Ada orang yang mencapai kepuasan batin dengan makan. Ada yang dengan bersemedi. Kebetulan, saya menemukan keindahan itu saat tersengal-sengal dan kesakitan di tengah upaya menaklukkan tanjakan.
Dan kalau dipikir, itu seperti hidup. Harus tersengal-sengal dan kesakitan untuk mencapai tujuan dengan baik. Tidak ada yang mulus lancar dan aman sentosa begitu saja.
Mohon maaf, saya tidak bermaksud sombong dengan tulisan ini. Saya benar-benar bersyukur diberi banyak kebaikan dan kesempatan dalam 40 tahun ini.
Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, orang tua. Terima kasih, keluarga. Juga terima kasih untuk semua rekan dan sahabat. Bahkan terima kasih khusus kepada orang-orang yang pernah meragukan saya, mengganggu saya, dan lain-lain.
Semoga benar kata banyak orang, Life begins at 40. Semoga saya bisa terus seperti yang dikoarkan Steve Jobs: Stay hungry, stay foolish.
Semoga bisa terus melakukan hal-hal yang berguna untuk banyak orang. Saya bukan orang paling hebat. Keluarga saya bukan paling sukses. Tapi, kami yakin, keluarga kami telah memberi banyak manfaat bagi orang lain. Bahkan lebih banyak daripada orang lain yang lebih hebat, daripada keluarga lain yang lebih sukses. Seperti ayah saya bilang, ”Kita ini bukan business animal.”
Anyway, pada 5 Juli 2017 ini Passo dello Stelvio seharusnya sudah saya coret dari bucket list saya. Waktunya untuk move on, menuju nomor berikutnya.
Lebih sulit tidak apa-apa. Lebih menatang tidak apa-apa. Seperti sebuah kutipan favorit saya yang kini tertulis di ruang ganti pemain di DBL Arena Surabaya, ”Every man suffers pain. Either the pain of hard work or the pain of regret.” (*)