32.8 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Saulina Terpaksa Pinjam Uang untuk Sewa Kapal

Foto: Oloan Sirait/New Tapanuli
JALAN DARAT: Begini kondisi jalan darat menuju perkampungan Dusun Panamean di bibir pantai Danau Toba, tempat tinggal Saulina Sitorus.

SUMUTPOS.CO – Tak hanya mental yang tertekan atas persidangan yang dihadapi Saulina Sitorus (92), atas kasus pengrusakan yang menjeratnya beserta 6 orang anaknya. Dia juga harus korban uang yang tak sedikit. Sebab, setiap ada panggilan, baik dari Polisi, Jaksa, hingga proses persidangan, Saulina yang tinggal di bibir pantai Danau Toba itu harus menyewa kapal Rp500 ribu hingga Rp700 ribu. Belum lagi biaya makan minum dan ongkos lainnya.

==============================================================================

Freddy Tobing, Oloan Sirait- TOBASA

==============================================================================

“Kalau panggilan ke Polsek Lumban Julu,  saya carter (sewa) kapal ke Binanga Lom, baru naik angkot. Sewa kapal Rp500 sampai Rp600 ribu. Kalau ke Balige, saya carter kapal Rp700 sampai Rp800 ribu,” ungkap Saulina ketika ditemui di kediamannya di Dusun Panamean, Desa Sampuara, Kecamatan Uluan, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Rabu (31/1).

Lantaran sering dipanggil selama proses itu, ia pun sudah lupa berapa kali mengahdiri panggilan polisi, jaksa, atau hakim. Diakuinya, setiap ada panggilan, ia selalu hadir. Dia pun tidak berani lagi jalan sendiri, harus didampingi kerabatnya. Sebab, ia tidak tahu bagaimana menuju kantor polisi, jaksa atau pengadilan.

Untuk nenek seusianya, transportasi danau adalah satu-satunya akses keluar masuk perkampungan mereka. Memang ada jalan darat, namun harus menempuh jarak 3 km dengan berjalan kaki menyusuri perbukitan terjal. Baginya, hal itu mustahil.

“Mana sanggup lagi oppung. Jalan ke pasir (pinggir danau untuk mandi) saja sudah kelelahan,” ujarnya menunjukkan bibir pantai yang berjarak 20 meter dari halaman rumahnya.

Ditanya darimana biaya yang dikeluarkan selama perkara ini, dia mengatakan itu adalah hasil pinjaman dari tetangga dan saudara dekatnya. Sebab, penghasilannya pun sudah minim. Untuk biaya hidup sehari-haripun harus mengharapkan perhatian dari anak-anaknya.

“Eeeh, sudah banyak utangku. Mudah-mudahankan anak-anak dan cucuku tetap memperhatikan aku. Kalau tidak, terpaksalah jual tanah,” ungkapnya yang terlihat enggan membeberkan jumlah utangnya saat ini.

Saulina memiliki 6 orang anak, 5 laki-laki dan satu perempuan. Semua sudah menikah dan masing-masing sudah memiliki cucu. Dihitung secara keseluruhan, Saulina memiliki 60 orang keturunan. Satu orang anaknya tinggal bersamanya di kampung, sedang yang lainnya tinggal di perantauan.

Kuasa hukum keluarga Saulina Boy Raja P Marpaung SH menilai ada kejanggalan dalam kasus pengrusakan yang menimpa keluarga Saulina Sitorus saat membangun makam leluhurnya, Boi Godang Naiborhu atau Op Sadihari yang berada di Dusun Panamean, Desa Sampuara, Kecamatan Uluan, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa).

Foto: Oloan Sirait/New Tapanuli
JALAN DARAT: Begini kondisi jalan darat menuju perkampungan Dusun Panamean di bibir pantai Danau Toba, tempat tinggal Saulina Sitorus.

SUMUTPOS.CO – Tak hanya mental yang tertekan atas persidangan yang dihadapi Saulina Sitorus (92), atas kasus pengrusakan yang menjeratnya beserta 6 orang anaknya. Dia juga harus korban uang yang tak sedikit. Sebab, setiap ada panggilan, baik dari Polisi, Jaksa, hingga proses persidangan, Saulina yang tinggal di bibir pantai Danau Toba itu harus menyewa kapal Rp500 ribu hingga Rp700 ribu. Belum lagi biaya makan minum dan ongkos lainnya.

==============================================================================

Freddy Tobing, Oloan Sirait- TOBASA

==============================================================================

“Kalau panggilan ke Polsek Lumban Julu,  saya carter (sewa) kapal ke Binanga Lom, baru naik angkot. Sewa kapal Rp500 sampai Rp600 ribu. Kalau ke Balige, saya carter kapal Rp700 sampai Rp800 ribu,” ungkap Saulina ketika ditemui di kediamannya di Dusun Panamean, Desa Sampuara, Kecamatan Uluan, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Rabu (31/1).

Lantaran sering dipanggil selama proses itu, ia pun sudah lupa berapa kali mengahdiri panggilan polisi, jaksa, atau hakim. Diakuinya, setiap ada panggilan, ia selalu hadir. Dia pun tidak berani lagi jalan sendiri, harus didampingi kerabatnya. Sebab, ia tidak tahu bagaimana menuju kantor polisi, jaksa atau pengadilan.

Untuk nenek seusianya, transportasi danau adalah satu-satunya akses keluar masuk perkampungan mereka. Memang ada jalan darat, namun harus menempuh jarak 3 km dengan berjalan kaki menyusuri perbukitan terjal. Baginya, hal itu mustahil.

“Mana sanggup lagi oppung. Jalan ke pasir (pinggir danau untuk mandi) saja sudah kelelahan,” ujarnya menunjukkan bibir pantai yang berjarak 20 meter dari halaman rumahnya.

Ditanya darimana biaya yang dikeluarkan selama perkara ini, dia mengatakan itu adalah hasil pinjaman dari tetangga dan saudara dekatnya. Sebab, penghasilannya pun sudah minim. Untuk biaya hidup sehari-haripun harus mengharapkan perhatian dari anak-anaknya.

“Eeeh, sudah banyak utangku. Mudah-mudahankan anak-anak dan cucuku tetap memperhatikan aku. Kalau tidak, terpaksalah jual tanah,” ungkapnya yang terlihat enggan membeberkan jumlah utangnya saat ini.

Saulina memiliki 6 orang anak, 5 laki-laki dan satu perempuan. Semua sudah menikah dan masing-masing sudah memiliki cucu. Dihitung secara keseluruhan, Saulina memiliki 60 orang keturunan. Satu orang anaknya tinggal bersamanya di kampung, sedang yang lainnya tinggal di perantauan.

Kuasa hukum keluarga Saulina Boy Raja P Marpaung SH menilai ada kejanggalan dalam kasus pengrusakan yang menimpa keluarga Saulina Sitorus saat membangun makam leluhurnya, Boi Godang Naiborhu atau Op Sadihari yang berada di Dusun Panamean, Desa Sampuara, Kecamatan Uluan, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa).

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/