SAYA setuju betul dengan Viky Sianipar. Musisi berbakat yang getol mengawinkan genre musik rock dengan bunyi-bunyian etnik ini bilang budaya itu bukan dominasi sekelompok orang. Dia menjadi cair manakala (budaya) itu juga diwariskan kepada kelompok yang lain meskipun berbeda tempat. ‘’Lihatlah musik Afrika. Banyak yang dimainkan musisi Afro-American di AS sana.
So culture is not your’s absolutely,’’ katanya saat diwawancarai sebuah stasiun TV.
Maaf ya, ini (masih) soal kontroversi tari Tor-tor dan Paluan Gondang Sambilan. Apa yang disampaikan Viky tak perlu direspons secara lebay, apalagi reaktif. Kita sebagai bangsa seringkali panik- bila tidak dikatakan emosional- setiap konflik ‘klaim-mengklaim’ heritage dengan Malaysia muncul ke permukaan.
Marilah melihat dari sudut pandang yang jernih untuk dipetik hikmahnya. Banyak penelitian sejarah yang menuliskan kehidupan masyarakat Mandailing di Malaysia. Buku ‘’Melawat ke Melaka 1920 dan 1921’’ karya Ismail bin Hadji Abdoellah Oemar Effendi (1924) yang diterbitkan Balai Poestaka mungkin yang pertama melaporkan kehidupan leluhur para budak Malaysia yang mengklaim tari Tor-tor dan Palu Gordang Sambilan sebagai budaya mereka.
Tak salah juga karena itu diwarisi turun-temurun oleh orangtua mereka. Beragam versi soal pernak-pernik kehidupan perantauan Mandailing di Malaysia ini.
Seorang peneliti Australia, Donald Tugby, berpendapat bahwa kebudayaan Mandailing di Malaysia ternyata ‘sudah luntur’. Donald, yang pernah tinggal di daerah Mandailing pada 1955-1956, mulai mengadakan survei di permukiman Mandailing di Malaysia tahun 1962, dan diulangi tahun 1968, 1971, 1972,1973, dan 1974. Penelitian itu ditulisnya dalam buku Cultural Change and Identity: Mandailing Immigrants in West Malaysia. Laporan jurnalistik Majalah Tempo edisi tahun 2001 justru menuliskan kepedulian pemerintah Malaysia memberikan kampung bagi orang-orang Mandailing. ‘’Lahirlah Kampung Lanjut Manis,’’ tulis laporan tersebut.
Kebudayaan Mandailing semakin kokoh berdiri di negeri tetangga. Sejarah soal Mandailing di tanah Semenanjung, begitu dulu mereka menyebutnya, tak usah diperpanjang. Anda googling saja, dan ada ratusan artikel yang tinggal Anda kunyah. Justru menjadi introspeksi kenapa Malaysia getol memburu heritage kita? Bila melawat ke negeri seberang pernahkah Anda perhatikan puluhan brosur wisata gratis di airport? Anda sadar begitu banyak spot wisata yang ditawarkan.
‘Malaysia Truly Asia’ adalah tagline untuk mengingatkan turis asing: ‘’Halo … Kalau mau lihat Asia yang sesungguhnya itu di sini. di Malaysia. Jangan kemana-mana, ya!’’ Malaysia sudah nyaris menuntaskan seluruh syarat dasar membangun pariwisata. Infrastruktur jalan beres. Airport-nya standar internasional. Hotel-hotel kelas Eropa. Akses kemana saja sudah online. Cukup bermodal kartu kredit Anda bisa menjelajah kemana Anda mau.
So, apakah yang kurang? Ibarat tubuh manusia, pariwisata Malaysia kini tinggal meniupkan ‘roh’. Rekayasa objek wisata terus dilakukan. Lihatlah di brosur-brosur wisata itu: hiking, bike mountain, outbound, fishing, semua lengkap dengan fasilitas kelas satu. Danau buatan juga ada.
Artifisial memang tapi turis justru menikmatinya. Toh Malaysia sadar semua yang direkayasa itu tetap kurang tanpa ‘roh’ budaya di dalamnya. Anda pasti tahu turis-turis asing amat terhipnotis dengan budaya. Itulah yang mereka yang cari di seluruh dunia. Mari lihat Bali. Kawan saya bilang west coast di Australia justru jauh lebih indah dari pantai Sanur dan Kuta.
Anda pasti tahu jawabnya kenapa statistik turis Australia paling tinggi di negeri para Dewata itu. Ya, mereka begitu mengagumi Bali dengan tradisi Hindu, adat-istiadat, dan mistisismenya. Sebetulnya tugas pemerintah kita membangun dunia wisata tinggal butuh keseriusan saja. Kita punya semua. Alam indah dan heritage yang tak mungkin direkayasa. Hemat saya itulah alasan Malaysia mati-matian memasukkan tari Tor-Tor dan Paluan Gondang Sambilan dalam ‘National Heritage Act 2005’. Belum lagi klaim atas heritage yang sudah-sudah. Kebetulan celah itu ada. ‘Jualan’ wisata itu akan lebih dahsyat. So, ‘Malaysia is Truly Asia’ is not just a tagline. It’s true!
Kita? Ya kita ibarat orang kaya sembrono yang suka meletakkan barang sembarangan. Begitu lihat tetangga, baru teriak: ‘’Eh, itu cangkul punya saya. Kamu mencuri ya!’’ (*)