26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pertamax Dijual Rp9.950

FOTO: ISMAIL AMIN/ RADAR MAKASSAR Petugas SPBU mengisi bahan bakar jenis Pertamax ke dalam kendaraan pelanggan,  Minggu (23/11). Di Jakarta, PT Pertamina (Persero) menjual Pertamax Rp 9.950 per liter.
FOTO: ISMAIL AMIN/ RADAR MAKASSAR
Petugas SPBU mengisi bahan bakar jenis Pertamax ke dalam kendaraan pelanggan, Minggu (23/11). Di Jakarta, PT Pertamina (Persero) menjual Pertamax Rp 9.950 per liter.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Langkah pertamina untuk menurunkan harga bahan bakar khusus (BBK) jenis pertamax menjadi Rp 9.950 per liter menjadi sorotan. Pasalnya harga tersebut hanya berlaku di wilayah jabodetabek saja. Jadi, bagaimana dampak langkah yang diambil tersebut?

Media Manager PT Pertamina Adiatma Sardjito mengungkapkan, sebenarnya hal tersebut sebenarnya menjadi kebijakan reguler dari PT Pertamina. Setiap dua minggu sekali, pihaknya memang menyesuaikan harga jual Pertamax dengan beban-beban yang ada. Misalnya, harga minyak dunia dan kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS).

“Yang perlu ditekankan adalah bahwa pertamax bukan produk PSO (Public Service Obligation). Jadi, memang harus ditentukan dengan hitungan bisnis. Kami tidak boleh jual rugi untuk produk ini. Kebetulan saja harga minyak dunia saat ini sedang turun besar,” ungkapnya saat dihubungi Jawa Pos Minggu (23/11).

Hal tersebut, lanjut dia, juga berlaku pada penentuan harga di setiap daerah. Menurutnya, harga di setiap wilayah memang ditentukan berbeda dengan beberapa pertimbangan. Mulai dari berapa harga bahan baku, biaya operasional, hingga biaya distribusi yang berlaku di daerah tersebut.

“Kalau soal berapa sebenarnya harga kami, itu rahasia perusahaan. Karena produk ini bukan hanya kami yang menjual. Yang jelas, kami juga mengikuti mekanisme pasar yang ada agar bisa bersaing dengan kompetitor,” terangnya.

Meski begitu, dia berharap masyarakat bisa menanggap situasi yang ada sebagai kesempatan untuk mengganti bahan bakar dari BBM bersubsidi menjadi BBK. Sebab, hal itu tak hanya menguntungkan pertamina namun juga menguntungkan negara. “Kalau terjadi pergeseran, tentu beban subsidi bisa berkurang,” ujarnya.

Sementara itu, pengamat energi Marwan Batubara menganggap, kondisi yang ada kemungkina besar bisa menyebabkan pergeseran. Hal tersebut tercermin dari realisasi konsumsi BBM bersubsidi di wilayah Jabodetabek cukup besar. Menurut data kementerian ESDM, Jabodetabek menyerap sebesar 15,81 persen dari total konsumsi nasional tahun lalu.

“Saya rasa ada kemungkinan mengenai pergeseran itu. Apalagi, selisih harga antara premium dengan pertamax mencapai Rp 1.500 per liter. Masyarakat yang mempertimbangkan kualitas tentunya lebih memilih produk ini. Karena dengan harga yang lebih tinggi sedikit, konsumen bisa menempuh jarak yang lebih panjang dan menjaga mesin lebih baik,” ungkapnya.

Namun, dia mengaku masih belum yakin terhadap target pertamina untuk meningkatkan penjualan pertamax menjadi empat kali lipat. Sebab, masyarakat masih belum mempunyai kesadaran penuh terkait pentingnya kualitas bahan bakar. Apalagi, selisih di beberapa wilayah masih cukup besar.

“Dengan selisih Rp4 ribu per liter, masyarakat tak akan punya pikiran untuk bergeser ke pertamax. Dengan selisih Rp1.500 per liter, masyarakat tentu mulai mempunyai pemikiran itu. Tapi, itu belum memastikan apakah mereka bakal melakukannya,” imbuhnya.

Anggota Komite Bada Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Ibrahim Hasyim mengaku cukup optimis bahwa harga keekonomian BBM di Indonesia tak akan mengalami kenaikan yang tinggi. Hal tersebut seiring perkiraannya mengenai harga minyak dunia yang menjadi salah satu penentu harga keekonomian BBM.

“Pasar minyak mentah dunia sudah menemui keseimbangan yang baru. Negara Timur Tengah yang dulu bisa memainkan harga sekarang sudah mendapat penyeimbang. Yakni, Amerika Serikat (AS) yang saat ini menjadi penghasil migas dari sekedar importir. Jadi, kalaupun naik, tidak akan diluar batas kewajaran,” lanjutnya.

Dia pun mendorong baik pertamina dan pemerintah untuk terus memperkecil selisih antara BBM bersubsidi dengan BBK. Menurutnya, selisih harga Rp 2 ribu per liter diakui sudah cukup efektif untuk menjaga kuota BBM dari jebol. Setidaknya, hal tersebut bakal membuat penyelundup BBM bersubsidi berpikir dua kali. (bil/jpnn/rbb)

FOTO: ISMAIL AMIN/ RADAR MAKASSAR Petugas SPBU mengisi bahan bakar jenis Pertamax ke dalam kendaraan pelanggan,  Minggu (23/11). Di Jakarta, PT Pertamina (Persero) menjual Pertamax Rp 9.950 per liter.
FOTO: ISMAIL AMIN/ RADAR MAKASSAR
Petugas SPBU mengisi bahan bakar jenis Pertamax ke dalam kendaraan pelanggan, Minggu (23/11). Di Jakarta, PT Pertamina (Persero) menjual Pertamax Rp 9.950 per liter.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Langkah pertamina untuk menurunkan harga bahan bakar khusus (BBK) jenis pertamax menjadi Rp 9.950 per liter menjadi sorotan. Pasalnya harga tersebut hanya berlaku di wilayah jabodetabek saja. Jadi, bagaimana dampak langkah yang diambil tersebut?

Media Manager PT Pertamina Adiatma Sardjito mengungkapkan, sebenarnya hal tersebut sebenarnya menjadi kebijakan reguler dari PT Pertamina. Setiap dua minggu sekali, pihaknya memang menyesuaikan harga jual Pertamax dengan beban-beban yang ada. Misalnya, harga minyak dunia dan kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS).

“Yang perlu ditekankan adalah bahwa pertamax bukan produk PSO (Public Service Obligation). Jadi, memang harus ditentukan dengan hitungan bisnis. Kami tidak boleh jual rugi untuk produk ini. Kebetulan saja harga minyak dunia saat ini sedang turun besar,” ungkapnya saat dihubungi Jawa Pos Minggu (23/11).

Hal tersebut, lanjut dia, juga berlaku pada penentuan harga di setiap daerah. Menurutnya, harga di setiap wilayah memang ditentukan berbeda dengan beberapa pertimbangan. Mulai dari berapa harga bahan baku, biaya operasional, hingga biaya distribusi yang berlaku di daerah tersebut.

“Kalau soal berapa sebenarnya harga kami, itu rahasia perusahaan. Karena produk ini bukan hanya kami yang menjual. Yang jelas, kami juga mengikuti mekanisme pasar yang ada agar bisa bersaing dengan kompetitor,” terangnya.

Meski begitu, dia berharap masyarakat bisa menanggap situasi yang ada sebagai kesempatan untuk mengganti bahan bakar dari BBM bersubsidi menjadi BBK. Sebab, hal itu tak hanya menguntungkan pertamina namun juga menguntungkan negara. “Kalau terjadi pergeseran, tentu beban subsidi bisa berkurang,” ujarnya.

Sementara itu, pengamat energi Marwan Batubara menganggap, kondisi yang ada kemungkina besar bisa menyebabkan pergeseran. Hal tersebut tercermin dari realisasi konsumsi BBM bersubsidi di wilayah Jabodetabek cukup besar. Menurut data kementerian ESDM, Jabodetabek menyerap sebesar 15,81 persen dari total konsumsi nasional tahun lalu.

“Saya rasa ada kemungkinan mengenai pergeseran itu. Apalagi, selisih harga antara premium dengan pertamax mencapai Rp 1.500 per liter. Masyarakat yang mempertimbangkan kualitas tentunya lebih memilih produk ini. Karena dengan harga yang lebih tinggi sedikit, konsumen bisa menempuh jarak yang lebih panjang dan menjaga mesin lebih baik,” ungkapnya.

Namun, dia mengaku masih belum yakin terhadap target pertamina untuk meningkatkan penjualan pertamax menjadi empat kali lipat. Sebab, masyarakat masih belum mempunyai kesadaran penuh terkait pentingnya kualitas bahan bakar. Apalagi, selisih di beberapa wilayah masih cukup besar.

“Dengan selisih Rp4 ribu per liter, masyarakat tak akan punya pikiran untuk bergeser ke pertamax. Dengan selisih Rp1.500 per liter, masyarakat tentu mulai mempunyai pemikiran itu. Tapi, itu belum memastikan apakah mereka bakal melakukannya,” imbuhnya.

Anggota Komite Bada Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Ibrahim Hasyim mengaku cukup optimis bahwa harga keekonomian BBM di Indonesia tak akan mengalami kenaikan yang tinggi. Hal tersebut seiring perkiraannya mengenai harga minyak dunia yang menjadi salah satu penentu harga keekonomian BBM.

“Pasar minyak mentah dunia sudah menemui keseimbangan yang baru. Negara Timur Tengah yang dulu bisa memainkan harga sekarang sudah mendapat penyeimbang. Yakni, Amerika Serikat (AS) yang saat ini menjadi penghasil migas dari sekedar importir. Jadi, kalaupun naik, tidak akan diluar batas kewajaran,” lanjutnya.

Dia pun mendorong baik pertamina dan pemerintah untuk terus memperkecil selisih antara BBM bersubsidi dengan BBK. Menurutnya, selisih harga Rp 2 ribu per liter diakui sudah cukup efektif untuk menjaga kuota BBM dari jebol. Setidaknya, hal tersebut bakal membuat penyelundup BBM bersubsidi berpikir dua kali. (bil/jpnn/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/