30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kebijakan Menteri Susi Dicap Kontradiktif dengan Kondisi Nelayan

Foto: dok.JPNN Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.
Foto: dok.JPNN
Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Ono Surono menilai kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastusi kontradiktif dengan kondisi nelayan di tanah air. Hal ini terkait dengan kebijakan menaikan target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor perikanan dan kelautan sebesar 500% dari Rp250 Milyar menjadi Rp1,25 Triliun tahun 2015.

Menurut Surono, kebijakan menaikkan tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP), yang merupakan komponen dari PNBP merupakan cara instan dan sangat mudah. Bahkan siapapun akan mampu berfikir dan melaksanakan itu.

“Kebijakan menaikkan tarif itu sangatlah kontradiktif dengan statement MKP sendiri yang seringkali membandingkan pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia dengan di negara yang sudah maju,” kata Surono.

Di negara maju, nelayan sudah diberikan proteksi seperti bebas pajak/pungutan, suku bunga rendah (3%), akses pasar, sarana/prasarana nelayan dan kemudahan lain. Tapi kondisinya berbeda dengan di Indonesia yang masih terdapat 8 juta nelayan miskin dan 98,7 persen dari mereka menggunakan kapal kecil.

Karena itu dia meminta pemerintah lebih arif dan bijaksana membuat kebijakan terkait penerimaan negara. Karena kebijakan itu bukan langkah substansial bila diperhadapkan 3 kepentingan negara sekaligus, yakni menaikkan PNBP, penyediaan akses pasar dan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan di Sektor Perikanan Tangkap yang baik dan lestari (Sustainable Fisheries).

Surono memandang perlu adanya sistem pengelolaan yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas produksi ikan dengan memaksimalkan fungsi pelabuhan perikanan dalam distribusi/pemasaran dan data produksi ikan sebagaimana diatur Undang-undang Perikanan dan Kelautan.

Fungsi pelabuhan dapat dimaksimalkan dengan mengaktifkan seluruh Tempat Pelelangan Ikan (TPI) untuk mendapatkan data produksi dan nilai harga ikan untuk dijadikan dasar menghitung PNBP setiap kapal perikanan. TPI juga dapat memberikan akses pasar kepada nelayan untuk mendapatkan kepastian harga ikan.

“Dengan PNBP yang langsung dikenakan kepada nelayan, pemerintah harus menghapus pungutan retribusi lelang, sehingga tidak ada pungutan ganda kepada nelayan,” jelasnya.

Selain itu, pemerintah dapat menunjuk Koperasi Nelayan sebagai mitra dalam mengoperasikan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Untuk sentra nelayan yang belum ada TPI, disiapkan petugas dari Dinas Kelautan/Perikanan guna mendata produksi ikan.

Jika ini yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Surono memastikan pemerintah mendapatkan tiga keuntungan sekaligus. Di antaranya membuat akses pasar, data produksi ikan yang akurat dan valid serta Peningkatan PNBP dengan catatan Tanpa Menaikkan Tarif PPP dan PHP. (fat/jpnn)

Foto: dok.JPNN Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.
Foto: dok.JPNN
Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Ono Surono menilai kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastusi kontradiktif dengan kondisi nelayan di tanah air. Hal ini terkait dengan kebijakan menaikan target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor perikanan dan kelautan sebesar 500% dari Rp250 Milyar menjadi Rp1,25 Triliun tahun 2015.

Menurut Surono, kebijakan menaikkan tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP), yang merupakan komponen dari PNBP merupakan cara instan dan sangat mudah. Bahkan siapapun akan mampu berfikir dan melaksanakan itu.

“Kebijakan menaikkan tarif itu sangatlah kontradiktif dengan statement MKP sendiri yang seringkali membandingkan pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia dengan di negara yang sudah maju,” kata Surono.

Di negara maju, nelayan sudah diberikan proteksi seperti bebas pajak/pungutan, suku bunga rendah (3%), akses pasar, sarana/prasarana nelayan dan kemudahan lain. Tapi kondisinya berbeda dengan di Indonesia yang masih terdapat 8 juta nelayan miskin dan 98,7 persen dari mereka menggunakan kapal kecil.

Karena itu dia meminta pemerintah lebih arif dan bijaksana membuat kebijakan terkait penerimaan negara. Karena kebijakan itu bukan langkah substansial bila diperhadapkan 3 kepentingan negara sekaligus, yakni menaikkan PNBP, penyediaan akses pasar dan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan di Sektor Perikanan Tangkap yang baik dan lestari (Sustainable Fisheries).

Surono memandang perlu adanya sistem pengelolaan yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas produksi ikan dengan memaksimalkan fungsi pelabuhan perikanan dalam distribusi/pemasaran dan data produksi ikan sebagaimana diatur Undang-undang Perikanan dan Kelautan.

Fungsi pelabuhan dapat dimaksimalkan dengan mengaktifkan seluruh Tempat Pelelangan Ikan (TPI) untuk mendapatkan data produksi dan nilai harga ikan untuk dijadikan dasar menghitung PNBP setiap kapal perikanan. TPI juga dapat memberikan akses pasar kepada nelayan untuk mendapatkan kepastian harga ikan.

“Dengan PNBP yang langsung dikenakan kepada nelayan, pemerintah harus menghapus pungutan retribusi lelang, sehingga tidak ada pungutan ganda kepada nelayan,” jelasnya.

Selain itu, pemerintah dapat menunjuk Koperasi Nelayan sebagai mitra dalam mengoperasikan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Untuk sentra nelayan yang belum ada TPI, disiapkan petugas dari Dinas Kelautan/Perikanan guna mendata produksi ikan.

Jika ini yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Surono memastikan pemerintah mendapatkan tiga keuntungan sekaligus. Di antaranya membuat akses pasar, data produksi ikan yang akurat dan valid serta Peningkatan PNBP dengan catatan Tanpa Menaikkan Tarif PPP dan PHP. (fat/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/