26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Subsidi

Beberapa waktu lalu, sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu, seorang kawan saya mendapat kesempatan untuk tinggal di Jepang. Tak lama tinggal di Negeri Sakura itu, sekitar sebulan, dia langsung mengirim email kepada saya. Isinya: memuji Indonesia yang menurut dia sangat luar biasa.

Isi email alias surel alias surat eletroniknya bukan soal perbedaan iklim atau menu makanan; biasanya banyak yang mengeluh soal itu begitu ke negara lain bukan? Ini soal sepak bola. Lho, bukankah prestasi sepak bola Jepang jauh lebih maju dari Indonesia, mengapa dia memuji negeri tercinta ini?

Tenang, sepak bola yang dia maksud lebih pada sepak bola dunia dan lebih menjurus lagi pada siaran langsung sepak bola. Dengan kata lain, kawan saya tadi memuji siaran langsung sepak bola yang disiarkan televisi yang ada di Indonesia. Kenapa? Jawabnya karena gratis!

Begitulah, setelah sebulan tinggal di Jepang, kawan saya tadi stres. Dia rindu nonton siaran sepak bola yang murah meriah; duduk di ruang tivi sambil minum kopi dan sedikit cemilan. Di Jepang, menurut pengakuannya, siaran langsung sepak bola tidak sesederhana di Indonesia. Pecinta bola wajib membayar jika ingin menikmati hal itu. Dengan kata lain, sepak bola hanya disiarkan televisi berbayar.

Itulah sebab, sebagai pecinta bola, dia langsung memuji Indonesia. Meskipun dia sadar, sepak bola memang sudah menjadi bisnis yang menggiurkan. Hak siar telah dibagikan ke klub dan itu tidak murah. Permasalahanya, kenapa di Indonesia bisa gratis?

Saya balas surel itu dengan kalimat: nikmatnya Indonesia. Ya, saya jelaskan padanya, Indonesia itu sangat nikmat karena nyaris di semua lini ada subsidinya. Dengan kata lain, tidak hanya pemerintah yang bisa memberikan bantuan dana agar harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak naik, pihak swasta pun bergiat memberikan bantuan dana untuk kita yang pecinta bola ini.

Caranya, pihak televisi membayar hak siar untuk ratusan juta warga Indonesia agar bisa menikmati siaran langsung tanpa bayar. Dan, nonton gratis itu tetap ada meski harga hak siar sepak bola naik. Hebat bukan? Saking hebatnya, pihak televisi pun tak harus menyampaikan pada pelanggannya kalau harga hak siar sepak bola naik.

Pelanggan dibiarkan tidak tahu agar mereka tetap menjadi pelanggan setia. Sementara, pihak televisi lebih fokus untuk mencari dana kepada pihak lain untuk membayar harga hak siar tadi. Dengan kata lain, dia mencari iklan yang mampu membayar hak siar itu. Itulah subsidi!
Kawan saya membalas dengan kalimat pendek: seperti subsidi BBM ya?
Saya tak membalas surelnya. Malas. Soal subsidi BBM memang agak repot.

Pasalnya, sebagai negara yang katanya menyimpan cadangan minyak yang cukup, Indonesia tidak bisa berbicara banyak soal BBM. Indonesia masih saja mengimpor BBM. Ujung-ujungnya, Indonesia harus mengikuti harga dunia.

Nah, harga dunia kan cukup tinggi, jadi Indonesia harus menyubsidi harga itu agar di dalam negeri menjadi murah. Masalahnya, Indonesia cenderung tidak sama dengan stasiun televisi yang mau mencari dana – subsidi silang — agar siaran sepak bola gratis. Indonesia malah berkiblat pada harga dunia, BBM dalam negeri harus disesuaikan dengan harga dunia.

Permasalahannya, warga menjerit. Pendapatan warga Indonesia belum sama dengan warga dunia lainnya bukan? Lho, kenapa siaran sepak bola di Indonesia bisa gratis padahal pendapatan warga Jepang lebih tinggi? Entahlah. (*)

Beberapa waktu lalu, sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu, seorang kawan saya mendapat kesempatan untuk tinggal di Jepang. Tak lama tinggal di Negeri Sakura itu, sekitar sebulan, dia langsung mengirim email kepada saya. Isinya: memuji Indonesia yang menurut dia sangat luar biasa.

Isi email alias surel alias surat eletroniknya bukan soal perbedaan iklim atau menu makanan; biasanya banyak yang mengeluh soal itu begitu ke negara lain bukan? Ini soal sepak bola. Lho, bukankah prestasi sepak bola Jepang jauh lebih maju dari Indonesia, mengapa dia memuji negeri tercinta ini?

Tenang, sepak bola yang dia maksud lebih pada sepak bola dunia dan lebih menjurus lagi pada siaran langsung sepak bola. Dengan kata lain, kawan saya tadi memuji siaran langsung sepak bola yang disiarkan televisi yang ada di Indonesia. Kenapa? Jawabnya karena gratis!

Begitulah, setelah sebulan tinggal di Jepang, kawan saya tadi stres. Dia rindu nonton siaran sepak bola yang murah meriah; duduk di ruang tivi sambil minum kopi dan sedikit cemilan. Di Jepang, menurut pengakuannya, siaran langsung sepak bola tidak sesederhana di Indonesia. Pecinta bola wajib membayar jika ingin menikmati hal itu. Dengan kata lain, sepak bola hanya disiarkan televisi berbayar.

Itulah sebab, sebagai pecinta bola, dia langsung memuji Indonesia. Meskipun dia sadar, sepak bola memang sudah menjadi bisnis yang menggiurkan. Hak siar telah dibagikan ke klub dan itu tidak murah. Permasalahanya, kenapa di Indonesia bisa gratis?

Saya balas surel itu dengan kalimat: nikmatnya Indonesia. Ya, saya jelaskan padanya, Indonesia itu sangat nikmat karena nyaris di semua lini ada subsidinya. Dengan kata lain, tidak hanya pemerintah yang bisa memberikan bantuan dana agar harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak naik, pihak swasta pun bergiat memberikan bantuan dana untuk kita yang pecinta bola ini.

Caranya, pihak televisi membayar hak siar untuk ratusan juta warga Indonesia agar bisa menikmati siaran langsung tanpa bayar. Dan, nonton gratis itu tetap ada meski harga hak siar sepak bola naik. Hebat bukan? Saking hebatnya, pihak televisi pun tak harus menyampaikan pada pelanggannya kalau harga hak siar sepak bola naik.

Pelanggan dibiarkan tidak tahu agar mereka tetap menjadi pelanggan setia. Sementara, pihak televisi lebih fokus untuk mencari dana kepada pihak lain untuk membayar harga hak siar tadi. Dengan kata lain, dia mencari iklan yang mampu membayar hak siar itu. Itulah subsidi!
Kawan saya membalas dengan kalimat pendek: seperti subsidi BBM ya?
Saya tak membalas surelnya. Malas. Soal subsidi BBM memang agak repot.

Pasalnya, sebagai negara yang katanya menyimpan cadangan minyak yang cukup, Indonesia tidak bisa berbicara banyak soal BBM. Indonesia masih saja mengimpor BBM. Ujung-ujungnya, Indonesia harus mengikuti harga dunia.

Nah, harga dunia kan cukup tinggi, jadi Indonesia harus menyubsidi harga itu agar di dalam negeri menjadi murah. Masalahnya, Indonesia cenderung tidak sama dengan stasiun televisi yang mau mencari dana – subsidi silang — agar siaran sepak bola gratis. Indonesia malah berkiblat pada harga dunia, BBM dalam negeri harus disesuaikan dengan harga dunia.

Permasalahannya, warga menjerit. Pendapatan warga Indonesia belum sama dengan warga dunia lainnya bukan? Lho, kenapa siaran sepak bola di Indonesia bisa gratis padahal pendapatan warga Jepang lebih tinggi? Entahlah. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/