertolongan. Untung, ada tetangga perempuan yang bersedia membantu.

Masalah tak berhenti di situ, suasana gelap lantaran listrik padam membuat mereka kelabakan. Mereka tidak bisa melihat sudah sejauh apa hasil “dorongan” Rina. Apakah kepala sang bayi sudah keluar atau belum. “Benar-benar tidak ada penerangan. Lilin habis, senter tidak ada. Suami saya makin panik, sayanya sudah lemes banget,” kenang Rina.

Ahmad akhirnya berinovasi. Dia mengambil baterai mobil mainan anaknya. Baterai itu kemudian dirangkai dengan kabel dan bola lampu kecil yang dia temukan. Tak dikira, rangkaian sederhana tersebut berhasil menyala. Tapi, tak bertahan lama. Lampu kecil itu keburu mati sebelum Yassin melihat dunia.

Karena tak ada lagi yang bisa digunakan, dia akhirnya merogoh kantong celana dan menemukan korek api. Nyala korek api tersebut didekatkan ke istrinya yang tengah mengejan. Ahmad bisa melihat wajah istrinya yang kesakitan saat berusaha mengeluarkan janin lewat rahimnya.

Di tengah persalinan darurat itu, rasa waswas dan kesakitan Rina memuncak. Selain proses persalinan tersebut tak dibantu bidan atau dokter, kengerian muncul dari suara rudal-rudal dan roket-roket yang berdesingan di atas rumah kontrakannya. Tembok dan kaca rumahnya pun bergetar hebat.

Sejam Rina mengejan, akhirnya kepala Yassin berhasil keluar. Rina lalu meminta suaminya menarik kepala putra keduanya itu pelan-pelan sampai seluruh badannya keluar. Saat sang jabang bayi berhasil keluar, kepanikan kembali datang. Bukan karena bom kiriman Israel yang jatuh di dekat rumah mereka, melainkan sang bayi tidak menangis sama sekali. Rina yang tak berdaya terkulai setengah sadar. Sedangkan suaminya hanya terduduk lunglai, ketakutan. Keduanya pasrah.

Untung, tak berselang lama, ambulans datang. Ahmad yang telanjur emosional mengatakan bahwa istri dan anaknya telah tiada. Secara sigap, petugas yang datang memeriksa kondisi ibu dan bayi itu. Saat mengetahui keduanya masih hidup, petugas segera mengangkut mereka ke ambulans untuk dibawa ke rumah sakit.

“Dia sudah kepalang emosi, jadi teh bilang begitu. Sampai rumah sakit saya dan Yassin langsung dibersihkan, lalu diperiksa,” kata Rina.

Yassin yang lahir prematur harus diinkubasi seminggu. Sebaliknya, Rina diperbolehkan langsung pulang beberapa jam setelah menjalani perawatan.

Seminggu berlalu, Ahmad dan Rina menjemput anak kedua mereka dari rumah sakit. Tapi, betapa kaget mereka saat berada di mobil untuk pulang, sebuah roket jatuh tepat di samping mobil. Rina yang tengah menggendong Yassin kontan mendekap sang anak. Sementara itu, Ahmad spontan menarik Yahya, anak pertama, dan memeluknya. Untung, roket tersebut berdaya ledak kecil meski suara yang ditimbulkan memekakkan telinga. Keluarga Rina pun selamat.

Saat kembali tenggelam dalam kenangan itu, Rina terlihat bergidik. Rasa ngeri masih terpancar di raut wajahnya. Sang suami pun demikian. Berkali-kali dia mengungkapkan rasa syukur. “Hamdulillah…hamdulilla h…,” ungkap Ahmad.

Seusai kelahiran Yassin, Ahmad mulai memikirkan keselamatan anak-anak dan istrinya. Semula dia akan bertahan di Gaza membela hak-hak mereka sebagai warga Palestina. Namun, demi ketenangan hidup keluarganya, Ahmad akhirnya menyetujui keinginan istrinya untuk pulang ke Indonesia. “Saya cinta Palestina, tapi saya juga cinta keluarga saya,” ungkapnya.

Berkat bantuan KBRI Mesir dan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), keluarga kecil itu berhasil pulang ke Indonesia. Mereka tiba di tanah air pada 29 Agustus. Meski begitu, pemulangan mereka berjalan alot dan tidak gampang. Mereka harus melalui dua hari yang panjang untuk dapat melewati perbatasan Palestina menuju Mesir.

“Kami sempat ditolak dan disuruh balik. Lalu, didiamkan berjam-jam di tengah-tengah perbatasan. Risikonya bisa kena bom. Apalagi, sehari sebelumnya Rafah (lokasi penyeberangan) habis dibom sampai rata,” cerita dia.

Kini pasangan yang menikah di Arab Saudi delapan tahun lalu itu telah berada di tempat yang aman. Tapi, tak bisa disangkal, Ahmad rindu untuk pulang ke Palestina. Terlebih, sudah dua minggu ini dia hanya di rumah.

“Di sini memang aman. Tapi, saya tidak bisa bekerja. Padahal, di Palestina saya biasa kerja keras,” pungkas Ahmad. (c10/ari/jpnn/rbb)

Foto: Zalzulatul Hikmia/Jawa Pos Bahagia: Rinawati bersama sang suami, Ahmad Yahya Ibrahim Skaik dan dua putranya.
Foto: Zalzulatul Hikmia/Jawa Pos
Bahagia: Rinawati bersama sang suami, Ahmad Yahya Ibrahim Skaik dan dua putranya.

Bagaimana rasanya melahirkan di tengah kecamuk perang di Jalur Gaza? Itulah yang dialami Rinawati, warga negara Indonesia, yang 1,5 tahun tinggal di Palestina bersama suami dan anak pertama mereka. Rina ‘terpaksa’ melahirkan anak kedua ketika Gaza digempur Israel.

 

ZALZULATUL HIKMIA, Cianjur

 

Siang itu (18/9) Rinawati sedang menggendong putra keduanya, Yassin Ahmad Yahya Skaik, yang baru berusia dua bulan di rumah kakaknya di Dusun Kareok, Desa Panembong, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Sembari menimang Yassin, perempuan 35 tahun itu sesekali bercengkerama dengan sanak saudara dan tetangga. Tak jauh dari kerumunan tersebut terlihat seorang pria berparas Timur Tengah tersenyum melihat pemandangan di depan matanya. Dia adalah Ahmad Yahya Ibrahim Skaik (34) suami Rina.

Ya, sudah dua pekan ini Rina kembali ke tanah air. Sebelumnya dia tinggal di Palestina bersama suami dan anak pertama mereka, Yahya Ahmad Yahya Skaik, 5. Keluarga kecil itu mengontrak rumah di Jalan Wahda, Gaza Tengah. Rumah tersebut hanya sekitar sepuluh menit dari Jalur Gaza yang menjadi lokasi pertempuran pejuang Hamas dan Israel.

Pada awalnya keluarga Rina hidup tenang dan bahagia meski sederhana. Kebahagiaan mereka bertambah ketika Rina mengandung anak kedua. Tapi, siapa sangka, saat warga asli Cianjur itu tengah hamil tua, konflik di perbatasan Gaza kembali meletus. Meski mengaku telah menyiapkan diri dengan kemungkinan tersebut sejak awal, Rina sempat syok begitu mendengar dentuman bom dan rentetan tembakan berdesingan di sekitar tempat tinggalnya.

“Rasanya dekat sekali suara itu. Saya sempat waswas karena kehamilan saya sudah tua,” tutur dia.

Rina sempat menghentikan ceritanya sejenak. Dia menghampiri suaminya dan berbicara dalam bahasa Arab. Beberapa saat kemudian sang suami tersenyum dan menganggukkan kepala. Rupanya suami Rina minta apa yang diceritakan Rina kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos) diterjemahkan.

Rina lalu mengingat-ingat kembali detik-detik kelahiran putra keduanya, Yassin Ahmad Yahya Skaik. Saat itu, 8 Juli 2014, konflik Palestina-Israel mulai berkecamuk. Situasi tersebut membuat kehidupan keluarga Rina terancam. Hampir seluruh kegiatan masyarakat Gaza mati suri. Toko-toko makanan tutup. Listrik mati gara-gara bom yang dijatuhkan tentara Israel. Imbasnya, tak ada penerangan dan tak ada penyaluran air bersih ke rumah-rumah. Hidup keluarga Rina pun jadi sulit.

Sepuluh hari bertahan dalam kondisi seperti itu membuat Rina stres. Meski fisiknya masih kuat berdiri, secara psikis Rina mulai lemah. Dia menjadi tidak bernafsu makan. Padahal, janin di kandungannya membutuhkan nutrisi. “Ada sih bantuan berupa makanan siap saji. Tapi, saya jadi gak napsu makan,” ujar Rina dengan logat Sunda kentalnya.

Puncaknya, Senin pagi, 11 Juli 2014, dia merasakan mual hebat dan nyeri di perut. Dia pun dilarikan ke rumah sakit. Namun, dokter hanya memberinya obat penghilang rasa sakit dan menyuruhnya kembali ke rumah. Dia didiagnosis belum akan melahirkan karena usia kandungannya baru masuk delapan bulan.

Sayang, obat yang diberikan dokter pagi itu tidak berpengaruh lama. Setiba di rumah, Rina masih mengeluhkan rasa nyeri di perut kepada suaminya, Ahmad Yahya. Ahmad pun tidak bisa berbuat banyak karena malam dia mendapat giliran untuk berjaga di sekitar tempat tinggalnya.

“Tentu saya khawatir (melihat istri seperti itu). Tapi, saya berpesan kepadanya untuk selalu membaca syahadat sebelum tidur dan berserah diri kepada Allah. Agar apa pun yang terjadi, jika ditakdirkan meninggal, dalam keadaan husnulkhatimah,” tutur Ahmad.

Kekhawatiran Ahmad benar-benar jadi kenyataan. Pria kelahiran Arab Saudi itu akhirnya pulang lebih cepat, sekitar pukul 01.00. Dia mendapati istrinya sedang kesakitan dan meminta dibawa ke rumah sakit.

Ahmad bergegas menghubungi rumah sakit untuk meminta dikirimi ambulans. Tapi, tak ada ambulans yang stand by. Seluruh ambulans dipakai untuk mengangkut korban meninggal dan luka-luka karena gempuran Israel. Tak putus asa, Ahmad mengontak satu per satu operator taksi di sana. Tapi, lagi-lagi tak ada taksi yang beroperasi di tengah perang seperti itu.

Sementara itu, rasa nyeri perut Rina semakin menjadi. Pengalaman melahirkan anak pertama membuat dia yakin yang dirasakannya adalah kontraksi. Rina pun lalu memanggil sang suami. Dia meminta Ahmad untuk membantunya melahirkan karena sudah tidak bisa menahan lagi.

Lalu, dia mulai mengejan untuk mengeluarkan sang bayi dari perut. Ahmad yang panik bukannya membantu sang istri melahirkan, tapi malah mondar-mandir keluar rumah mencari pertolongan. Untung, ada tetangga perempuan yang bersedia membantu.

Masalah tak berhenti di situ, suasana gelap lantaran listrik padam membuat mereka kelabakan. Mereka tidak bisa melihat sudah sejauh apa hasil “dorongan” Rina. Apakah kepala sang bayi sudah keluar atau belum. “Benar-benar tidak ada penerangan. Lilin habis, senter tidak ada. Suami saya makin panik, sayanya sudah lemes banget,” kenang Rina.

Ahmad akhirnya berinovasi. Dia mengambil baterai mobil mainan anaknya. Baterai itu kemudian dirangkai dengan kabel dan bola lampu kecil yang dia temukan. Tak dikira, rangkaian sederhana tersebut berhasil menyala. Tapi, tak bertahan lama. Lampu kecil itu keburu mati sebelum Yassin melihat dunia.

Karena tak ada lagi yang bisa digunakan, dia akhirnya merogoh kantong celana dan menemukan korek api. Nyala korek api tersebut didekatkan ke istrinya yang tengah mengejan. Ahmad bisa melihat wajah istrinya yang kesakitan saat berusaha mengeluarkan janin lewat rahimnya.

Di tengah persalinan darurat itu, rasa waswas dan kesakitan Rina memuncak. Selain proses persalinan tersebut tak dibantu bidan atau dokter, kengerian muncul dari suara rudal-rudal dan roket-roket yang berdesingan di atas rumah kontrakannya. Tembok dan kaca rumahnya pun bergetar hebat.

Sejam Rina mengejan, akhirnya kepala Yassin berhasil keluar. Rina lalu meminta suaminya menarik kepala putra keduanya itu pelan-pelan sampai seluruh badannya keluar. Saat sang jabang bayi berhasil keluar, kepanikan kembali datang. Bukan karena bom kiriman Israel yang jatuh di dekat rumah mereka, melainkan sang bayi tidak menangis sama sekali. Rina yang tak berdaya terkulai setengah sadar. Sedangkan suaminya hanya terduduk lunglai, ketakutan. Keduanya pasrah.

Untung, tak berselang lama, ambulans datang. Ahmad yang telanjur emosional mengatakan bahwa istri dan anaknya telah tiada. Secara sigap, petugas yang datang memeriksa kondisi ibu dan bayi itu. Saat mengetahui keduanya masih hidup, petugas segera mengangkut mereka ke ambulans untuk dibawa ke rumah sakit.

“Dia sudah kepalang emosi, jadi teh bilang begitu. Sampai rumah sakit saya dan Yassin langsung dibersihkan, lalu diperiksa,” kata Rina.

Yassin yang lahir prematur harus diinkubasi seminggu. Sebaliknya, Rina diperbolehkan langsung pulang beberapa jam setelah menjalani perawatan.

Seminggu berlalu, Ahmad dan Rina menjemput anak kedua mereka dari rumah sakit. Tapi, betapa kaget mereka saat berada di mobil untuk pulang, sebuah roket jatuh tepat di samping mobil. Rina yang tengah menggendong Yassin kontan mendekap sang anak. Sementara itu, Ahmad spontan menarik Yahya, anak pertama, dan memeluknya. Untung, roket tersebut berdaya ledak kecil meski suara yang ditimbulkan memekakkan telinga. Keluarga Rina pun selamat.

Saat kembali tenggelam dalam kenangan itu, Rina terlihat bergidik. Rasa ngeri masih terpancar di raut wajahnya. Sang suami pun demikian. Berkali-kali dia mengungkapkan rasa syukur. “Hamdulillah…hamdulilla h…,” ungkap Ahmad.

Seusai kelahiran Yassin, Ahmad mulai memikirkan keselamatan anak-anak dan istrinya. Semula dia akan bertahan di Gaza membela hak-hak mereka sebagai warga Palestina. Namun, demi ketenangan hidup keluarganya, Ahmad akhirnya menyetujui keinginan istrinya untuk pulang ke Indonesia. “Saya cinta Palestina, tapi saya juga cinta keluarga saya,” ungkapnya.

Berkat bantuan KBRI Mesir dan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), keluarga kecil itu berhasil pulang ke Indonesia. Mereka tiba di tanah air pada 29 Agustus. Meski begitu, pemulangan mereka berjalan alot dan tidak gampang. Mereka harus melalui dua hari yang panjang untuk dapat melewati perbatasan Palestina menuju Mesir.

“Kami sempat ditolak dan disuruh balik. Lalu, didiamkan berjam-jam di tengah-tengah perbatasan. Risikonya bisa kena bom. Apalagi, sehari sebelumnya Rafah (lokasi penyeberangan) habis dibom sampai rata,” cerita dia.

Kini pasangan yang menikah di Arab Saudi delapan tahun lalu itu telah berada di tempat yang aman. Tapi, tak bisa disangkal, Ahmad rindu untuk pulang ke Palestina. Terlebih, sudah dua minggu ini dia hanya di rumah.

“Di sini memang aman. Tapi, saya tidak bisa bekerja. Padahal, di Palestina saya biasa kerja keras,” pungkas Ahmad. (c10/ari/jpnn/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/