26.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Tret-tet-tet Kelas IV SD

Semua heboh sepak bola.

Lalu, ada heboh tret-tet-tet, istilah resmi pergi bareng untuk mendukung tim bertanding di luar kota.

Keren sekali waktu itu. Ada yang carter pesawat. Booking puluhan bus. Dan lain-lain. Semua rapi. Semua tertib.

Sulit dipercaya, saya pernah jadi bagian dari tret-tet-tet itu. Masih kelas IV SD, saya dititipkan ke salah satu bus suporter yang akan berangkat ke Jakarta. Sendirian.

Karena tidak resmi ikut membeli tiket bus, sifatnya dititipkan, saya tidak dapat jatah kursi.

Saya disuruh duduk atau berbaring di ”ruang kosong memanjang” di belakang baris paling belakang.

Makan ya ikut jatah makan suporter. Paling ingat dan paling suka saat ada suporter yang membawa mi kering, lalu dibagi-bagikan kepada yang lain untuk dimakan tanpa dimasak.

Lalu ikut nonton di Senayan, lalu pulang dengan bus juga di ”tempat berbaring” yang sama.

Kelas IV SD.

Sendirian.

Sebenarnya ada panitia yang dititipi untuk menjaga saya. Tapi, karena dia sangat sibuk dengan berbagai urusan, ya saya cuek-cuek saja.

Rasanya saya juga tidak kelaparan.

Rasanya saya juga tidak bosan.

Dan senangnya luar biasa bisa nonton sepak bola ke Jakarta.

Kalau dipikir-pikir, rasanya waktu itu bawa uang juga tidak!

Waktu pulang, saya diminta redaksi Jawa Pos (Slamet Oerip Prihadi, yang bagi saya seperti keluarga dan saya panggil dengan sebutan Om Mamet) untuk menulis pengalaman itu.

Jadilah artikel pertama saya dimuat. Kode penulis waktu itu ”uli”, belum berubah menjadi ”aza”.

Waktu kecil, sampai sekarang sebenarnya, panggilannya memang ”Ulik”.

***

 Anak laki-laki saya sekarang kelas III SD. Tahun ini juga (seharusnya) naik ke kelas IV SD.

Merinding juga berpikir, berani nggak ya melepas dia naik bus sendirian untuk nonton sepak bola ke luar kota, tanpa uang saku? Jangankan ke luar kota.

Berani nggak ya membiarkan dia naik bemo (atau taksi atau Uber) sendirian ke stadion untuk nonton sepak bola? Orang tua saya memang gila.

Saya mungkin juga termasuk gila.

Tapi, apakah saya bisa segila orang tua saya?

Ataukah mungkin dulu dunia belum segila sekarang sehingga orang tua gila masih aman-aman saja?

Kalau memang dunia ini sudah gila, bisakah kita mengubahnya menjadi seperti dulu lagi? (*)

Semua heboh sepak bola.

Lalu, ada heboh tret-tet-tet, istilah resmi pergi bareng untuk mendukung tim bertanding di luar kota.

Keren sekali waktu itu. Ada yang carter pesawat. Booking puluhan bus. Dan lain-lain. Semua rapi. Semua tertib.

Sulit dipercaya, saya pernah jadi bagian dari tret-tet-tet itu. Masih kelas IV SD, saya dititipkan ke salah satu bus suporter yang akan berangkat ke Jakarta. Sendirian.

Karena tidak resmi ikut membeli tiket bus, sifatnya dititipkan, saya tidak dapat jatah kursi.

Saya disuruh duduk atau berbaring di ”ruang kosong memanjang” di belakang baris paling belakang.

Makan ya ikut jatah makan suporter. Paling ingat dan paling suka saat ada suporter yang membawa mi kering, lalu dibagi-bagikan kepada yang lain untuk dimakan tanpa dimasak.

Lalu ikut nonton di Senayan, lalu pulang dengan bus juga di ”tempat berbaring” yang sama.

Kelas IV SD.

Sendirian.

Sebenarnya ada panitia yang dititipi untuk menjaga saya. Tapi, karena dia sangat sibuk dengan berbagai urusan, ya saya cuek-cuek saja.

Rasanya saya juga tidak kelaparan.

Rasanya saya juga tidak bosan.

Dan senangnya luar biasa bisa nonton sepak bola ke Jakarta.

Kalau dipikir-pikir, rasanya waktu itu bawa uang juga tidak!

Waktu pulang, saya diminta redaksi Jawa Pos (Slamet Oerip Prihadi, yang bagi saya seperti keluarga dan saya panggil dengan sebutan Om Mamet) untuk menulis pengalaman itu.

Jadilah artikel pertama saya dimuat. Kode penulis waktu itu ”uli”, belum berubah menjadi ”aza”.

Waktu kecil, sampai sekarang sebenarnya, panggilannya memang ”Ulik”.

***

 Anak laki-laki saya sekarang kelas III SD. Tahun ini juga (seharusnya) naik ke kelas IV SD.

Merinding juga berpikir, berani nggak ya melepas dia naik bus sendirian untuk nonton sepak bola ke luar kota, tanpa uang saku? Jangankan ke luar kota.

Berani nggak ya membiarkan dia naik bemo (atau taksi atau Uber) sendirian ke stadion untuk nonton sepak bola? Orang tua saya memang gila.

Saya mungkin juga termasuk gila.

Tapi, apakah saya bisa segila orang tua saya?

Ataukah mungkin dulu dunia belum segila sekarang sehingga orang tua gila masih aman-aman saja?

Kalau memang dunia ini sudah gila, bisakah kita mengubahnya menjadi seperti dulu lagi? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/