Setelah Moskow dan Nizhny Novgorod, Kazan adalah kota tuan rumah Piala Dunia 2018 ketiga yang saya kunjungi. Setiap kota punya karakter sendiri-sendiri. Moskow? Sibuk. Layaknya ibu kota negara besar pada umumnya. Nizhny jauh lebih tenang. Denyut kehidupan di bekas kota tertutup yang belum genap tiga dekade menerima kunjungan tamu dari luar Rusia itu relatif santai.
Saat kali pertama menginjakkan kaki di Kazan, saya punya good feeling terhadap kota ini. Bandaranya tidak terlalu besar. Rapi dan bersih. Jalanan menuju pusat kota juga mulus. Lalu-lintasnya masih bisa ditoleransi. Tidak sangat padat. Ada sedikit kemacetan di beberapa titik karena saat itu bertepatan dengan jam pulang kerja dan akhir pekan pula. Saya masih bisa menikmati suasana di kanan dan kiri jalan.
Kazan berpenduduk sekitar 1,2 juta. Ibu kota Republik Tatarstan itu adalah kota dengan populasi terbesar keenam di Rusia. Nuansa Islam sangat kuat di kota ini. Separo warga Kazan adalah muslim. Banyak masjid dan restoran dengan menu halal.
Ikon Islam paling populer di Kazan adalah Masjid Kul Sharif. Masjid itu bersanding dengan gereja katedral di dalam kompleks Kremlin Kazan. Situasi yang menggambarkan harmonisnya kehidupan religius warga Kazan.
“Saya muslim. Kami hidup berdampingan dengan warga beragama lain. Tidak ada masalah,” kata Bulat, sopir taksi yang menjemput saya dari bandara. Meski badannya nggak ada bulat-bulatnya sama sekali
Setelah tiga hari di Kazan, saya semakin nyaman. Warganya ramah-ramah. Entah berapa kali mereka dengan spontan menyapa saat berpapasan di jalan. Kebanyakan menanyakan asal negara dan tim apa yang didukung selama Piala Dunia 2018. Begitu tahu saya dari Indonesia, tidak semuanya ngeh. Mayoritas mengira saya datang dari negara Amerika Selatan. Ada juga yang nyaris benar dengan menyebut Malaysia.
Setelah Moskow dan Nizhny Novgorod, Kazan adalah kota tuan rumah Piala Dunia 2018 ketiga yang saya kunjungi. Setiap kota punya karakter sendiri-sendiri. Moskow? Sibuk. Layaknya ibu kota negara besar pada umumnya. Nizhny jauh lebih tenang. Denyut kehidupan di bekas kota tertutup yang belum genap tiga dekade menerima kunjungan tamu dari luar Rusia itu relatif santai.
Saat kali pertama menginjakkan kaki di Kazan, saya punya good feeling terhadap kota ini. Bandaranya tidak terlalu besar. Rapi dan bersih. Jalanan menuju pusat kota juga mulus. Lalu-lintasnya masih bisa ditoleransi. Tidak sangat padat. Ada sedikit kemacetan di beberapa titik karena saat itu bertepatan dengan jam pulang kerja dan akhir pekan pula. Saya masih bisa menikmati suasana di kanan dan kiri jalan.
Kazan berpenduduk sekitar 1,2 juta. Ibu kota Republik Tatarstan itu adalah kota dengan populasi terbesar keenam di Rusia. Nuansa Islam sangat kuat di kota ini. Separo warga Kazan adalah muslim. Banyak masjid dan restoran dengan menu halal.
Ikon Islam paling populer di Kazan adalah Masjid Kul Sharif. Masjid itu bersanding dengan gereja katedral di dalam kompleks Kremlin Kazan. Situasi yang menggambarkan harmonisnya kehidupan religius warga Kazan.
“Saya muslim. Kami hidup berdampingan dengan warga beragama lain. Tidak ada masalah,” kata Bulat, sopir taksi yang menjemput saya dari bandara. Meski badannya nggak ada bulat-bulatnya sama sekali
Setelah tiga hari di Kazan, saya semakin nyaman. Warganya ramah-ramah. Entah berapa kali mereka dengan spontan menyapa saat berpapasan di jalan. Kebanyakan menanyakan asal negara dan tim apa yang didukung selama Piala Dunia 2018. Begitu tahu saya dari Indonesia, tidak semuanya ngeh. Mayoritas mengira saya datang dari negara Amerika Selatan. Ada juga yang nyaris benar dengan menyebut Malaysia.