25 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Takut Anak Sekolah

Terus terang, saya agak naik mendengar itu. “Lalu saya tidak boleh kaya, Pak?.” balas saya.

Bayangkan, anak itu bisa saja membuat saya cedera parah. Dan saya hanya minta dia ditilang karena tidak memakai helm dan tidak punya SIM. Lalu sekolah memberi sanksi untuk menjadi pelajaran.

Saya tahu dari awal dia dan keluarganya pasti tidak mampu mengganti rugi kerusakan sepeda saya. Dan saya merelakan itu.

Tapi, saya benar-benar sedih ketika ada guru, ya GURU, malah bilang supaya saya membiarkan karena saya orang kaya.

Kalau gurunya seperti itu, seperti apa murid-muridnya?
Lha guru-guru di sekolah-sekolah lain seperti apa?
Untunglah ada kepala sekolahnya datang, seorang perempuan yang tampaknya sangat care terhadap pendidikan di tempatnya. Dia bilang, seburuk-buruk apa pun anak didiknya, dia tetap harus mendapatkan pendidikan. Jadi, sanksinya adalah skors seminggu dengan tugas-tugas.

Anyway, apakah saya satu-satunya orang yang khawatir dengan semakin terpisah-pisahnya anak-anak kita dari satu sama lain?
Bahwa pikiran orang kok rasanya semakin sempit, apa pun latar belakang dan golongannya.

Katanya ini Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi satu. Lha kok berbeda-beda sekolahnya juga beda-beda? Dan teruuuuuus beda sampai dia menuju dewasa?
Ironisnya, kalau ingin anak kita lebih mandiri, lebih berbaur dengan orang dengan berbagai latar belakang, justru yang terbaik dikirim ke Amerika atau Australia atau negara lain.

Karena di sana bisa jauh dari orang tua, tidak ada yang melayani, harus belajar beradaptasi dengan orang dari berbagai latar belakang dan kultur. Bisa jadi lebih mandiri, bisa jadi lebih toleransi. Betapa ironisnya. (*)

Terus terang, saya agak naik mendengar itu. “Lalu saya tidak boleh kaya, Pak?.” balas saya.

Bayangkan, anak itu bisa saja membuat saya cedera parah. Dan saya hanya minta dia ditilang karena tidak memakai helm dan tidak punya SIM. Lalu sekolah memberi sanksi untuk menjadi pelajaran.

Saya tahu dari awal dia dan keluarganya pasti tidak mampu mengganti rugi kerusakan sepeda saya. Dan saya merelakan itu.

Tapi, saya benar-benar sedih ketika ada guru, ya GURU, malah bilang supaya saya membiarkan karena saya orang kaya.

Kalau gurunya seperti itu, seperti apa murid-muridnya?
Lha guru-guru di sekolah-sekolah lain seperti apa?
Untunglah ada kepala sekolahnya datang, seorang perempuan yang tampaknya sangat care terhadap pendidikan di tempatnya. Dia bilang, seburuk-buruk apa pun anak didiknya, dia tetap harus mendapatkan pendidikan. Jadi, sanksinya adalah skors seminggu dengan tugas-tugas.

Anyway, apakah saya satu-satunya orang yang khawatir dengan semakin terpisah-pisahnya anak-anak kita dari satu sama lain?
Bahwa pikiran orang kok rasanya semakin sempit, apa pun latar belakang dan golongannya.

Katanya ini Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi satu. Lha kok berbeda-beda sekolahnya juga beda-beda? Dan teruuuuuus beda sampai dia menuju dewasa?
Ironisnya, kalau ingin anak kita lebih mandiri, lebih berbaur dengan orang dengan berbagai latar belakang, justru yang terbaik dikirim ke Amerika atau Australia atau negara lain.

Karena di sana bisa jauh dari orang tua, tidak ada yang melayani, harus belajar beradaptasi dengan orang dari berbagai latar belakang dan kultur. Bisa jadi lebih mandiri, bisa jadi lebih toleransi. Betapa ironisnya. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/